"Haris, Reyna, tunggu! Aku ikut dengan kalian," panggil Nico ketika kami sampai di dekat mobil. Seketika aku dan Haris menoleh dan saling pandang. Kemudian menatap Nico yang nampak berjalan mendekat.
"Ok!" ucap Haris melempar kunci mobil ke arah Nico. Dengan sigap ia menangkap kunci mobil itu.
Kami pun masuk ke dalam mobil. Aku duduk di kursi belakang, sementara Haris duduk di depan bersama Nico. Nico mengemudi mobilnya dengan kecepatan sedang.
Sepanjang berjalanan Haris banyak bercerita tentang masa kecilnya bersama Nico. Namun laki-laki yang sedingin es itu hanya menimpalinya sesekali saja tanpa ada senyum yang tersungging dari bibirnya.
Setengah jam setelah perjalanan pulang, aku pun sampai di rumah.
"Reyna!" panggil Haris ketika aku hendak menurunkan kaki kiriku dari dalam mobil.
"Iya Ris," balasku mendongak melihatnya.
"Tidur yang nyenyak ya!" ucapnya membuatku geli dan tertawa.
"Sudah cepat turun, ini sudah malam!" dengan nada dingin Nico memerintah. Aku pun kemudian turun dari mobil.
"Haris, Pak Nico! terimakasih sudah mengantarkan aku pulang," ucapku berterima kasih. Haris mengangguk dan tersenyum. Aku berjalan masuk ke dalam rumah.
"Reyna!" panggil Haris lagi ketika aku hampir sampai di teras rumahku. Aku pun menoleh. "Jangan lupa mimpi tentang ku dan jangan biarkan manusia kutub ini masuk ke dalam mimpimu," teriaknya dengan membelakangi Nico. Sungguh aku hanya bisa tersenyum melihat tingkah Haris. Kemudian aku melangkah masuk ke dalam rumah dan beristirahat.
*******
Pagi menyapa, aku bangun dalam keadaan yang jauh lebih baik. Kulirik benda pipih yang berada di atas nakas kemudian meraihnya. Mengutak-atik benda itu kemudian menaruhnya kembali. Setelah itu aku bergegas mandi untuk bersiap ke kantor.
Setengah jam berlalu, aku pun selesai mandi. Kemudian memakai setelan kerja dan berhias secukupnya.
"Reyna, sarapan dulu," ujar Ibu.
"Maaf Bu, Reyna buru-buru. Reyna masuk kerja jam delapan dan ini sudah jam setengah delapan lebih," ucapku.
"Iya sudah minum susu saja," ujar Ibu lagi. Aku mengangguk. Kemudian meneguk susu yang sudah disiapkan oleh Ibu, hingga tandas. Setelah itu aku berpamitan kepada Ibu dan Bapak.
"Bapak, tangannya panas sekali? Bapak sakit?" tanyaku sedikit panik.
"Cuma meriang, Nak. Sudah biasa," jawab Bapak.
"Serius, Pak. Kalau Bapak sakit, ayok kita berobat dulu. Reyna tidak mau Bapak kenapa-kenapa, Reyna mau Bapak sehat. Supaya Reyna bisa semangat kerjanya," ucapku.
"Bapak tidak apa-apa, Nak. Ini tadi sudah dikerokin sama Ibu, nanti juga sembuh sendiri. Bapak sudah biasa seperti ini," ujar Bapak lagi.
"Beneran, Pak?" Bapak mengangguk.
"Bu, Reyna berangkat kerja dulu. Nanti kalau ada apa-apa sama Bapak, tolong hubungi Reyna ya, Bu?" Ibu hanya mengangguk sebagai jawabannya.
"Hati-hati,Nak," ucap Ibu dan Bapak bersamaan. Kemudian aku bergegas berangkat kerja.
"Ya Allah, tolong jaga Bapak dan Ibu. Limpahkanlah keduanya kesehatan. Aku belum bisa membahagiakan keduanya, Ya Allah," lirihku setelah sampai di depan pintu.
Dreeeet....!
Ponselku tiba-tiba bergetar. Apa Ibu yang menelponku? Baru saja juga di depan rumah.
"Ternyata, Haris," ucapku setelah mengeluarkan benda pipih tersebut dari dalam tas.
"Halo, Ris!"
"Hari ini kamu masuk kan? Jangan lupa hari ini ada meeting penting. Saya harap saat meeting nanti, kamu bisa mengeluarkan semua ide dan pendapat kamu. Saya yakin kamu pasti bisa mencari jalan keluar masalah ini," tutur Haris dari seberang sana.
"Tentu aku tidak lupa, kamu jangan khawatir," jawabku.
