Chereads / DINGINNYA SUAMIKU / Chapter 34 - BAB 34

Chapter 34 - BAB 34

"Kamu sudah bangun, sayang?" tanya Mas Reyhan melingkarkan kedua tangannya di pinggang rampingku.

Sepertinya Mas Reyhan tidak memperhatikan chatting aku tadi. Aku bernafas lega. Setidaknya aku selamat hari ini dan semoga seterusnya Mas Reyhan tidak mengetahui perselingkuhan ku dengan David. Kalau sampai aku ketahuan selingkuh, tamatlah riwayatku. Mas Reyhan bukan hanya menceraikan aku, tapi ia juga akan mendepak aku dari rumah ini. Untung saja, semua rencana untuk mengambil rumah dan perusahaan milik Mas Reyhan sudah aku susun dengan rapi.

"Hmm," jawabku singkat enggan untuk berkata mengingat tentang David yang tak menjawab pesanku.

"Aku mandi dulu ya, Mas?" ucapku sambil melepaskan pelukannya dari pinggangku. Mas Reyhan hanya mengangguk dan merebahkan tubuhnya kembali. Aku pun bergegas ke kamar mandi.

Setelah dua puluh menit, aku pun selesai mandi. Segera aku berdandan dan bersiap untuk pergi ke kantor. Sementara Mas Reyhan membersihkan dirinya.

"Iva! Iva!," panggilku pada pembantuku.

"Iya, Nyonya," jawabnya sambil berlari dari arah dapur.

"Jangan lupa kamu siapkan sarapan untuk Tuan Reyhan, aku mau berangkat sekarang," ucapku sambil meminum segelas susu yang sudah berada di atas meja makan.

"Baik, Nyonya," jawabnya.

Aku pun bergegas berangkat menuju kantor. Tiga puluh menit kemudian, aku pun sampai ke kantor.

********

Dreg....! Dreg....!

Aku melirik benda persegi yang berada di atas meja ini yang dari tadi selalu bergetar. Ada nama David yang tertera pada layar ponsel.

"Baiklah, meeting hari ini sudah selesai. Apakah ada yang ingin kalian tanyakan?" ucapku. Pandanganku memutar pada karyawan yang berada di ruang meeting ini.

"Maaf, Bu Keyla. Jika Ibu berkenan, ada hal yang ingin saya tanyakan," laki-laki yang berada ujung meja meeting ini mengangkat satu tangannya ke atas.

"Iya, Bagus!" ucapku mengarahkan tatapanku pada Bagus.

"Apakah Ibu yakin akan menjual perkebunan teh yang berada di Jawa Barat? Perkebunan teh itu cukup luas dan bahkan sangat luas. Perkebunan itu merupakan aset terbesar dari perusahaan kita ini, Bu," tutur Bagus.

Wajahku seketika berubah memerah. Sorot mataku tajam menghunus menatap Bagus yang diam membisu. "Bagus, ini perusahaan saya. Jadi terserah saya mau jual aset saya yang mana saja," selorohku. Kulipat kedua tanganku dan menatap tajam pada Bagus.

Laki-laki berkaca mata itu menelan salivanya dan kemudian menatapku.

"Bukan maksud saya menggurui Ibu Keyla. Bukankah perkebunan teh tersebut adalah warisan dari orang tua Pak Reyhan. Beliau pernah mengatakan, apapun yang terjadi Pak Reyhan tidak akan pernah menjualnya meski dengar harga yang fantastis,"

Aku menarik satu bibir naik ke atas dan tersenyum sinis. "Tugas kamu di sini adalah hanya untuk bekerja sesuai perintah saya dan jangan pernah ikut campur untuk urusan lain," cetusku.

"I-iya,Bu," lirih Bagus semakin takut melihatku yang semakin meradang.

Ruang meeting yang bersuhu dingin ini terasa semakin memanas.

"Apakah masih ada yang ingin kamu katakan, Bagus?" cetusku menarik kerah bajunya duduk pada bangku.

"Ti-tidak, Bu!" laki-laki berkulit sawo matang itu nampak semakin pucat.

"Oh, iya, bagi kalian yang berada di sini saya peringatkan, jangan pernah ikut campur urusan saya, dan kalian mesti catat, aku adalah istri dari pemilik perusahaan ini. Paham kalian?" Aku memberi penekanan pada setiap ucapanku. Memandang satu persatu wajah seluruh karyawan yang berada di ruang meeting ini.

"Dan kamu, Bagus," jari telunjukku aku arahkan ke wajah Bagus yang duduk tepat di depanku. "Silahkan kamu kemasi barang-barang kamu dan silahkan angkat kaki dari perusahaan ini! Karena aku tidak suka ada karyawan yang suka mengatur saya dan ikut campur urusan saya," cetusku.

