Byuuur...!
Tiba-tiba ada seseorang yang menyiram kepalaku dengan segelas air. Seketika aku dan Nico menatap ke arah tersebut.
"Kamu? Apa yang kamu lakukan?" tanya Nico menatap tajam seseorang tersebut.
Seketika aku dan Nico beranjak bangun menatap seseorang yang sudah menyiramku dengan segelas air. Kedua mataku membulat sempurna menatapnya yang kini berdiri tepat di hadapanku dengan gelas yang berada di genggaman tangannya.
Dia menatapku dengan tatapan yang sinis serta sebelah bibirnya naik ke atas membentuk senyuman sinis. Bibirku seakan tak mampu untuk berkata, ada rasa tak percaya atas apa yang sudah ia lakukan terhadapku.
"Kamu? Apa maksudmu dengan menyiramku?" tanyaku dengan menggelengkan kepalaku.
"Iya, Haris. Apa maksud kamu menyiram Reyna seperti ini?" tanya Nico memegang kerah baju milik Haris.
Haris masih dengan tatapan sinisnya menatap ke arah kami secara bergantian.
"Reyna, jangan mentang-mentang kamu mendapat posisi terbaik di perusahaanku, lantas kamu bisa se enaknya mendekati Nick untuk bisa masuk ke dalam keluargaku. Kamu harus ingat siapa kamu!" seloroh Haris menatapku sorot mata tajam menghujam.
Plak!
Sebuah tamparan mendarat keras di pipi kanan Haris.
"Haris, jaga mulut kamu! Aku betul-betul tidak menyangka mempunyai adik sepertimu," bentak Nico keras, hingga semua pengunjung yang ada di restoran ini mengarah pada kami.
Haris mengusap sudut bibirnya yang mengeluarkan darah. Lalu ia tersenyum sinis.
"Apa kamu cemburu melihat Reyna denganku? Bukankah kalian tidak ada hubungan apa pun, kecuali persahabatan?" seloroh Nico menatap Haris. Kemudian menatapku.
Haris masih terpaku tanpa menjawab pertanyaan dari Nico. Sementara aku tak mampu berkata apa pun dan hanya bisa menatap keduanya yang beradu mulut. Tak terasa ada rasa sesak di dalam dada, tanpa terasa air mataku tumpah membasahi kedua pipiku.
Seorang sahabat yang selama ini selalu menolongku, seorang sahabat yang aku anggap baik ternyata begitu tega memperlakukan aku seperti ini.
"Oh, jadi seperti itu yang kamu jelaskan pada kakakku, Nico?" ujar Haris menatapku sinis.
Aku mendongak menatap Haris, mengusap kedua pipiku yang sudah basah oleh buliran bening.
"Maksud kamu apa, Ris?" tanyaku yang tidak mengerti arah pembicaraan Haris.
"Sudahlah, Reyna. Kamu mendekatiku untuk mendapatkan posisi yang terbaik di perusahaanku kan? Lalu kamu berusaha mendekati kakakku untuk bisa masuk ke keluarga terpandang di kota ini?" sinis Haris.
Hati bagai teriris perih mendengar pernyataan Haris. Aku tidak pernah menyangka dia akan melakukan hal ini terhadapku.
"Cukup, Haris! Jika kamu menilai aku seperti itu, aku tidak akan pernah mengelak. Terimakasih dari sejak kita kuliah, kamu selalu membantuku hingga saat ini. Aku tidak akan pernah lupa. Maaf kalau aku tidak bisa membalas Budi baikmu selama ini. Dan mulai besok aku tidak akan bekerja lagi di perusahaanku. Terimakasih untuk semuanya," ujarku mencoba untuk tegar di hadapannya. Meski jujur hati bagai tersayat.
Aku membalikkan badan hendak meninggalkan restoran ini. Namun langkahku terhenti ketika di depanku ada Vina dan beberapa rekan di kantor.
"Happy birthday, happy birthday, happy birthday to you," Vina menyanyikan lagu ulang tahun yang diiringi suara Haris, Nico dan nyanyian dari para pengunjung untukku dengan iringan tepuk tangan dari mereka.
Aku melihat Vina berjalan mendekat ke arahku, dengan sebuah kue di tangannya yang bertuliskan namaku dan umurku.
Aku tertegun melihatnya, seakan semuanya terasa mimpi. Aku menoleh ke arah Haris dan Nico, mereka tersenyum ke arahku dan mengangguk. Kemudian pandanganku tertuju pada mereka yang sekarang berdiri melihat ke arahku.