"Ok, bagus! Kita ketemu di ruang meeting nanti," ujar Haris. Laki-laki itu pun mematikan sambungan telepon.
[Pukul 08:30 Reyna, jangan terlambat. Ini meeting yang sangat penting] aku membaca pesan singkat dari Haris yang ia kirim melalui pesan w*****p.
Aku bergegas melanjutkan perjalanan menuju kantor.
Saat aku hendak menyebrang, sekilas aku melihat Keyla. Bersama dengan siapa, Keyla? Aku buru-buru menyebrang tanpa lagi menoleh ke kanan dan ke kiri.
Tin....! Tin....!
Aku kaget ketika hampir saja tertabrak mobil yang sedang melaju kencang.
"Hati-hati! Nanti kalau kamu tertabrak gimana? Jangan ceroboh! Dasar!" suara itu seketika membuat aku menoleh.
"Ada yang sakit?" tanyanya membuatku seakan tak percaya. Mataku terbelalak menatapnya.
"Halo, ada yang sakit tidak? Malah bengong," ketusnya. Seketika membuyarkan lamunanku.
"Ada!" ucapku dengan mata masih menatapnya.
"Mana?" Nico memegang tanganku. Mencari bagian yang luka.
"Hatiku," ucapku sambil melepas tangannya yang masih memegangiku. Kemudian aku melihat kanan dan kiri. Setelah tidak ada mobil yang lewat, buru-buru aku menyebrang. Tanpa lagi menoleh ke arah Nico.
Sesampainya di kantor, aku langsung menuju ruanganku. Mengambil berkas-berkas yang akan dibawa ke ruang meeting nanti.
Saat keluar dari ruangan, aku melihat Nico yang nampak keluar dari ruangannya. Ternyata ia juga ikut dalam mengelola perusahaan ini, setelah kepulangannya dari luar negeri. Tak sengaja mata kami saling berpandangan. Seketika aku langsung membuang muka. Kembali aku melangkahkan kaki berjalan untuk melewatinya. Namun, tiba-tiba high heels yang aku kenakan seakan hilang keseimbangan. Akhirnya aku oleng dan hampir terjatuh. Namun, laki-laki itu dengan sigap menangkap tubuhku. Sekarang posisiku seperti yang ada di film-film itu, mata kami pun kembali bertemu. Entahlah kali ini aku rasakan detak jantungku seakan berdetak lebih kencang dari biasanya.
"Ma-maaf, Pak!" ucapku menjadi terbata karena deguban jantungku yang seakan tidak normal. Ia membantuku berdiri dan melepaskan pelukan kami.
"Lain kali jalan pakai mata," ketusnya seketika membuatku jengkel. Kami pun bergegas menuju ruang meeting.
Di ruang meeting itu sudah ada Haris dan Vina.
*******
Tepat pukul 11:00 siang, rapat penting ini selesai dengan hasil rapat yang sangat memuaskan.
"Sebagai CEO di perusahaan ini aku sangat senang dengan ide dan pendapat yang Ibu Reyna keluarkan," ujar Haris di depan semua orang. Nico hanya melirik sekilas.
Setelah meeting selesai dan berjalan lancar, aku kembali mengaktifkan ponselku yang sejak meeting tadi aku mematikannya.
Dreeeet....!
Ponselku langsung bergetar, aku melihat pada layar ponsel. Ada panggilan masuk dari nomor yang tidak aku kenal.
"Halo," aku angkat panggilan tersebut.
"Halo, Reyna! Ini aku Dimas. Bapakmu sekarang ada di rumah sakit Harapan Indah, beliau sedang kritis,"
Deg
Jantungku seakan mencelos mendengar pernyataan dari seberang sana. Tanpa terasa air mataku keluar dengan sendirinya.
"Ya Allah, selamatkan Bapakku," pintaku pada sang Khalik.
"Baik, Mas! Aku akan segera ke sana. Terimakasih untuk informasinya," ucapku sambil mengusap kedua pipiku yang sudah basah oleh air mataku. Kemudian aku mematikan panggilan telepon itu.
"Reyna, kamu kenapa? Kok nangis?" tanya Haris. Sementara Vina mengelus pundakku.
"Tadi Mas Dimas, anak pemilik rumah kontrakan, ia menelponku katanya Bapak dibawa ke rumah sakit dalam keadaan kritis," seketika tangisku pecah kembali.
"Iya sudah, sekarang kita susul ke rumah sakit," ujar Haris. Aku mengangguk dan kami pun bergegas.
"Kamu yang tenang ya, Reyna," ucap Vina yang terus memegangi tanganku.
"Ya Allah, semoga tidak terjadi apa-apa pada Bapak," doaku. Baru saja aku ingin membahagiakannya. Baru saja aku menuju suksesku...