Sontak Bagus mengangkat wajahnya yang sedari menunduk dengan wajah yang kian memucat, menatap ke arahku.

"Bu, jangan pecat saya, Bu Keyla," mohon Bagus dengan penuh iba.

"Ini peringatan buat kalian semua, bekerjalah kalian di perusahaan ini dengan profesional. Dan ingat satu hal! Kalian hanya karyawan di sini dan saya yang membayar kalian. Jadi jangan pernah ikut campur urusan saya kalau tidak ingin kalian saya pecat tanpa pesangon," cetusku dengan nafas yang naik turun tanpa mempedulikan Bagus yang memohon.

"Baik, Bu!" seru mereka serentak.

"Jangan pecat saya, Bu!" Bagus memohon kembali.

Bagus terus memohon, tergambar dari raut wajahnya yang mengiba.

"Bu, tolong jangan pecat saya. Saya sudah lama bekerja di perusahaan ini, Bu. Kalau saya tidak bekerja lagi, anak dan istri saya mau makan apa, Bu?" Bagus terus memohon.

"Bagus, saya tidak peduli mau kamu sudah bekerja di sini sudah puluhan tahun atau masih baru. Bagi saya kamu adalah karyawan yang sudah kurang ajar dan berani ikut campur urusan saya. Lagi pula siapa kamu? Berani-beraninya mengatur saya?" cetusku dengan mengangkat jari telunjuk mengarah tepat di depan wajahnya. Dengan tatapan tajam mengarah pada Bagus.

"Tapi, Bu! Saya hanya ingin menyampaikan apa yang sudah menjadi amanah kedua orang tua, Pak Reyhan," ungkap Bagus.

"Stop, Bagus!" sentakku dengan dada yang bergemuruh menahan amarah. "Cepat kemasi barang-barang kamu dan cepat pergi dari perusahaan ini!" Aku mengacungkan jariku menunjuk ke arah pintu keluar ruangan ini.

"Tidak ada orang yang berhak memecat karyawan saya selain saya," terdengar suara laki-laki yang sontak membuatku kaget.

Pandanganku dan seluruh karyawan yang berada di ruangan meeting ini, langsung tertuju pada seseorang yang berada tepat di depan pintu.

"Bagus, kamu tetap bekerja di perusahaan ini!" ucap Mas Reyhan menatap Bagus yang berdiri di sudut meja, kemudian menatapku nanar.

"Tapi, Mas Reyhan. Ba...,"

"Cukup, Keyla! Aku sudah mendengar semuanya. Dari tadi aku sudah berada di balik pintu. Bagus akan tetap bekerja di sini! Meski kamu adalah istri saya, tapi kamu tidak berhak sembarangan memecat karyawan saya sesuka kamu," tegasnya.

Sontak aku membulatkan kedua bola mataku mendengar pernyataan Mas Reyhan. Apakah Mas Reyhan juga mendengar kalau aku akan menjual perkebunan miliknya?

"Ma- Mas Reyhan ini tidak seperti apa yang sudah kamu dengar," ucapku dengan hati yang berdebar dan badan yang gemetar.

Pandangan mata Mas Reyhan tertuju padaku. Sorot matanya yang tajam menghunus menatapku tanpa berkedip. Ia menarik sudut bibirnya ke atas membentuk senyuman sinis.

"Kamu kenapa, sayang? Kamu jangan mengambil keputusan disaat lagi emosi, Bagus ini sudah lama bekerja di perusahaan ini, dan dia adalah orang kepercayaan saya. Saya harap kamu bisa memaklumi kesalahannya," ucap Mas Reyhan kemudian tersenyum ke arahku.

"Terimakasih, Pak Reyhan! Atas kebaikan Bapak, yang sudah membatalkan pemecatan saya," ucap Bagus dengan raut wajah yang bahagia. Mas Reyhan hanya mengangguk dan tersenyum.

"Apakah meetingnya sudah selesai?" tiba-tiba dari arah pintu keluar muncul David dengan pertanyaan seolah dialah pemilik perusahaan ini. Seketika pandangan kami semua tertuju padanya. Namun, tidak dengan Mas Reyhan. Dia tetap membelakangi David dan terlihat santai di kursi rodanya.

Aku mengerlingkan kedipan mata pada David. Agar ia menghentikan ucapannya dan melirik pada Mas Reyhan.

"Siapa dia?" tanya Mas Reyhan membalikkan kursi rodanya dan menatap ke arah David.

Sejenak aku diam. "Dia adalah sekretaris ku, Mas," ucapku.

"Oh, dia rupanya....?" Mas Reyhan nampak jeli menatap David. Memandanginya dari atas hingga bawah.