****
"Aku, aku cuma ingin Dinda menerima pernikahan keduaku," sahut Mas Helmi tanpa rasa salah sedikit pun.
"Lalu bagaimana jika anakku tidak bisa?" tanya Abi lagi.
"Dinda harus Mau, Abi. Karena aku dan Mama menginginkan anak perempuan. Kita semua tahu juga, kalau dinda tak mungkin bisa hamil lagi, karena sudah nggak memiliki rahim, bukan?" jelas Mas Helmi lantang.
"Jadi itu alasanmu, Helmi? Sampai-sampai kamu tega mengecewakan anak kami." ujar Abi, mengulas senyum getir di bibirnya.
"Iya, Helmi diam-diam menikah itu karena punya alasan yang kuat. Sedangkan anak kalian, wataknya keras dan tidak bisa di ajak bicara baik-baik. " sela Mama Wulan.
Aku terus membaca istighfar sebanyak mungkin, menenangkan hati yang rapuh mendengar mereka yang malah menyudutkanku atas pernikahan kedua Mas Helmi.
"Bagaimana, Dinda? Kamu sudah mendengar semuanya, silahkan mengambil keputusan. Ambil menurutmu yang terbaik untuk kamu, Adam dan Alif!" tegas Abi menatapku.
Aku melirik Umi, ia mengangguk dengan senyum yang terlihat di paksakan. Demi, menguatkanku.
"Aku, aku memilih mundur saja, Mas. Silahkan kamu lanjutkan pernikahanmu dengan dia," ucapku sambil mengalihkan pandangan kepada Mariah.
Mariah tersenyum mendengar keputusanku.
"Baiklah, jika kamu tetap keras kepala, kehilangan kamu tidak masalah bagiku, aku telah punya Mariah yang sebentar lagi akan memberiku anak perempuan." Ia terlihat menghela napas lalu membuangnya dengan kasar.
"Karena kamu menentang keputusanku, Adinda Putri syakira binti Ahmad Syaiful Hisyam, kujatuhkan talak kepadamu saat ini juga!" ucap Mas Helmi dengan angkuh.
Dua wanita yang duduk di sampingnya semringah mendengar ucapan talak Mas Helmi untukku.
Kudongakkan kepalaku ke atas, menahan cairan bening yang hendak menyeruak. Aku tak boleh terlihat lemah di depan mereka, apalagi di depan perempuan gatal itu!
"Pak Gani, tolong di urus semuanya!" ucapku pelan pada pengacaraku.
Pak Gani mengangguk lalu mengeluarkan berkas-berkas dari dalam tas miliknya.
"Baik, silakan Pak Helmi baca dulu, lalu tanda tangan di sini, dan di sini juga! Ini untuk mempermudah proses perceraian kalian, dan sangat menguntungkan untuk Pak Helmi." Pak Gani menyodorkan beberapa berkas kepada Mas Helmi.
Sepertinya Mas Helmi terlalu angkuh, sekedar membaca sebentar saja dia menolak. Namun, tak masalah bagiku, kebahagiaanku dan kedua anakku sudah di depan mata.
"Wah, Mas, sepertinya keberuntungan sedang memihakku, kamu bisa menikahiku secara negara dengan mudah tanpa susah-susah meminta izin dari mantan istrimu yang sombong itu, memiliki rumah semewah ini. Ah, aku makin cinta sama kamu, Mas!" celetuk Mariah, membuatku ingin terkekeh mendengar ocehannya yang halu tingkat dewa.
"Maaf, Ibu Mariah, Pak Helmi, ini mengenai penawaran dari Bu Dinda, tentang aset-aset dan harta kekayaan kalau di limpahkan pada pengadilan, Pak Helmi tak akan mendapat apapun selain selembar surat cerai." ucap Pak Gani hati-hati.
"Kenapa bisa begitu, Mas?" pekik Mariah sewot.
"Itu tidak mungkin, kamu pasti cuma menggertak saja, kan? Anak saya bekerja siang malam untuk membesarkan perusahaan miliknya. Bagai mana bisa ia tidak mendapatkan sepeserpun dari harta kekayaannya?" tanya Mama Wulan berang.
"Tunggu dulu, dong, sampai Pak Gani beres menjelaskan semuanya!" ucapku sambil tersenyum sinis ke arah Mariah dan Mantan mertuaku bergantian.
Rasa puas menelusup dalam relung jiwaku, melihat mereka ketar ketir karena takut tak akan mendapatkan apa-apa.
"Mas, jangan diam saja, dong. Lakukan sesuatu, kalau perlu rumah ini harus menjadi milik kita!" ucap Mariah makin cemberut, melihat Mas Helmi yang tak berkutik.
"Iya, Hel. ini semua'kan hasil kerja keras kamu, keringat kamu, jangan diam begini!" sahut Mama Wulan.
"Bagaimana? Bisa di lanjutkan, Pak Gani?" tanyaku dengan santai.
