Chereads / DINGINNYA SUAMIKU / Chapter 42 - BAB 42

Chapter 42 - BAB 42

Laki-laki itu berdiri tepat di depan pintu dengan kedua tangannya dimasukkan ke dalam saku celananya. Laki-laki berkulit putih dan memiliki tubuh yang sangat ideal itu menatap ke arahku dengan senyuman tipis dari bibirnya.

"Kamu?" seketika aku berdiri menatapnya. Begitu juga dengan Alex. Namun, ekspresi Alex tidak menunjukkan apa-apa. Ia nampak biasa saja melihat sosok laki-laki yang kini melangkahkan kakinya masuk ke dalam ruanganku.

"Ibu Keyla, ini lah Pak Nico yang akan membeli perkebunan milik Pak Reyhan yang berada di Jawa Barat," jelas Alex.

Aku masih menatap lekat pada wajah Nico. Sorot matanya yang tajam menatapku penuh arti.

"A-apa tidak ada yang mau membeli perkebunan kita selain laki-laki ini, Alex?" tanyaku dengan berbisik pada Alex. Sementara Alex hanya menggelengkan kepala sebagai jawaban atas pertanyaanku.

"Bagaimana Ibu Keyla? Apakah harga yang aku tawarkan tidak sepadan dengan luas perkebunan suami, Ibu?" tanya Nico menatapku.

"Silahkan duduk dulu!" ucapku. Nico pun duduk di kursi yang sudah disiapkan oleh Alex.

"Alex, tolong tinggalkan kami berdua!" perintahku pada Alex. Alex pun beranjak pergi meninggalkan aku dan Nico.

Aku kembali duduk, menatap sebentar ke arah Nico. Laki-laki terlihat begitu santai seperti sudah tidak ada lagi kenangan kita yang dulu pernah ada.

"Nico, kemana saja kamu selama ini? Kenapa begitu tega meninggalkan aku sendiri?" ucapku sembari meraih tangannya yang berada di atas meja. Namun, dengan cepat ia menepis tanganku. Seakan aku tidak percaya. Ia bukan Nico yang dulu selalu memanjakan aku.

"Kamu tahu? Bagaimana aku ketika kamu meninggalkan aku begitu saja tanpa kabar? Aku bahkan seperti orang gila karena kepergian mu," jelasku pada Nico. Kenangan itu masih membekas di ingatanku. Namun, wajah Nico tidak menunjukkan ekspresi apapun.

Aku menghela nafas panjang, menatap Nico dalam. "Betul, kamu ingin membeli perkebunan milik suami saya?" tanyaku masih menatap tajam ke arah Nico.

"Lalu kamu pikir untuk apa aku datang ke sini?" Nico bertanya balik padaku. "Aku datang ke sini untuk menanyakan surat-surat tanah yang katanya akan kamu jual itu," jelasnya kembali.

"Apa kamu tidak ingin menanyakan kabarku setelah sekian tahun kamu meninggalkanku?" tanyaku kembali.

"Keyla, tolong jangan ingatkan kenangan aku bersama denganmu. Sekarang aku sembuh, jadi tolong jangan coba untuk mengungkit luka itu kembali," ucapnya membuatku melongo.

"Maksud kamu apa?"

"Aku tidak perlu menjelaskannya padamu Keyla, tentunya kamu sangat tahu alasan kenapa aku pergi meninggalkanmu,"

"Ta-tapi Nico...," belum selesai aku mengucapkan kata-kataku tangan kiri Nico diangkat ke atas, memberikan kode untukku agar aku menghentikan ucapanku.

"Cepat! Berikan padaku surat tanah itu! Atau kamu ingin kamu masuk penjara karena tidak bisa membayar hutang-hutangmu untuk selingkuhan mu itu," mendengar penjelasannya kembali aku terperangah oleh ucapan Nico itu. Bagaimana ia tahu tentang semuanya?

Segera aku beranjak bangun mengambil surat tanah yang sudah aku ambil tanpa sepengetahuan Mas Reyhan. Dan menyerahkan pada Nico.

Nico membuka dan membaca dengan teliti surat tanah tersebut. Setelah semuanya jelas ia langsung mentransfer sejumlah harga tanah perkebunan tersebut.

"Baik, perkebunan suamimu sudah aku beli sesuai nominal. Beberapa hari lagi akan berpindah tangan atas namaku," ucapnya sambil tersenyum kecut ke arahku. Dan beranjak pergi dari ruanganku.

Setelah kepergiannya aku berdecak kesal. Melempar semuanya yang berada di atas meja hingga jatuh berserakan di lantai.

"Kenapa harus dia yang membeli perkebunan itu?" teriakku kesal.

