"Kamu belum tidur, Rudi?"
"Belum bu, ibu juga kenapa belum tidur?"
"Aku tiba-tiba haus," ucap Retno lalu mengambil botol minum dari dalam kulkas dengan tangan kanannya, sembari tangan kiri mengambil gelas yang ada di rak dan menuangkan air kedalam gelas terus meminumnya sampai habis.
Rudi hanya diam, dia tidak beranjak pergi meninggalkan mertuanya. Dia tetap di posisi duduknya sambil memerhatikan Retno. Rudi terlihat gusar, bisa saja mertuanya mendengar perkataan Rudi barusan.
"Kamu tidak tidur, Rudi?"
Sontak Rudi sadar dari lamunannya.
"Iya Bu, sebentar lagi." Rudi menjawab dengan tergagap.
"Kamu sepertinya sedang memikirkan sesuatu?"
"Tidak Bu, saya cuma agak lelah soal pekerjaan." Rudi berusaha tersenyum, agar mertuanya itu tidak terlalu penasaran.
"Asti sudah tidur, Rudi?"
"Sepertinya sudah Bu."
Mendengar itu, Retno hanya menganggukkan kepala sambil berjalan menuju kamar tidurnya dan meninggalkan Rudi sendirian di dapur.
***
Keesokan harinya, Rudi masih tergeletak di sofa ruang tengah. Ternyata dia tidak sengaja tertidur di sana.
Retno yang pagi sekali sudah terjaga, akhirnya melihat pemandangan tak lazim itu.
"Ternyata benar, ada yang tidak beres dengan hubungan mereka." Retno berkata dalam hati, ada rasa penasaran yang menggelitik dihatinya. Dia harus memastikan langsung kepada Asti. Buru-buru Retno berjalan menuju kamar Asti. Seperti ada satu kesempatan untuk meng-skakmat Asti setelah beberapa kali pertanyaan Retno selalu di bantahnya.
Tok..tok..tok..
"Ini ibu, Asti." Retno coba memanggil putrinya, berharap Asti sudah terjaga dari tidurnya.
Ada raut kesedihan yang tampak di wajah Retno, perasaan seorang ibu memang selalu tepat. Retno akan merasa sangat bersalah jika Asti benar-benar sedang menyembunyikan permasalahan pernikahannya dan menanggung semuanya sendiri.
Retno masih mengetuk pintu, sekarang perasaan sedihnya bertambah dengan rasa panik yang menggelora. Dia takut terjadi apa-apa dengan Asti, karena sudah berkali-kali Retno mengetuk pintu, tidak ada respon dari dalam kamar.
"Jangan-jangan terjadi hal yang tidak di inginkan di dalam kamar." Retno malah berpikiran negatif lalu mengetuk pintu lebih kencang lagi, agar Asti bisa mendengarnya.
"Iya!" Teriakan Asti terdengar dari dalam kamar, diikuti dengan suara langkah kaki yang mendekat ke arah pintu. Setelah itu ada suara putaran kunci dan "klek", pintu pun terbuka.
Nampak Asti masih mengenakan baju tidurnya, dengan rambut semrawut dan tangannya mengucek matanya yang sembab.
"Kenapa Bu?"
Tanya Asti sambil berjalan kedalam kamar. Retno mengekor di belakangnya.
"Ibu lihat Rudi tertidur di ruang tengah, Asti?"
Mendengar pertanyaan ibunya, mendadak Asti membelalakkan matanya.
"Bodoh Rudi, kenapa malah tidur di luar." Asti mengumpat dalam hati.
"Rudi sepertinya tidak sengaja tidur disana, Bu." Asti berusaha menjawab setenang mungkin, sambil duduk di depan cermin. Dia lalu membereskan sedikit penampilannya agar sedikit terlihat rapi.
Retno duduk sambil menatap wajah Asti yang terpantul dari cermin. Ada perasaan gusar dalam hati Retno, kenapa sampai sebegitu nya Asti menyembunyikan permasalahan pernikahannya bahkan kepada ibunya sendiri. Tapi Retno juga merasa salut karena saat ini Asti sudah semakin dewasa dalam menghadapi permasalahannya.
Sebagai ibu sebenarnya Retno sangat menyayangkan hal itu, harusnya Asti mencurahkan saja isi hatinya kepada dirinya. Jika permasalahannya terlalu membelit seperti ini, kasihan Asti jika harus menghadapinya sendiri.
"Kamu bisa cerita sama ibu jika memang sedang ada permasalahan, Asti. Jangan kamu pendam sendiri."
Asti diam termenung sepersekian detik, kemudian dia kembali lagi untuk berlakon. Berpura-pura bahwa tidak terjadi apa-apa.
