Terdengar suara seorang perempuan paruh baya dari arah belakangku. Seketika membuatku dan Vina menoleh ke arah sumber suara tersebut.
Kedua bola mataku terbelalak karena merasa sangat terkejut. "Tante Herlina, Om Cahyo?" seruku pada kedua orang tua Nico. Aku merasa sangat terkejut dengan semua kejutan di malam ini. Haris yang sudah memberiku kejutan di hari ulang tahunku, Nico yang tiba-tiba melamarku di hari ulang tahunku juga, bahkan kedua orang tuanya juga langsung datang ke sini.
Aku betul-betul tidak pernah menyangka akan hal ini. Bagiku ini terlalu cepat untuk menerima lamaran, Nico. Lagi pula, aku belum terlalu lama mengenalnya. Tapi bagaimana jika aku menolaknya?
Kedua orang tua Nico tersenyum dan berjalan mendekat ke arahku. Senyum yang mengembang dari keduanya. Ada rona bahagia dari raut wajah keduanya.
"Selamat ulang tahun ya, Nak," ucap Om Cahyo.
"Terimakasih, Om," jawabku ramah.
"Selamat ulang tahun ya, sayang! Semoga apa yang kamu cita-citakan berhasil di tahun ini. Semoga selalu diberikan kesehatan dan kebahagiaan," ujar Tante Herlina. Kemudian mencium pipi kanan kiriku dan memelukku penuh hangat.
"Aamiiin, terimakasih, Tante," ucapku dengan membalas pelukan Tante Herlina.
Setelah beberapa saat kami pun melerai pelukan. Mama dan Papa Nico pun bergabung di meja kami.
"Nak, Reyna! Mau ya? Kamu terima lamaran anak Tante dan Om, ya?" pinta Tante Herlina sembari memegang tanganku. Tatapan matanya penuh harap. Ada ketulusan dari sorot mata seorang Ibu.
Sejenak aku diam, jawaban apa yang harus aku katakan. "Ta-tapi ini terlalu mendadak buat aku, Tante," ucapku dengan hati-hati takut melukai perasaan mereka.
Tante Herlina tersenyum dan menatapku. Tangannya mengelus punggung tanganku lembut. "Kamu tidak perlu menjawabnya sekarang, Nak!" ucapnya seolah memahami apa yang tengah aku rasakan.
Akhirnya aku bisa bernafas dengan sangat lega. Setidaknya aku bisa mempertimbangkan untuk menerima atau menolak lamaran Nico yang sangat mendadak dan diluar sepengetahuanku ini.
Kurang lebih tiga puluh menit kami mengobrol, kami pun meninggalkan restoran ini. Sejenak aku menghentikan langkah kakiku di depan halaman restoran tersebut. Pandanganku tertuju pada mobil mewah keluaran terbaru dengan warna merah kesukaanku.
"Kenapa berhenti?" tanya Haris menatapku lalu memandang ke arah mobil yang aku perhatikan tanpa berkedip.
"Kamu suka mobil itu?" tanya Haris dengan telunjuk tangan kanannya menunjuk pada mobil mewah tersebut.
"Ti-tidak, kok," jawabku karena takut akan menyinggung perasaannya yang sudah memberi aku hadiah sebuah mobil, meski belum aku tahu model mobilnya.
Haris tersenyum melihatku, lalu kembali memandang mobil itu lagi. Satu tangannya dimasukkan ke dalam saku celananya dan menatapku kembali.
Sejenak Haris terdiam. "Mobil itu untuk kamu," tuturnya. Seketika membuat jantungku mencelos. Kedua mataku membulat sempurna dan aku tutup mulutku dengan kedua telapak tanganku.
"Ja-jadi i-ini mobil yang kamu maksud? Jangan bercanda kamu," tuturku masih dengan rasa tak percaya.
Haris kembali tersenyum. "Mana kotak yang berisi kunci mobil tadi," tangannya menengadah. Dengan gugup aku mengambil kotak tersebut dari dalam tas jinjingku dan memberikannya pada Haris.
Haris membuka kotak kecil itu dan mengambil kunci mobil yang ia minta. Lalu memberikan kotaknya kembali padaku.
Haris berjalan mendekat ke arah mobil itu. Kemudian ia membuka pintu mobil dan masuk ke dalamnya. Haris menyalakan mesin tersebut, lalu membuka kaca mobil itu.
Aku masih berdiri di tempat. Kedua mataku masih menatap mobil itu. Rasa tak percaya masih menyelimutimu. Aku tepuk pipiku dengan kedua telapak tanganku. Terasa sakit. Berarti ini semua adalah nyata. Ya Allah aku masih belum percaya.
