Chereads / Jeratan Sang Mantan / Chapter 22 - Bab 32. Perginya sang calon bayi

Chapter 22 - Bab 32. Perginya sang calon bayi

Aku beri waktu kamu sampai minggu ini, jika kamu tidak bisa mempertemukan aku dengan mantanmu itu. Aku minta kamu menceraikan aku."

Bak tersambar petir, Rudi diam tak berkutik. Dengan perlahan dia mendekat ke arah Asti lalu bersujud di kaki istrinya itu. Dia menangis sejadinya.

"Aku mohon Asti, tolong percaya padaku. Aku tidak mau bercerai. Kamu sudah berjanji untuk tetap bersamaku hingga tua nanti. Ingat janji kita saat menikah dulu. Tolong percaya padaku, Asti."

Dengan air mata buayanya, Rudi terus memohon kepada Asti. Kali ini Rudi sudah benar-benar di ujung tanduk. Namun dia tetap berusaha untuk berkelit dan enggan mengakui perbuatannya.

Retno hanya menyaksikan pertengkaran antara anak dan menantunya itu, dia tidak mau terlalu ikut campur dengan urusan rumah tangga anaknya.

"Sudah Rudi, aku lelah. Aku ingin menenangkan pikiranku dulu."

Asti membuka pintu mobilnya kemudian masuk dan duduk di kursi kemudi. Dia mulai menyalakan mesin dan langsung tancap gas meninggalkan Rudi yang masih diam termangu menatap mobil Asti yang kian menjauh.

Rudi mengusap wajahnya yang sudah basah dengan air mata, dia lalu masuk ke dalam rumah hendak mengambil ponselnya di kamar.

Saat masuk, Rudi berpapasan dengan ibu mertuanya.

"Kalian bertengkar lagi, Rudi?"

Rudi menghela napas panjang,

"Iya, Bu."

"Apalagi yang kalian ributkan sebenarnya?"

"Maaf Bu, Rudi mau menyusul Asti. Rudi takut Asti kenapa-kenapa di jalan."

"Ya sudah, cepat bawa pulang Asti. Ibu jadi khawatir."

"Baik, Bu." Rudi gegas meninggalkan ibu mertuanya, yang ada di pikirannya saat ini dia harus menyusul Asti dan mengajaknya untuk kembali ke pelukannya lagi.

Namun saat sampai di kamar, ponsel Rudi bergetar. Terlihat nomor kontak baru pada layar ponselnya. Kemudian Rudi menjawab panggilan tersebut.

"Selamat malam, pak. Apa benar ini dengan suami dari ibu Asti? Saya perawat dari Rumah Sakit Ibu dan Anak."

"Iya benar, saya suaminya. Apa yang terjadi dengan Asti?"

"Bapak sebaiknya datang ke Rumah Sakit Ibu dan anak di jalan pahlawan. Ibu Asti sedang mengalami pendarahan, pak."

"Pendarahan? Mana Asti? Saya ingin berbicara dengannya!"

"Ibu Asti sedang di ruang perawatan. Sebaiknya bapak kesini secepatnya."

Tanpa basa-basi Rudi langsung meraih kunci mobilnya lalu berlari ke arah garasi. Dia tidak sempat memberitahu ibu mertuanya tentang keadaan Asti saat ini.

Rudi langsung menginjak pedal gas, dan memacu mobilnya dengan kecepatan tinggi.

Di perjalanan dia berpikir keras, kenapa Asti bisa mengalami pendarahan. Apakah selama ini Asti sedang mengandung?

"Bodoh kamu, Rudi. Istrimu hamil saja, kamu tidak mengetahuinya? Kamu memang bajingan, Rudi!" Rudi memaki dirinya sendiri, dia mulai merasa bersalah kepada Asti.

Sesampainya di Rumah Sakit, Rudi kemudian menuju ke bagian informasi. Dia lalu menanyakan dimana keberadaan istrinya saat ini.

"Bapak duduk saja di ruang tunggu. Nanti setelah yang membesuk Bu Asti keluar dari kamar perawatan, baru bapak bisa masuk." Terlihat seorang perawat wanita menjelaskan dengan seksama kepada Rudi.

Rudi lalu duduk di bangku yang tersedia di ruang tunggu, tepat di depan kamar perawatan Asti. Dia mulai penasaran, siapa yang membesuk Asti. Padahal Rudi yang statusnya sebagai suami Asti, malah baru diberikan kabar.

Pintu kamar perawatan terbuka, ada sosok yang tidak asing keluar dari dalam ruangan itu.

"Sarah? Itu benar Sarah?" Rudi tak percaya dengan apa yang dilihatnya, kenapa Sarah keluar dari kamar perawatan Asti?! Apa dia orangnya yang datang lebih dulu dari Rudi untuk menemui Asti.