"Ibu sudah sarapan? Ayo kita sarapan, Asti sudah lapar." Asti gegas menghampiri ibunya, kemudian menggandeng lengan Retno untuk menuju keluar kamar.
Tekad Asti sudah bulat, jangan sampai ibunya mengetahui tentang permasalahan yang sedang dia alami sekarang.
Sambil berjalan bergandengan, Asti moncoba mengalihkan lagu pembicaraan.
Lalu terlihat Rudi berjalan menuju kamar tidur dan berpapasan langsung dengan Asti dan ibunya. Rudi tampak canggung saat melihat ke arah Asti, dia malah menyapa Retno.
"Pagi Bu,"
"Pagi Rudi," balas Retno lalu menghentikan langkahnya.
Tapi berbeda dengan Rudi, dia tetap terus berjalan menuju kamar tanpa menyapa istrinya yang jelas2 berada di sebelah ibu mertuanya itu. Keberadaan Asti seperti tak terlihat oleh Rudi.
Asti hanya menghela napas, dia merasa kesal karena kesepakatannya kemarin tidak di penuhi oleh Rudi. Sehingga sikapnya tadi pasti akan membuat Retno lebih mencecarnya lagi soal permasalahan rumah tangganya.
Retno hanya menatap punggung Rudi yang sudah hilang di balik pintu, semuanya sudah jelas. Retno sudah membuktikan dengan mata kepalanya sendiri jika Rudi dan Asti memang sedang bertengkar. Mata Retno beralih ke arah Asti, Asti nampak kikuk karena sudah tertangkap basah oleh ibunya. Kali ini Asti sudah tidak bisa berkelit lagi, jika nanti ibunya akan mengintrogasi dirinya. Mungkin memang sudah seharusnya Retno tahu semuanya.
Retno melanjutkan langkahnya meninggalkan Asti yang masih diam termangu disana sambil mengurut keningnya yang terasa pening.
***
Sebuah taksi berhenti di lobi sebuah hotel tempat biasa Vian melakukan pertemuan dengan pasiennya, Asti. Sarah sudah menyiapkan rencana untuk membuat Rudi takluk kepadanya. Dia menemukan kelemahan Rudi. Iya kelemahan Rudi adalah Asti, istrinya. Rudi pasti akan melakukan apapun untuk tetap bersama istrinya itu.
Sarah sudah duduk di sofa yang berada di sebuah kamar tempat Vian berada sekarang,
"Aku ingin minta sedikit bantuan dari kamu, Vian."
Vian yang merasa heran, langsung duduk kursi tepat berseberangan dengan Sarah. Mereka hanya terpisah oleh sebuah meja.
"Minta bantuan apa?" Vian bertanya sambil menaikan sebelah alisnya karena heran.
"Aku ingin menghancurkan pernikahan Rudi."
Vian menggelengkan kepalanya saat Sarah mengutarakan maksudnya.
"Tidak! Jangan libatkan aku lagi Sarah. Ini urusan hidup kamu!" Vian mulai terpancing emosi.
"Tolong Vian, ini untuk yang terakhir aku meminta bantuan kamu." Sarah menatap Vian sambil memasang wajah memelas.
"Cukup Sarah, aku tidak mau terlibat lagi titik." Vian beranjak dari duduknya dan berjalan ke arah jendela menatap ke arah sembarangan.
Sarah berjalan menghampirinya, lalu membelai pundak Vian lembut kemudian memeluknya dari belakang.
"Aku mohon, Vian. Demi anak ini." Sarah menyandarkan kepalanya di punggung Vian, kemudian lelaki itu langsung melepaskan tangan Sarah yang tadi memeluknya.
"Ini yang terakhir, Sarah. Aku tidak ingin terlibat lebih jauh lagi."
"Baiklah. Aku ingin di pertemukan lagi dengan Asti. Buat aku jadi akrab dengan dia tapi harus senatural mungkin. Aku ingin lebih akrab dengan dia dan masuk lebih dalam ke kehidupannya, sehingga aku akan mudah untuk merebut Rudi darinya."
"Gila kamu Sarah."
"Memang harus sedikit gila, karena Rudi yang membuat aku seperti ini."
"Apa kamu yakin akan berhasil?"
"Iya, aku yakin. Sudah tidak ada waktu lagi, sebelum perutku semakin membesar."
Vian menggaruk kepalanya yang sebenarnya tidak gatal. Dia sekarang sudah terlibat dalam masalah yang bisa juga akan menyeretnya. Tapi dia sudah terlanjur mengiyakannya barusan.