Aku beranjak bangun dan hendak keluar ruangan dengan hati yang dongkol. Saat aku membuka pintu untuk keluar, tiba-tiba aku menabrak seseorang yang berdiri tepat di depan pintu hingga aku terjerembab.
Beruntungnya Nico dengan sigap menahan tubuh tubuhku, hingga pandangan kami sempat bertemu sesaat. Entah kenapa aku merasakan ada debaran tersendiri saat bertatap muka dengannya.
"Cie-cie..., Ini kantor bos, bukan tempat pacaran!" seloroh Haris dengan tiba-tiba. Secepat kilat aku melepaskan tangannya yang memegang pinggangku.
"Maaf Pak!" ucapku tersipu.
"Mangkanya lain kali kalau jalan hati-hati," ucap Nico. Kemudian pergi meninggalkanku dan Haris.
Nico berlalu dengan melirik aku dan Haris.
"Hai tokek, kok main pergi begitu saja?" celoteh Haris sambil tertawa kecil.
Aku pun kembali masuk ke dalam ruanganku. Dan kembali duduk untuk melanjutkan aktifitasku.
Selang beberapa menit ponselku kembali bergetar. Dengan kasar aku mengambil ponselku dari dalam saku jasku. Aku tekan ponselku untuk melihat pesan yang masuk.
[ Nanti malam kita makan malam bersama]," mataku terbelalak membaca sebuah pesan dari Nico. Ada angin apa dia mengajak makan malam aku? Aku mengernyitkan keningku berpikir.
Aku tidak membalas pesan dari Nico. Mungkin dia salah kirim pesan. Kembali aku melanjutkan rutinitasku.
Aku melirik jam yang berada di tangan kiriku. Waktu sudah menunjukan pukul 04:00 sore. Saatnya untuk berkemas pulang. Seusai berkemas aku meninggalkan kantor ini.
"Hai, Ibu Direktur tunggu!" panggil Vina sambil berlari kecil. Sejenak aku menghentikan langkahku menoleh ke arahnya.
"Kita pulang bareng, ya?" ucap Vina sesampainya di dekatku. Aku hanya mengangguk dan tersenyum padanya.
"Reyna! Boleh aku tanya sesuatu ke kamu?" ucapnya nampak sekali serius.
"Tanya, tanya saja! Kenapa mesti minta izin segala?" jawabku sambil terus berjalan.
Terlihat Vina bernafas panjang, lalu membuangnya kasar. "Aku baru mendengar kalau ternyata Reyhan mantan suami kamu itu, menikah dengan Keyla, Sahabat baik kita dulu? Betul-betul aku jadi emosi mendengarnya. Apa itu betul?"
"Iya betul apa yang Anda dengar," jawabku.
"Whaaaat?" teriak Vina. Seketika aku menghentikan langkahku dan membungkam mulutnya dengan kedua telapak tanganku.
"Mohon mulutnya dikondisikan, Vina!" ucapku. Vina membelalakkan kedua matanya dan mencoba melepaskan kedua tanganku yang masih membungkamnya.
"Tapi, kenapa kamu tak pernah bercerita padaku?" protes Vina.
"Sudah! Aku tidak ingin lagi mengingat atau membahas masalah itu. Mungkin Allah mempunyai rencana lain untukku," ungkapku lagi.
Vina mengernyitkan keningnya seakan mencoba mengingat sesuatu.
"Sebentar deh, Reyna!" ucap Vina sembari menarik tanganku untuk menghentikan langkahku. Aku pun kembali menoleh ke arahnya.
"Waktu itu aku pernah ketemu Keyla dengan seorang laki-laki di sekitar sini. Mereka nampak mesra...," sejenak ia menghentikan ucapannya. "Atau jangan-jangan, Keyla berselingkuh dari Reyhan," ucapnya kemudian.
"Sudah stop ghibah dan jangan mencampuri urusan orang lain! Nanti malah dosa mereka ikut pada kita," ucapku menasehati. Kemudian aku melanjutkan langkahku kembali, yang disusul oleh Vina.
"Kamu betul-betul berhati mulia, Reyna. Semoga Allah menggantinya dengan yang lebih baik," ucapnya mendoakanku.
"Aamiiin," ucap kami bersamaan.
"Mas Dimas!" panggil Vina melambaikan tangan pada Mas Dimas yang nampak sedang melakukan lari sore.
Mas Dimas berlari kecil mendekati kami. "Kalian baru pulang?" tanyanya sembari mengusap keringat yang menetes pada wajahnya dengan handuk kecil yang diselempangkan di lehernya.
"Wah, ternyata Mas Dimas suka olahraga juga?" tanyaku.
"Iya, suka sih, tapi malas untuk tiap hari olah raga," selorohnya membuat aku dan Vina tersenyum kecil.
Kami pun berjalan bertiga, hingga berpisah di tikungan.
Setelah sampai di rumah, aku merebahkan badanku ke tempat tidur. Menatap langit-langit kamarku. Memikirkan tentang apa yang sudah terjadi dalam kehidupanku dan apa lagi yang akan terjadi di kehidupanku selanjutnya.