"Tiup lilinnya, tiup lilinnya, tiup lilinnya sekarang juga, sekarang juga...." nyanyian dari mereka setelah Vina berada tepat di hadapanku. Aku mengusap kedua pipiku yang sudah dibanjiri oleh air mataku karena rasa haru yang tidak bisa aku gambarkan.
Untuk ulang tahunku sendiri saja aku tidak bisa mengingatnya. Mereka memberikan kejutan untukku yang sangat luar biasa.
Sekali lagi aku menoleh ke arah Haris dan Nico yang sekarang berdiri tepat di hadapanku. Keduanya mengangguk dan mengulas senyum. Aku berdoa sebelum mematikan lilin tersebut, semoga semua mendapat ridho dari Allah dan dipermudah langkahku dan segala urusanku.
Setelah aku mematikan lilin pada kue tersebut. Tepuk tangan meriah dari mereka kini memenuhi ruangan ini.
"Selamat ulang tahun ya, Reyna. Maafkan aku tadi yang sudah membuatmu menangis," ucapnya memberiku selamat. Kemudian ia memelukku. Air mataku kembali tumpah, merasa sangat terharu atas kejutan ini.
"Ehem-ehem," Nico berdehem. Seketika aku dan Haris melerai pelukan. "Selamat ulang tahun, Reyna!" ucap Haris mengulurkan tangannya.
Aku pun menyambut uluran tangan Nico. "Terimakasih, Pak Nico!" ujarku penuh senyum.
"Selamat ulang tahun, Reyna!" ucap Vina. Kemudian kami saling berpelukan erat.
"Terimakasih, Vina. Terimakasih pada semuanya. Tapi ngomong-ngomong, semua ini ide siapa?" tanyaku menatap mereka satu per satu.
"Yang jelas semua ini ide sahabatmu yang paling tampan ini, Reyna," ujar Haris menyombongkan diri. "Yang dibantu oleh mereka-mereka ini," ujar Haris selanjutnya.
"Silahkan para tamu undangan mohon duduk kembali dan nikmati hidangan yang sudah disediakan!" ucap Nico pada seluruh pengunjung restoran ini, yang ternyata mereka adalah tamu undangan.
Kemudian kami duduk di kursi satu meja dengan Haris, Nico, dan Vina. Para Waiters datang kembali dengan membawa menu makanan untuk disiapkan di meja kami.
"Reyna, besok kamu tidak jadi mengundurkan diri dari perusahaan kan?" tanya Haris dengan raut wajah penuh khawatir.
Aku menatapnya tajam tanpa senyuman. Melipat kedua tanganku di atas perut. "Mau loooooh? Aku munduuuur?" tanyaku sedikit mengejek.
"Iya, tadi aku sudah berkata yang melampaui batas," ucapnya. "Tapi, tadi actingku bagus tidak?" selorohnya lagi dengan mulut nyengir. Hingga membuat kami tertawa semua.
"Sukses banget lah, bisa buat aku menangis. Betul-betul tadi kayak sinetron di televisi itu," ujarku. Membuat semuanya tertawa.
Kami pun menikmati hidangan kembali. Namun, aku dan Nico hanya menikmati beberapa camilan, karena tadi sudah makan sebelum acara ini dimulai.
Haris mengeluarkan kotak kecil dari dalam saku jasnya. "Ini ada hadiah kecil dari aku, semoga kamu bisa menerimanya. Jangan kamu lihat hadiahnya, tapi lihatlah dari ketulusanku sebagai lelaki," ucapnya sambil menyerahkan kotak tersebut padaku.
Deg!
Ada debar jantungku ketika mendengar ucapan dari, Haris. Jangan-jangan ia memberi cincin? Karena penasaran aku segera mengambilnya dari tangannya.
"Ini apa, Ris?" tanyaku yang masih penasaran.
"Kamu buka saja," jawabnya.
Aku menatap Haris, Nico dan Vina. Mereka nampak tersenyum dan menganggukkan kepala.
Perlahan aku membuka kotak tersebut.
Deg!
Jantungku kembali mencelos ketika melihat isi dari kotak kecil tersebut. Rasa tak percaya, lalu aku menutup kembali kotak tersebut dengan cepat. Apakah Haris tidak salah memberikan hadiah seperti ini? "Ini untuk aku?" tanyaku sembari membeliakkan kedua mataku.
"Kenapa? Kamu tidak suka?" tanya Haris. Kemudian ia meraih tanganku dan menggenggamnya.