Chereads / DINGINNYA SUAMIKU / Chapter 4 - BAB 4

Chapter 4 - BAB 4

Reyhan berusaha melayangkan tangannya untuk menamparku. Namun, dengan cekatan aku menepisnya dan menggenggamnya kuat. "Tidak perlu dengan cara kasar, Tuan Reyhan. Dengan senang hati aku akan pergi meninggalkan rumah ini," ucapku.

Cuih

"Cepat pergi dari rumah ini dan jangan pernah kembali!" usir Reyhan dengan meludahi wajahku.

"Aku tidak menyangka kamu bisa sekejam ini, Mas. Aku tidak akan pernah melupakan bagaimana kalian menghina dan menorehkan luka di hatiku," ucapku sambil mengusap air liurnya yang membasahi mukaku.

Aku tidak pernah menyangka kalau jalan hidupku akan berakhir seperti ini. Aku yang biasa bergantung hidup kepada suamiku, sekarang harus dituntut semuanya sendiri. Hanya karena aku tidak mau dimadu. Lagian, mana ada wanita yang mau berbagi suami? Itu sungguh sangat menyakitkan.

Tak banyak berpikir, aku bergegas menuju kamar. Kemudian, aku mengemas sebagian pakaianku ke dalam koper. Dan beranjak meninggalkan kamar.

Sesampainya aku di ruang depan, kedua pasangan itu masih duduk di sofa. Aku pun tak mau berpamitan dan terus melangkahkan kaki ini menuju pintu keluar.

"Reyna, kembalikan semua yang sudah aku berikan kepada kamu selama ini!" tegas Reyhan membuat langkahku terhenti.

Aku menoleh menatap tajam wajah, Reyhan. "Apakah kamu bisa mengembalikan keperawananku?" ucapku penuh penekanan. Lalu dia berjalan ke arahku.

"Kurang ajar kamu. Saya talak kamu sekarang juga dan jangan berharap satu sen pun dariku! Aku tidak akan memberikan kamu apa pun. Biar kamu menjadi gelandangan dan akan menyesal karena tidak mau menjadi istriku."

"Kita lihat, Mas! Siapa yang akan menyesal? Aku atau kamu? Ingat, Mas! tabur tuai itu ada. Jangan pernah lupa itu!" tegasku.

Brak!

Dia mendorongku hingga keningku membentur pada pintu. Sungguh, aku tidak pernah menyangka. Kalau dia akan melakukan hal ini. "Semoga kamu mendapat balasan yang setimpal," ucapku membatin. Dengan menahan rasa sakit di keningku, aku berusaha bangun. Namun, bukan ini yang membuat rasa sakit. Akan tetapi perlakuannya sangat menyakitkan. Seperti luka yang ditabur dengan asam garam. Pedih sekali.

"Terimakasih, untuk semua luka yang kamu tanam," ucapku. Lalu pergi meninggalkan rumah itu dengan membawa sejuta luka.

Aku terus berjalan menyusuri keramaian kota, yang tak tau arah tujuanku. Pikiranku tak menentu. "Ya Allah, kuatkan aku! Tidak mungkin aku pulang ke rumah orang tuaku dalam keadaan seperti ini," batinku dengan terus berjalan di bawah panasnya matahari yang mulai membakar tubuhku.

Mau mengumpat Reyhan percuma. Rasa sakit hati ini bertambah parah dengan perilakunya. Ingin membuatnya menyesal karena telah menyia-nyiakan aku. Aku masih belum bisa memaafkan semua ini. Rasa itu terus menyerang ku sepanjang perjalanan. Rasa sakit dan benci semakin hebat dan ingin segera menghancurkannya.

Tin....!tin....!

Aku segera menepi mendengar suara klakson yang membuyarkan lamunanku.

"Kalau mau bunuh diri jangan di sini! Coba cari solusi terbaru saja. Dengan menyetrum listrik di rumah! Biar tak menganggu orang lain," suara laki-laki yang hampir saja menabrakku.

Aku menoleh ke arah sumber suara itu. Rasanya aku seperti mengenalnya. Namun, entah kapan. Rugi sekali kalau aku harus bunuh diri hanya karena seorang, Reyhan. Seperti tidak punya iman saja. Bagiku orang seperti Reyhan memang harus dilepaskan.

"Reyna, kenapa kamu ada di sini?" ucap laki-laki itu setelah mata kami bertemu.

Aku sedikit lega karena mendapati Haris yang kemarin ada di pikiranku. Dia adalah sahabat baikku sewaktu kita masih kuliah. Dia yang selalu menjadi penolongku saat aku hampir dikeluarkan dari kampus, karena tidak ada biaya untuk membayar semester. Dan dia yang membiayai perawatan ibuku sewaktu beliau dirawat di rumah sakit karena sakit liver.