"Hai, Rudi. Lama tidak bertemu, bagaimana kabar kamu?" sapa Sarah seraya menghampiri Rudi yang masih duduk terpaku.

Dia mengulurkan tangannya hendak meminta bersalaman dengan Rudi, namun Rudi tidak menggubrisnya.

Rudi malah menatap Sarah dengan perasaan yang campur aduk.

"Apa yang sebenarnya terjadi? Kamu kenapa bisa ada di sini? Apa yang sudah kamu lakukan kepada Asti?"

"Sssttt! Sabar, Rudi. Aku akan menjawab pertanyaanmu satu per satu," ucap Sarah seraya duduk di samping Rudi. Dia menyunggingkan senyumnya, karena sudah berhasil membuat Rudi kalang kabut.

"Kamu terkejut, Rudi? Saat ini aku dan Asti sudah berteman dekat. Harusnya kamu berterimakasih padaku karena aku sudah menyelamatkan istrimu."

Rudi masih bingung dengan jawaban Sarah yang terdengar ambigu.

"Kamu pasti bingung, lebih baik kamu lihat keadaan istri kamu. Kasihan Asti. Padahal dia sedang hamil muda, namun malah keguguran. Untung kamu masih sehat ya," terang Sarah sambil mengusap perutnya.

"Maksud kamu apa?" Rudi mendorong tubuh Sarah ke tembok, nampak wajah Rudi dipenuhi dengan amarah.

"Aku tidak akan tinggal diam Rudi, aku ingin melihat kamu dan istrimu terluka sepertiku!"

"Tutup mulutmu, sekali lagi aku memperingatkan. Jangan libatkan Asti dalam masalah kita!"

"Sampai kapan aku harus menunggu? Sampai anak ini lahir? Apa kamu benar nantinya kamu akan tanggung jawab?!"

"Aku akan bertanggung jawab bila kamu mempunyai bukti konkrit, jika janin dalam kandunganmu adalah anakku. Sampai detik ini kamu belum bisa membuktikannya."

Sarah tersentak dengan kata-kata Rudi tersebut. Dia sudah muak dengan berbagai alasan untuk meyakinkan Rudi jika bayi yang di kandungnya adalah anaknya.

"Lihat saja, aku pasti akan membuktikannya!"

"Iya, aku akan menunggu bukti itu!" Rudi terselamatkan lagi oleh kata-katanya. Terbukti dia memang pandai bersilat lidah, sehingga bisa membalikkan keadaan.

Sebenarnya Sarah sudah muak dengan semua alasan Rudi, namun bodohnya dia bisa termakan dengan semua perkataan Rudi tadi.

Sarah lalu pergi meninggalkan Rudi dengan perasaan kesal. Dia memendam kebencian yang dalam kepada pria yang sudah menghamilinya.

Namun untuk sementara Sarah merasa bahagia karena melihat Rudi yang mulai ketakukan.

"Tunggu Rudi, aku akan membalas semua penghinaan ini."

Setelah Sarah pergi, Rudi menghampiri pintu ruangan tempat Asti dirawat.

Terlihat tubuh istrinya tergolek lemas tak berdaya diatas dipan ketika Rudi mulai memasuki ruangan. Sepertinya dia sedang tak sadarkan diri.

Rudi menghampiri tubuh istrinya itu, dia lalu mengusap tangan Asti yang tertancap selang infus pada bagian urat nadinya.

Rudi duduk di samping ranjang Asti, dia lalu menangis sejadi-jadinya. Dia tampak menyesal karena tidak menemani Asti melewati masa kritisnya. Bahkan yang lebih membuat miris, Rudi baru mengetahui jika istrinya sedang hamil anaknya sesaat setelah Asti kehilangan janinnya.

"Maafkan aku, Asti. Kamu bebas jika ingin memakiku. Tapi tolong, maafkan suamimu yang payah ini." Rudi bertekuk dihadapan tubuh Asti.

"Mungkin ini cobaan yang diberikan oleh Tuhan, untuk menyadarkanku bahwa ternyata benar kamu memang wanita terbaik yang selalu bisa memberikanku maaf." Rudi berkata lirih, disela isak tangisnya.

Sedikit demi sedikit tangan Asti bergerak, sepertinya obat anastesinya sudah berhenti bereaksi.

"Akhirnya kamu siuman, Asti." Tawa merekah dari bibir Rudi, karena istrinya telah sadar kembali.

Namun seketika tawa itu hilang saat Asti memalingkan wajahnya agar tidak bisa melihat ke arah Rudi. Dia seperti enggan melihat wajah suaminya yang sudah basah oleh air mata.

"Apa yang kamu butuhkan, Asti? Apa aku harus panggilkan perawat atau dokter?"

Asti hanya menghela napas panjang, dia masih tetap tidak merespon pertanyaan dari suaminya itu.