POV KEYLA
Pagi ini udara sangat cerah. Membuatku seakan tambah berwarna, meski aku baru saja mengalami keguguran. Namun, itu bukan suatu kesedihan buatku. Toh, kalau aku tidak jadi mempunyai anak, aku bisa bebas pergi kemana saja dan melakukan apa yang aku suka. Tapi Mas Reyhan jangan sampai tahu dulu kalau aku mengalami keguguran.
Hari ini aku bersiap untuk menjemput Mas Reyhan dari rumah sakit. "Ah, kenapa dia harus pulang lebih cepat? Buatku malam ini tak bisa tidur lagi dengan David di rumah ini." sungutku merasa kesal. Semenjak Mas Reyhan dirawat di rumah sakit, David sering menemaniku tidur di rumah ini. Menciptakan surga dunia.
"Iva! Iva! Sini kamu!" panggilku pada pembantu baruku.
Iva terlihat berlari dari dapur menuju ke arahku. "Iya, Nyonya! Ada apa?" tanyanya dengan membawa kain lap ditangannya.
"Hari ini, Tuan Reyhan pulang dari rumah sakit. Tolong jangan pernah cerita tentang apapun sama suamiku. Termasuk Pak David yang selalu kesini!" titahku penuh penegasan.
"Ba-baik, Bu!" jawabnya sambil menunduk.
Aku bergegas menuju garasi mobil. Kemudian masuk ke dalam mobil dan melajukan mobilku dengan kecepatan sedang. Sepertinya aku sudah telat untuk menjemput Mas Reyhan. Biarlah, nanti aku cari alasan kenapa aku terlambat. Toh, dia laki-laki bucin yang selalu percaya setiap kata yang aku ucapkan.
Kurang lebih setengah jam, aku sampai di rumah sakit. Setelah aku memarkir mobil, aku bergegas menuju ruangan dimana Mas Reyhan dirawat. Nampak Mas Reyhan sudah siap untuk pulang. Namun, ia hanya melirikku sekilas. Mungkin ia marah karena aku terlambat datang.
Aku terkejut oleh ucapannya yang mengatakan aku sok suci di depannya. Bagaimana dia bisa mengatakan hal ini kepadaku.
"Kamu jangan berlagak sok menjadi pahlawan di depanku, Keyla." ketusnya. Membuatku terperangah kaget mendengarnya.
"Ma-maksudnya Mas apa, bicara seperti itu?" tanyaku menatapnya tajam menyembunyikan rasa berdebarku. Namun, ia hanya tersenyum sinis tanpa melihatku.
Aku pun tak menghiraukannya lagi. Segera aku mendorong kursi roda untuknya. Saat aku berusaha untuk membantunya duduk, ia menepisnya. Membuat pikiranku dihinggapi ribuan pertanyaan. Kenapa dia jadi seperti ini? Apa yang membuatnya seperti ini? Ataukah ini karena efek orang lumpuh? Ah, masa bodoh.
Aku mendorongnya keluar dari ruangan ini, membawanya pulang ke rumah. Sepanjang perjalanan ia hanya diam tanpa sepatah kata.
"Mas, aku sudah suruh pembantu kita untuk menyiapkan makanan kesukaanmu," ucapku sambil fokus mengemudi. Namun, ia tak menjawab sama sekali. Mungkin suamiku sariawan.
Sesampainya rumah, kami menuju kamar untuk membersihkan badan. Jangan sampai ada kuman atau bakteri rumah sakit menempel pada tubuh kami. Selesai membersihkan badan, aku dan Mas Reyhan langsung menuju meja makan. Untuk menikmati hidangan yang sudah disiapkan oleh pembantuku.
Pada saat makan, suasana hening dan sepi. Hanya suara dentingan sendok dan garpu yang mengiringi makan siang kami. Tak ada sepatah kata yang keluar dari Mas Reyhan. Aku pun mendiamkannya saja. Percuma dari tadi aku ajak bicara, tapi ia enggan untuk menjawabnya.
"Iva! Tolong meja makan dibersihkan! Kita sudah selesai makan!" panggilku pada Iva dan menyuruhnya membersihkan meja makan. Saat membersihkan meja makan, aku dan Mas Reyhan masih duduk di sana. Aku melirik pada pembantuku itu, nampak ia selalu melirik ke arah Mas Reyhan. Entah apa yang ada di pikirannya.
"Ehem-ehem!" sengaja aku berdehem. Iva langsung menatapku. Terlihat raut wajahnya kemerahan karena ketahuan selalu melirik suamiku.
Aku dan Mas Reyhan kemudian menuju ke kamar untuk istrirahat. Namun, sikap ia masih terlihat acuh dan dingin. Aku tak mau ambil pusing untuk terlalu memikirkan sikapnya.