Jujur, ketika Mas Helmi menjatuhkan talak untukku, rasa sakit atas pengkhianatannya terasa ngilu di lubuk hatiku. Namun, ketika pembahasan beralih pada harta gono gini, aku seperi menyaksikan pertunjukan badut-badut yang haus akan harta di depanku. Sungguh memalukan!
"Baik, saya lanjutkan kembali. Bukti-bukti yang Bu Dinda miliki saat ini sangat kuat, saya yakin 100% Pak Helmi akan kalah di pengadilan. Jadi, untuk tidak membuang-buang waktu, Bu Dinda dengan berbaik hati ingin menyerahkan aset-aset yang Pak Helmi rintis di Jakarta saja. Rumah, serta semua aset-aset di Bandung itu menjadi haknya Ibu Dinda dan anak-anak." Pak Gani dengan detail.
"Dinda, jangan rakus begini! Mas Berhak juga atas toko- toko di Bandung, dong. Yang di Jakarta itu baru mulai, belum berjalan dengan baik, bahkan belum menghasilkan uang!" pekik Mas Helmi.
"Gampang, Mas. Kamu tinggal minta do'a dari istri kamu untuk kesuksesan toko kamu. Kamu lupa, dulu kita memulai semuanya dari nol juga, Mas?" tegasku.
"Bagaimana, Pak Helmi? Apakah Bapak setuju dengan penawaran Bu Dinda? tanya Pak Gani lagi.
"Jangan terburu-buru gitu, dong! Anak saya perlu berpikir, apa tak ada pilihan lain selain itu?" tanya Mama Wulan.
"Tak ada, Bu. Bahkan menurut saya, Bu Dinda Jelas-jelas sudah sangat baik. Ketika mengetahui pasangannya menikah secara diam-diam, dia masih bisa berbagi. Padahal, jika Bu Dinda egois, bisa saja Bu Dinda mendepak Pak Helmi tanpa memberi apa-apa!" Jelas sang pengacara dengan tenang.
"Saya beri waktu Pak Helmi 1×24 jam untuk berpikir, besok saya akan kembali lagi. Saya permisi, Bu, Pak!" Pak Gani pamit.
Mama Wulan menatapku dengan jalang, mungkin dia kesal karena anaknya tak bisa menyingkirkanku dengan mudah.
Mbak Sri tergesa-gesa menghampiriku yang masih bercengkrama dengan Umi dan Abi.
"Non, di depan ada dua orang polisi," ucap Mbak Sri.
"Polisi?" ucapku.
"Iya, katanya mencari Tuan Helmi," jelas Mbak Sri.
Aku mengalihkan pandanganku pada Mas Helmi.
"Aku? Apalagi ini?" Mas Helmi mengacak rambutnya dengan kasar.
"Sudah, ayo temui dulu saja, Mas!" ucap Mariah dengan lembut pada Mas Helmi.
Mas Helmi menurut, ia begegas ke depan, di ikuti dengan Mama Wulan dan Mariah. Aku penasaran untuk apa Polisi datang kemari mencari Mas Helmi? Segera kususul langkah mereka.
"Kami dari kepolisian ingin bertemu dengan Pak Helmi dan meminta penjelasan atas kegaduhan dan beredarnya video mesum itu di media sosial," jelas Pak Polisi.
"Pak, saya dan istri saya itu korban di sini, harusnya Bapak menangkap pelaku yang asal menyebarkan video itu bukan saya!" Mas Helmi membela diri.
"Mungkin, Bapak dan Ibu bisa jelaskan di kantor polisi saja. Mari ikut kami, Pak!" ujar Polisi yang satunya lagi.
Mama Wulan yang syok mendengar anaknya harus berurusan dengan Polisi, menangis meraung-raung lalu pingsan tak sadarkan diri.
Aku, Umi dan Abi berusaha menolongnya dan menidurkannya di sofa ruang tamu. Sedangkan Mariah menemani Mas Helmi ke kantor polisi.
Setengah jam kemudian, Mama Wulan bangun. Ia tampak memijit pelipisnya, dan seperti mengingat sesuatu.
"Mana Helmi, Dinda?" pekiknya kemudian, ketika ia telah sadar dengan apa yang terjadi sebelum ia jatuh pingsan.
"Tenang, Ma. Mas Helmi dan menantu baru Mama sedang ke kantor polisi dulu untuk di minta keterangan, Mama berdo'a saja semoga mereka berdua nggak di tahan dan mendekam di dalam penjara." Aku menjawab pekikan Mama Wulan dengan santai.
"Dasar perempuan kurang ajar!" tangan Mama terangkat tinggi hendak menampar wajahku, namun dengan cepat aku mampu mencekal pergelangan tangannya dengan kuat.
"Jauhkan tangan keriput Mama dari wajahku!" gertakku kemudian dengan emosi yang telah menyulut diriku.
Ia tampak ketakutan, melihat emosiku yang sudah tak bisa kukendalikan. Sebelum terjadi hal-hal yang memancing emosiku lebih jauh lagi, aku segera berlari ke kamar, meninggalkan mantan mertuaku sendirian.
_______________