"Aku tidak bohong kan? Ayo sini?" teriak Haris setelah keluar dari dalam mobil tersebut.
"Reeeynaa! Masha Allah kamu beruntung banget dapat hadiah mobil mewah seperti itu," seloroh Vina yang juga sama terkejutnya sepertiku.
Dengan langkah pelan dan ragu, aku berjalan menuju mobil tersebut. Haris membukakan pintu kemudi untukku, lalu aku masuk ke dalamnya.
Aku mengusap kursi dan setir mobil tersebut. Dengan pelan aku menghidupkan mesin mobil itu. Ternyata betul apa yang dikatakan oleh Haris, jika ini mobil yang ia sudah hadiahkan untukku.
Aku menitikkan air mata karena merasa sangat terharu. Ternyata masih ada orang yang begitu peduli padaku.
******
POV KEYLA
Aku berjalan mondar-mandir di balkon ruanganku. Pemandangan gedung-gedung tinggi menjulang terlihat jelas dari jendela kaca yang menghadap langsung ke pusat Jakarta. Rasa gelisah menyelimuti hatiku. Hari ini Pak Marcel akan datang untuk menagih hutang-hutang perusahaan ini padanya.
Gegas aku meraih ponselku yang berada di atas meja untuk menghubungi David. Dulu ia berjanji akan ikut menanggung hutang perusahaan ini. Karena waktu itu aku berhutang untuk mencukupi kebutuhannya, dengan mengatasnamakan perusahaan ini. Jadi sewajarnya jika ia mengembalikan pinjaman waktu itu.
"David! Hari ini Pak Marcel akan datang ke perusahaan jam sebelas siang meminta kita untuk mengembalikan seluruh pinjamannya beserta bunga-bunganya," ucapku langsung ketika David menerima panggilan teleponku.
"Lalu?" jawab David seakan tidak menunjukkan ekspresi apapun.
Aku berdecak kesal mendapat jawaban dari David. "Lalu, lalu aku tak tau lagi harus berbuat apa, David!" ucapku kesal.
"Kamu tenanglah, sayang! Kamu jadi kan menjual perkebunan milik suamimu yang berada di Jawa Barat itu?" tanya David.
Aku menghela nafas panjang dan diselimuti kekecewaan pada David. "Sudah, David. Aku sudah pasang iklan. Tapi sampai saat ini belum ada yang membelinya, menjual aset seperti itu juga tidak mudah, David," ungkapku.
"Lalu, apakah Reyhan bersedia mengalihkan nama pemilik perusahaan ini menjadi milikmu," tanya David selanjutnya.
Serasa sesak nafas ini mendengar pertanyaannya. Masih teringat bagaimana aku merayu Mas Reyhan untuk mengatasnamakan perusahaan ini menjadi milikku, tapi kelihatannya mas Reyhan masih keberatan.
"Hallo, hallo, Keyla." panggil David dari ujung seberang sana. Seketika membuyarkan lamunanku.
"I-iya, David. Mas Reyhan belum mengabulkan permintaanku ini," jawabku tergeragap.
Terdengar David mendengus berat, pastinya ia merasakan kekecewaan. Aku semakin gugup dan takut. Sejenak aku terdiam.
Tok! Tok!
Terdengar ada seseorang mengetuk pintu dari luar ruanganku. "Nanti kita bicarakan lagi ya, David," ucapku pada David.
"Jangan lupa transfer uang seperti yang aku sebutin ya, muuuach," seloroh David. Tanpa menunggu jawabanku ia langsung mematikan ponselnya.
"Masuk!" selorohku sedikit meninggikan suara pada seseorang di luar pintu.
Pintu kemudian terbuka. Nampak seorang laki-laki berdiri di depan pintu.
"Silahkan masuk, Bagus!" ucapku pada Alex. Orang suruhanku untuk menjual perkebunan milik Mas Reyhan. Karena tidak mungkin aku menyuruh Bagus, dia selalu bertentangan denganku.
"Ada apa, Alex?" tanyaku setelah ia duduk di kursi tepat di hadapanku.
"Saya sudah menemukan seseorang yang akan membeli perkebunan sesuai dengan hutang-hutang perusahaan pada perusahaan Pak Marcel, Bu Keyla?" jelasnya.
"Apa tidak bisa lebih, Alex?" tanyaku menatap getir pada Alex.
"Berapa harga yang anda inginkan, Ibu Keyla?" tiba-tiba terdengar suara seseorang dari balik pintu. Seketika aku menatap ke arah sumber suara tersebut. Aku terperangah kaget ketika melihat seseorang yang kini tengah berdiri di ambang pintu.