******
POV REYNA
Pagi ini aku beraktifitas seperti biasanya. Bekerja dengan semangat. Karirku di perusahaan milik Haris terbilang cepat melambung tinggi. Alhamdulillah, ini adalah rezeki yang patut aku syukuri.
Jam dinding sudah menunjukkan pukul 10:00 pagi.
Kriiiiing.....!
Telepon berdering.
"Halo!" ucapku saat mengangkat panggilan itu.
"Halo, Bu Reyna, anda sudah ditunggu pak Haris dan Pak Adit di ruangannya." ucap Vina sekertaris Haris, yang tak lain adalah sahabatku sendiri. Namun, ia selalu memakai bahasa formal ketika di dalam kantor.
"Baik! Suruh tunggu sebentar! Aku segera kesana," ujarku.
"Baik, Reyna. Em...sorry! Maksudku Ibu Reyna." ucapnya membuatku terkikik. Kemudian aku mematikan telepon dan bergegas menuju ruangan Haris.
Tok....!tok....!
Aku mengetuk pintu ruangan Haris.
"Silahkan, masuk!" ucap Haris dari dalam ruangan ini. Aku pun membuka pintu dan masuk.
"Silahkan duduk! Ibu Reyna!" ucap Haris. Pak Adit tersenyum.
"Terimakasih," jawabku seraya tersenyum.
"Apa kabar, Pak Adit?" ucapku sambil mengulurkan tangan.
"Kabar baik, Ibu Reyna." jawab Pak Adit dengan senyum ramahnya.
"Pak Adit datang kesini mendadak sekali, Pak? Apa ada hal yang sangat penting?" tanya Haris.
"Jadi begini, Pak Haris. Saya orangnya paling tidak suka berbasa-basi. Saya kan sudah memutuskan kontrak kerjasama dengan Pak Reyhan. Apa Pak Haris bersedia terima kontrak itu? Saya amati dan perhatikan, perusahaan Pak Haris sangat bagus dan berkompeten. Dan lagi saya mendengar Direktur pemasaran perusahaan yang baru di sini itu sangat lihai untuk memajukan perusahaan ini. Sepertinya sangat cocok untuk menerima kerja sama," ujar Pak Adit.
"Wah, saya sangat bersedia, Pak Adit. Dengan kerja sama ini perusahaan kita, akan semakin besar. Kita bisa ciptakan produk luar biasa. Ditambah di sini ada Direktur pemasaran yang memiliki ide-ide cemerlang," ucap Haris melirik padaku.
"Ibu Reyna ini benar-benar tahu segalanya tentang produk dan membuatnya populer. Bahkan produk yang namanya hampir tenggelam saja, dalam beberapa hari lalu, setelah mendapat arahan dan tak-tik dari Direktur yang baru ini, setelah kami melakukan revisi, pengemasan yang menarik, dan melakukan pemasaran yang jitu, yang terlintas di kepalanya, langsung permintaan di pasaran membludak dan sekarang bagian produksi sedang kewalahan karena permintaan pasar yang mendadak tinggi," puji Haris yang membuatku merah merekah dan kepalaku terasa mendadak menjadi besar.
"Saya tidak sehebat itu, Pak Haris. Jangan memujiku terlalu berlebihan," ucapku tatkala dua laki-laki ini menatapku bersamaan.
"Anda hebat, Ibu Reyna dan anda akan menjadi orang sukses kelak," ucap Pak Adit. Aku hanya tersenyum. "Baik, Pak Haris dan Ibu Reyna, kalau begitu saya pamit dulu, masih ada rapat yang harus dihadiri. Terimakasih untuk kerja sama ini, dan nanti untuk tanda tangan kontrak akan diantar oleh asisten saya." Pak Adit bangun dari tempat duduknya kemudian berjabat tangan kembali dan berpamitan.
Seperginya Pak Adit dari ruangan...
"Yes, Reyna! Kamu memang pembawa keberuntunganku." teriaknya yang langsung memelukku. Jelas saja membuatku terkejut. Haris bisa melakukan ini semua diluar dugaanku.
"Ehem-ehem! Ingat, ya! Ini kantor bukan hotel!" ucap Vina membuat Haris seketika melepas pelukannya.
"Kita akhirnya yang mendapat kontrak dengan Pak Adit dan tadi aku tidak sengaja kebablasan sudah memeluk Reyna," ucap Haris. Vina hanya meletakkan jari telunjuknya di jidat secara miring. Membuatku terkikik. Jadi, maksudnya Vina itu, Haris setres. Bisa saja itu Vina.