******

POV REYNA

Pukul 00:15 malam Nico mengantarku aman dan selamat hingga rumah. Sementara Haris mengemudi mobil baruku hadiah ulang tahun dari mereka. Lampu rumah sudah padam semua, sepertinya Ibu sudah tertidur.

"Pak Nico, terimakasih untuk semua. Ini terlalu berlebihan untukku. Dan maafkan aku jika terlalu merepotkan, Bapak," ungkapku.

Nico menatap lekat ke arahku. "Panggil aku dengan Mas saja. Toh, kita juga akan menjadi suami istri kan?" ucapnya hingga membuatku menelan ludah.

Aku merasa tersentak dengan apa yang Nico katakan. Apakah aku harus merasa senang atau apa? Jujur aku merasa bingung. Sejenak aku terdiam dan berfikir.

"I-iya Pak. Maaf Ma-s Nico," ucapku gugup dan merasa kikuk.

Kemudian aku turun dari mobil. Ketika nampak Haris sudah memasukkan mobil baru tersebut di dalam garasi.

"Sudah, sekarang masuk dan istirahat," ucap Haris sambil berjalan mendekat ke arahku. Aku hanya mengangguk.

Haris pun naik ke dalam mobil Nico, Kakaknya. Aku berjalan menuju pintu rumahku. "Selamat malam calon Kakak ipar," teriak Haris dari dalam mobil hingga membuatku menghentikan langkahku dan menoleh ke arah mereka kembali. Haris tertawa lebar.

Hari ini aku pulang larut malam karena banyak mengobrol dengan orang tua Nico dan Haris. Juga kejutan yang mereka berikan menyita waktu yang cukup lama.

Permintaan Mama dan Papa Nico agar aku menjadi suaminya, betul-betul membuat aku s angkat syock. Untungnya mereka sanggup menunggu jawabanku beberapa bulan ke depan. Mau menolak juga tidak enak. Sedangkan kalau langsung menerima rasanya terlalu cepat.

*******

Keesokan paginya....

"Reyna! Reyna! Bangun sayang!" teriak ibu membangunkan aku dengan mengetuk pintu sangat keras.

Aku tergeragap sangat terkejut hingga membuatku langsung terbangun dan berlari menuju pintu kamar.

Di depan pintu nampak Ibu dengan wajah yang cukup panik. "Ada apa, Ibu?" tanyaku sambil mengucek kedua mataku yang masih terasa mengantuk.

"I-itu yang di dalam garasi mobil siapa, Nak?" tanya Ibu seraya memasukkan kepalanya ke dalam kamarku melihat seisi kamarku.

"Itu mobil Reyna, Bu," jawabku dengan sangat ramah.

Ibu nampak terkejut dan membuka kedua bola matanya lebar. "Kamu mimpi, ya?" tanya Ibu kembali.

"Iya, Ibu. Itu mobilku,"

"Bukannya kamu baru dua bulan diangkat sebagai Direktur. Tapi sudah beli mobil mewah seperti itu. Mana mungkin?" tanya Ibu menyelidik.

"Iya sudah, sekarang aku mandi dulu. Nanti aku jelasin," ucapku memegang kedua pundak Ibu. Ibu mengangguk dan masih dengan raut wajah tidak percaya.

Tiga puluh menit kemudian aku menyelesaikan ritual mandi. Ibu masuk ke dalam kamarku dan duduk di tepi ranjang menatapku dari pantulan kaca rias.

Aku pun menatap memandang wajah Ibu dari kaca rias sembari aku menghias diriku bersiap untuk pergi bekerja. Kemudian aku menceritakan semua pada Ibu. Ada binar bahagia dari wajah Ibu hingga ia meneteskan air mata. Kemudian ia berjalan dan memegang kedua pundakku. Aku pun mengelus punggung tangan Ibu dan tersenyum.

"Alhamdulillah, Nak. Dibalik kehilangan Allah memberimu lebih dari yang kamu mau," ucap Ibu sambil memelukku.

Setelah sarapan pagi dengan roti tawar dan segelas susu yang sudah disiapkan oleh Ibu, aku pun pergi bekerja dengan mobil baruku. Meski sebenarnya jarak rumah kontrakan dan kantor cukup dekat dan hanya bisa ditempuh dengan jalan kaki tidak kurang sepuluh menit. Namun, demi menghargai pemberian Haris dan Nico, aku pun membawa mobil tersebut.

Ditengah perjalanan, dari kejauhan aku melihat Nico bersama dengan seorang perempuan, sepertinya mereka sedang berdebat. Perlahan aku menjalankan mobilku, setelah aku melihat dengan jelas siapa sosok perempuan tersebut, aku menghentikan mobilku.

"Ada hubungan apa mereka sebenarnya?" lirihku menatap keduanya dari dalam mobil.