****
"Disha, tolong jaga Alif selama Kakak keluar, ya! Jangan biarkan perempuan itu mengambil kesempatan untuk mendekati Alif, cukup Mas Helmi saja yang berpaling!" Aku berbisik pada Adikku, Disha.
"Siap, Kak!" sahutnya semangat.
Belum kaki ini melangkah, tiba-tiba Mariah dan Mas Helmi berjalan dengan terburu-buru menghampiriku. wajah panik dari keduanya membuatku sedikit penasaran.
"Dinda, aku pinjam mobilmu, mobilku sedang di bengkel." pinta Mas Helmi.
"Tidak bisa, Mas. Hari ini aku ada urusan," jawabku acuh.
"Kamu, kan bisa pergi pakai taxi online, Din!" tanya Mas Helmi.
"Kenapa tak kamu saja yang pakai taxi, Mas?" Aku mulai sewot.
"Ini darurat, bapaknya Mariah, sedang kritis di rumah sakit. Tolong, Din!" sahut Mas Helmi memelas.
"Hah, bukankah bapaknya sudah meninggal, Mas?" Aku keceplosan.
Wajah Mas Helmi tiba-tiba memucat. Dia terlihat gugup mendengar pertanyaanku.
'Hm, jadi Hana berbohong padaku? Tega sekali dia!'
"Mas, bisa nggak debatnya nanti lagi? Bapakku sedang kritis, huhuhu," ucap Mariah, ia menarik kasar lengan Mas Helmi, air matanya sudah tumpah ruah membasahi pipi mungilnya.
Ya, kuakui Mariah cantik, tubuhnya yang mungil namun berisi, terlihat dari dadanya yang sempurna menurutku. Berbeda denganku, meskipun aku rutin melakukan perawatan, tapi tetap saja tubuhku tak sekencang dulu.
Aku kembali ke kamarku, berdiri di depan cermin, dan kuperhatikan penampilan diriku. Tubuhku berbalut baju longgar serta jilbab yang menjuntai menutupi bagian dada, bukan kah dulu penampilan seperti ini yang di sukai Mas Helmi, tapi kenapa sekarang Mas Helmi berubah haluan?
****
"Hana, mulai bulan depan kamu bisa berhenti dari pekerjaan ini. Maaf, aku nggak bisa memperkerjakan orang sepertimu, demi kepentingan pribadimu kamu tega berkhianat padaku!" ucapku tanpa melihatnya.
"Kenapa, Bu? Bukan kah waktu itu aku sudah katakan semuanya pada Bu Dinda tentang Pak Helmi dan istri barunya," tanya Hana.
"Jadi, kamu juga tahu tentang pernikahan mereka?" Mataku membulat sempurna ketika mendengar pernyataan Hana.
"Tahu, itupun karena Mariah yang cerita," sahut Hana, ia terlihat pasrah dengan keputusan bosnya.
"Waktu itu, kamu bilang ayahnya Mariah menjadi korban tabrak lari suamiku dan meninggal, tapi kenyataanya tadi pagi aku dengar ayahnya Mariah di rawat di rumah sakit. Kamu sengaja berbohong padaku, Hana?" desakku. Menggali informasi lebih banyak darinya.
"Oke, jadi yang menjadi korban tabrak lari Pak Helmi itu bukan ayahnya Mariah. Asal Bu Dinda tahu, bukan cuma Mariah yang jadi simpanan suami Ibu!" jawab Hana dengan lantang.
"Maksud kamu? Jelaskan Hana!" ucapku, penuh penekanan.
"Makanya jadi perempuan Ibu jangan terlalu bodoh, gelagat suami saja tak paham-paham!" cetus Hana, kemudian dia keluar dari ruanganku tanpa permisi.
Mendengar pernyataan Hana, dadaku makin terasa sesak. Hubungan yang sebelumnya kuanggap baik-baik saja ternyata penuh kebohongan.
'Mas Helmi yang benar-benar jahat atau aku yang terlalu bodoh, seperti yang Hana bilang?'
****
"Hel, sebisa mungkin jika si Dinda tetap minta cerai dari kamu, hartanya kamu ambil alih semuanya. Kalau masalah hak asuh anak kamu tak perlu pusing, karena yang namanya anak, seiring berjalannya waktu mereka pasti akan mencarimu. Percaya sama Mama, Hel!" ucap Mama Wulan.
"iya, Mama tenang saja! Aku sudah merencanakan itu semua, tinggal menunggu waktu yang tepat saja!"
Jawaban Mas Helmi sontak membuatku tak percaya. Aku menguping lebih jauh lagi obrolan mereka, sengaja kurapatkan tubuhku ke dinding kamar Mama, dan membuka sedikit pintu kamarnya agar terdengar lebih jelas.
"Pokoknya, Mama mau cucu perempuan dari kamu, Hel!" tegas Mama lagi.
"Iya, Ma. Helmi usahakan secepatnya," sahut Mas Helmi.
Tanganku mengepal kuat, dendam dalam diriku yang telah tumbuh terasa akan meledak sebentar lagi, seperti bom waktu.
Untuk apa aku berbaik hati mengizinkan mereka tinggal di sini? Sedangkan di belakangku, mereka semua merencanakan untuk menyingkirkanku.
Aku kembali ke kamarku dengan amarah yang membuncah, kuambil benda pipih yang sejak tadi tergeletak begitu saja di atas kasur lalu keluar kamar dengan tas di tanganku.