Aku urut kepalaku yang terasa sedikit pusing, kemudian aku pejamkan kedua mataku sebentar menetralisir pikiranku.
Beberapa saat kemudian terdengar ponselku bergetar. Bergegas aku bangun untuk mengambil benda pipih tersebut di atas nakas.
Aku mengernyitkan kening melihat nama yang tertera pada layar tersebut. Segera aku geser warna hijau pada ponselku untuk menjawab panggilan tersebut.
"Hallo, Pak Nico?" sapaku sedikit ragu.
"Reyna, segera kamu bersiap. Satu jam lagi, aku akan menjemputmu!" ujar Nico dari ujung seberang telepon. Seketika rasa kantukku menghilang bersama dengan keterkejutanku.
Tut...! Tut...!
Belum sempat aku menjawab permintaan Nico. Namun ia sudah terlebih dulu mengakhiri panggilan, tanpa menunggu jawaban dariku.
"Ih, orang ini memaksa atau bagaimana sih? Belum juga aku menjawabnya tapi sudah main matiin ponsel saja," sungutku.
Kemudian aku melepas pakaian kerjaku dan bergegas untuk mandi.
Kurang lebih tiga puluh menit, aku sudah selesai menyegarkan tubuhku kembali. Setelah seharian melakukan aktifitas yang lumayan menguras energi dan pikiran.
Tok...! Tok...!
Terdengar pintu kamarku diketuk dari luar.
"Masuk saja, Bu! Tidak dikunci kok pintunya," selorohku di depan kaca untuk melakukan make up.
Tok...!tok...!
Kembali pintu kamarku di ketuk. Aku menoleh dan menatap pintu kamarku. "Ada-ada saja, Ibu ini," ucapku menggelengkan kepalaku. Dengan malas aku beranjak bangun berjalan ke arah pintu.
"Ada apa, I...?" aku menghentikan ucapanku setelah melihat dibalik pintu. Mataku terbelalak sempurna setelah melihat seseorang yang berdiri di depan pintu. Aku mengusap kedua mataku kasar, seakan tidak percaya dengan apa yang aku lihat saat ini.
"Pak Nico," ucapku merasa terkejut oleh kedatangannya. "Bukankah tadi Bapak bilang satu jam lagi, tapi ini belum ada satu jam kan?" lanjutkan.
"Nak Nico sudah datang kira-kira sepuluh menit yang lalu, Nak. Dia tadi ngobrol sama Ibu di sini," jelas Ibu menunjuk sofa yang tidak jauh berada di depan kamarku. "Tadi Ibu sudah lihat kamu di kamar, tapi Ibu dengan kamu sedang mandi," lanjut Ibu menjelaskan. Aku hanya manggut-manggut saja.
"Dan tadi Ibu ingin memanggil kamu lagi, tapi aku minta izin sama Ibu, agar aku saja yang mengetuk pintu kamu," lanjut Nico. Aku hanya diam mendengar penjelasannya.
Letak kamarku memang berada tak jauh dari ruang tamu. Mungkin itu yang menjadikan Nico berani mengetuknya, karena juga ada Ibu yang bersamanya.
"Sudah sekarang cepat kamu dandan yang cantik, kasihan Nak Nico menunggu terlalu lama," ucap Ibu menepuk bahuku. Membuatku tersipu malu di hadapan Nico.
"Baiklah! Kalau begitu saya ganti baju dulu, Pak. Silahkan ngobrol dulu sama Ibu!" ucapku. Nico hanya mengangguk dan Ibu melihatnya dengan tersenyum.
Ibu dan Nico kembali ke tempat duduk semula. Sementara aku kembali ke kamar untuk bersiap-siap pergi makan malam dan tak lupa menutup pintu.
Setengah jam akhirnya aku selesai mempercantik diriku. Dan bergegas keluar kamar menemui Ibu dan Nico.
"Itu Keyla sudah siap," ucap Ibu menunjuk ke arahku. Nico menoleh ke arahku. Kedua mata Nico nampak tidak berkedip menatapku, memandangku dari ujung rambut hingga ujung bawah.
"Apakah ada yang salah dengan penampilanku?" tanyaku yang merasa tidak percaya dengan tatapannya tadi.
"Oh, ti-tidak. Kamu....," jawab Nico tergeragap dan tidak melanjutkan ucapannya.
"Apa kamu sudah siap?" tanya Nico. Aku hanya mengangguk.
"Baiklah! Maaf Bu, kami keluar sebentar ya," ucap Nico meminta izin padaku.
"Hati-hati, Nak! Jangan terlalu malam pulangnya!" ucap Ibu dengan seulas senyum.
Setelah berpamitan kami pun berjalan menuju pintu keluar. Dan ketika membuka pintu ada sesosok wajah tampan berdiri di depanku. Membuat kami semua merasa terkejut oleh kedatangannya. Ada apa dia ke sini?