Semenjak aku menikah dengan Reyhan, aku tidak pernah bertemu atau hanya tau tentang kabarnya. Hari ini aku bertemu dengan sahabat lama dalam kondisi yang seperti ini.

"Kenapa panas-panas begini kamu berjalan bawa koper? Mau minggat ya? Dan itu kening kamu kenapa?" Cerocosnya masih sama seperti yang dulu. Dia adalah sahabat yang paling perhatian sama seperti Keyla dulu. Ah, tapi ternyata dia sekarang adalah penghancur masa depanku. Aku hanya diam mematung tanpa menjawab pertanyaannya.

"Mau kemana? Ayo naik ke mobil!" pintanya. Tak ada yang berubah dalam dirinya. Apakah dia juga masih sendiri? Sudah lama kita tidak bertemu.

Aku menyeret koperku dan berjalan menuju mobilnya. "Jangan duduk di belakang! Aku bukan supir pribadimu," ucapnya ketika aku hendak membuka pintu mobil belakang. Lalu dia membukakan pintu mobil untukku dan menaruh koperku di jok belakang.

"Terimakasih," ucapku yang duduk di sampingnya. Haris hanya tersenyum dan kembali mengemudikan mobilnya.

"Kamu mau kemana?" tanyanya sambil fokus mengemudi.

"Mau ketemu, kamu," singkatku.

"Jangan bercanda. Mau ngapain ketemu saya? Kemana suami kamu? Kamu kan punya suami. Tidak baik wanita bersuami menemui laki-laiki lain."

Aku tak kuasa menjawab perkataannya. Air mata ini tiba-tiba mengalir deras. Membuat laki-laki yang duduk di sampingku ini merasa heran. Terbukti dari cara dia menatapku.

"Aku kan cuma nanya sama kamu. Kenapa kamu malah nangis? Memang suami kamu kemana?" tanyanya lagi. Aku menghela nafas panjang kemudian menceritakan semuanya sama Haris. Karena aku tidak mau dicap perempuan yang tidak baik oleh, Haris. Dengan pergi meninggalkan rumah untuk menemui laki-laki lain.

"Aku ditalak dan diusir oleh, Reyhan," jawabku singkat.

"Jangan bercanda. Dulu sepertinya Reyhan sangat mencintai kamu."

"Cinta bisa berubah setiap saat. Apalagi jika semua keinginannya tidak dipenuhi. Namanya juga laki-laki. Punya duit banyak pasti banyak tingkah."

"Laki-laki tidak semuanya sama. Jangan hanya karena kamu kecewa pada satu laki-laki, lantas semua kamu sama ratakan," ujarnya.

"Mungkin tidak semua. Tapi bisa dibilang seribu satu diantara semua."

"Tapi kamu tidak bohong kan? Dengan semua yang kamu ceritakan?" aku hanya mengangguk.

Dua puluh menit kemudian kami sampai di perumahan megah di daerah Pondok Indah. Haris membawaku masuk dan mempersilakan duduk.

Setelah dia mengambilkan minuman untuk aku, kemudian ia duduk di depanku. Terlihat dari wajahnya yang menyimpan sesuatu entah karena apa. Lalu, ia mengambil nafas panjang dan membuangnya kasar. Aku yang melihatnya merasa tidak enak hati. Apakah aku akan minta pekerjaan atau tidak?

"Sering aku lihat, suamimu makan bersama dengan sekretarisnya. Gaya mereka berdua bukan seperti bos dengan sekretaris. Maaf aku katakan semuanya."

"Jadi, kamu sudah tahu ini sejak lama?" Haris mengangguk.

"Aku yakin, Reyhan akan menyesal karena telah menyia-nyiakan wanita sepertimu. Sekarang kamu fokus masa depanmu. Buktikan pada mantan suamimu kalau kamu bisa sukses dan bahagia meskipun tanpa dia. Jangan pernah mengemis untuk kembali. Jadilah wanita mandiri yang kuat. Semoga suatu saat nanti, kamu mendapatkan laki-laki yang bisa menerima semua kekuranganmu," ujarnya.

"Terimakasih, Haris. Untuk supportnya. Kamu memang sahabat baikku dari dulu. Boleh, aku minta tolong sama kamu?" tanyaku.

"Apa yang tidak buat kamu? Katakan," jawabnya.

"Em....anu..."

Aku bingung. Bagaimana ini? Apakah aku urungkan? Atau aku katakan saja? Aku merasa tidak enak. Tapi benar-benar aku membutuhkan pekerjaan itu. Tidak mungkin aku pulang kampung dalam keadaan seperti ini.