Kupacu mobil dengan kecepatan tinggi , agar segera sampai di rumah Umi. Sungguh, aku sudah lelah dengan sabarku yang terus di tarik ulur oleh Mas Helmi.
Ketika sampai di rumah Umi, ia langsung memelukku dengan erat, mengusap punggungku dan segera menghapus air mataku ketika kesedihan dan kekecewaan tak sanggup lagi kubendung.
"Assalamu'alaikum, Umi." Aku yang hampir lupa mengucapkan salam.
"Wa'alaikum salam," ucap Umi. "Ayo, masuk dulu, Nak!"
Aku mengangguk dan mengimbangi langkah Umi, lalu duduk menyandarkan tubuhku di sofa.
"Umi aku ingin bertemu Abi," ucapku pelan.
Umi mengangguk, lalu berlalu begitu saja.
Umi memang begitu, jika tahu aku sedang dalam masalah, Umi tak pernah banyak tanya, ia akan diam namun selalu berada di sampingku, menenangkanku.
Umi kembali dengan Abi, aku langsung mencium tangannya dengan takzim, lalu menghambur ke dalam pelukannya.
"Yang sabar, Dinda. Abi tahu masalah yang kamu hadapi sangat berat, tapi kamu harus yakin Allah tak akan memberi cobaan di luar batas kemampuanmu."
Aku mengangguk, mendengar wejangan Abi, berusaha segera menghapus air mata yang mengalir deras.
"Bagaimana, apa kamu sudah mengambil keputusan?" tanya Abi.
"Sudah, Dinda harap nanti Abi dan Umi datang ke rumah, kebetulan Mama Wulan ada di sana. Dinda ingin segera menyelesaikannya, Abi." Aku berucap pelan.
"Baik, nanti malam kami pasti datang," sahut Abi dengan senyumnya.
Aku tahu, meski ia tersenyum padaku, tapi hatinya sama kecewanya dengan aku. Orang tua mana yang tidak kecewa ketika anaknya di sia-siakan oleh lelaki pilihannya?
Setelah bercengkrama sebentar, aku pamit pulang. Masih ada yang harus aku persiapkan untuk nanti malam. Tentunya kejutan untuk mereka.
Lima belas tahun sudah aku menjaga sikap, meski Mama Wulan tanpa henti menginjak-nginjak harga diriku, tanpa memikirkan perasaanku sedikitpun. Bahkan, ketika Alif lahir dia membuatku hampir depresi.
****
Umi dan Abi tiba setelah bakda isya, berbarengan dengan Pak Gani. Mereka terlihat ngobrol santai saat aku tinggal untuk meminta Mbak Sri membuatkan minum. Ya, karena Pak Gani adalah pengacara keluargaku sejak dulu.
"Ada tamu?" tanya Mama, ia mendelik melihatku.
"Bukan tamu! Orang tuaku yang datang ingin bertemu Mama dan Mas Helmi," jawabku.
"Untuk apa?" tanyanya sedikit heran.
"Mama temui saja, ya!" Aku masih berusaha bersikap manis pada mama mertuaku.
Lalu aku menuju kamar bekas gudang, dimana aku yakin sekali Mas Helmi sedang bersama Mariah.
"Mas, Mas Helmi!" panggilku di depan pintu kamar Mariah.
Beberapa menit kemudian, Mas Helmi keluar dengan keringat di dahinya, ia hanya menggunakan celana pendek saja tanpa baju.
Bibirku tersenyum miris melihat kelakuannya.
"Kenapa? Kamu puas melihatku seperti ini, panas karena nggak ada AC, tidur di kamar yang sempit pula!" Mas Helmi menggerutu di depanku.
"Ini, Kan pilihanmu. Kenapa malah nyalahin aku?" sahutku bodo amat.
"Harusnya kamu bisa terima keputusanku, sedikit berbaik hati dengan Mariah, bukannya malah menindasnya sesukamu!" Mas Helmi masih menggerutu.
"Menindas? Seperti ini saja kamu bilang aku menindas, Mas?" bibirku mencebik.
"Sekarang aku tanya sama kamu, suruh siapa gund*ik itu mau di jadikan istri keduanya kamu, ha? Ketika sampai kejadian seperti ini saja, kamu bilang aku menindasnya. Buta kamu, Mas!" pekikku marah.
"Harus berapa kali aku bilang, Mariah itu istriku bukan Gund*k, Dinda!" teriaknya kali ini.
"Oke, terserah kamu. Ayo selesaikan di depan, aku sudah muak sama kamu, Mas!" Aku sengaja mengalah, menghentikan perdebatan yang tak pernah menemukan ujungnya sejak seminggu ini.
Aku berjalan lebih dulu, menunggunya di ruang tamu beserta Umi da Abi. Mas Helmi yang sudah memakai baju, terlonjak kaget saat melihat Umi dan Abi. Apalagi Mariah terus menempel di lengan suamiku yang sebentar lagi akan kujadikan mantan.
Umi yang melihatnya sontak beristighfar lalu menggelengkan kepalanya, tanda Umi sangat marah pada Mas Helmi.
"Bilang, sekarang apa mau kamu, Helmi?" tanya Abi dengan suara yang menggelegar karena menahan amarah, hingga giginya terdengar gemeletuk.
"Aku, aku cuma ingin Dinda menerima pernikahan keduaku," sahut Mas Helmi tanpa rasa salah sedikit pun.
_________________