Chereads / Jeratan Sang Mantan / Chapter 28 - Bab 38. Cinta yang mulai pupus

Chapter 28 - Bab 38. Cinta yang mulai pupus

Sarah sudah merencanakan perihal penjebakan untuk Asti nanti. Dia juga memaksa Vian untuk ikut dalam rencana ini. Sebenarnya Vian menolak, namun Sarah tak henti-hentinya memohon agar lelaki itu dapat membantunya. Hingga pada akhirnya Vian jadi ikut terlibat dengan semua rencana yang sudah disusun oleh Sarah.

"Nanti aku akan berangkat terlebih dulu, dan kamu berangkat pada penerbangan berikutnya. Mengerti kan?!" tanya Sarah memastikan.

"Iya aku mengerti, aku juga sudah memesan tiket. Kamu tenang saja, semua akan berjalan lancar sesuai rencanamu." Lalu Vian langsung menutup sambungan teleponnya tanpa pamit.

Sarah mendecih, dia sebenarnya merasa kesal kepada Vian. Namun, jika tidak ada Vian kepada siapa lagi dia akan meminta tolong.

***

Asti sudah berada di rumahnya, lebih tepatnya dia sedang membereskan pakaiannya dan memasukkannya ke dalam koper.

Tiba-tiba Rudi masuk ke kamar lalu mendekat ke arah Asti,

"Kamu yakin akan pergi besok?" tanya Rudi pelan.

"Hhhmm," jawab Asti kurang antusias.

"Kamu kan baru pulih, As. Aku takut nanti kamu kenapa-kenapa di sana." Tersirat kecemasan di wajah rudi, pria itu benar-benar merasa khawatir dengan kondisi istrinya saat ini.

"Sudahlah, kamu urus saja pekerjaanmu. Tidak usah mempedulikanku!" jawab Asti ketus.

Rudi menghela napas panjang, dia mencoba untuk menahan emosinya agar tidak terpancing oleh kata-kata Asti yang terdengar sedang memojokkannya. Namun Rudi tidak patah semangat, tangannya meraih tangan Asti yang sedari tadi sedang sibuk membereskan bajunya.

"Kamu mau apa lagi?!" tanya Asti kesal, sambil menepis tangan Rudi. Matanya menatap tajam ke arah pria yang masih berstatus sebagai suaminya.

"Aku hanya ingin memastikan satu hal kepada kamu," ucap Rudi dengan hati-hati.

"Apa?" tanya Asti lagi, masih dengan mimik kesalnya.

"Kemarin saat di rumah sakit, aku tidak sengaja men--"

"Sudah jangan bertele-tele, langsung saja pada intinya!" Kali ini Asti sudah terlanjur kehilangan kesabarannya.

"Kamu tidak akan menggugat cerai kan?"

Sekarang giliran Asti yang menarik napas panjang, matanya menatap ke langit-langit kamarnya untuk menahan gejolak emosinya.

"Entah, tunggu sampai aku kembali dari Paris." Asti lalu menutup dua buah koper yang lumayan besar, setelah itu dia meninggalkan Rudi yang masih berdiri mematung.

Mata Rudi menatap nanar ke arah Asti, sebenarnya dia merasa sedikit tenang dengan yang dikatakan Asti barusan. Rudi yakin jika Asti masih menimbang-nimbang soal ucapannya kemarin ketika di rumah sakit. "Mungkin kemarin Asti hanya terbawa emosi dan suasana," ucap Rudi meyakinkan diri dalam hati.

***

"Berapa hari kamu di Paris?" tanya Retno saat mereka sedang sarapan bersama. Nampak Rudi juga duduk di sebelah Asti.

"Sekitar satu minggu, tapi mungkin bisa lebih lama lagi." Asti menjawab sambil menyuapkan satu potong roti panggang yang sudah dilapisi dengan selai cokelat.

"Rudi, kamu tidak ikut menemani Asti?" tanya Retno lagi, namun kali ini dia bertanya kepada menantunya.

"Tidak usah," jawab Asti menimpali. "Rudi sibuk dengan pekerjaannya, Bu." Sambung Asti lagi.

Rudi hanya bisa terdiam, tanpa mengeluarkan sepatah katapun. Dia lalu meminum jus jeruk dengan sekali tenggak, berharap tenggorokkannya tidak kering lagi.

"Asti harus berangkat sekarang bu," ucap Asti sambil melihat jam yang terpasang di tangannya. Dia kemudian beranjak dari duduknya untuk segera bersiap akan berangkat.

"Biar aku antar ke bandara," ucap Rudi sambil tangannya menarik tangan Asti agar dia menghentikan langkahnya.

"Sudahlah, As. Biarkan Rudi yang mengantarkanmu ke bandara."

"Tapi Asti sudah bilang ke pak Darman untuk mengantarkan. Mbok! mbok Yum!" jawab Asti kemudian dia tiba-tiba berteriak memanggil pembantunya itu sambil berjalan ke kamar.

Dengan cepat Rudi mengekor di belakang Asti, syukurlah Retno masih mendukungnya untuk terus bersama Asti.

Sesampainya di kamar Asti gegas merapikan riasannya lalu mengambil tas kecil kemudian menentengnya di tangan kiri, dan dari balik pintu munculah sosok mbok Yum datang dengan tergesa.

"Iya mbak, ada yang bisa mbok bantu?" tanya mbok Yum dengan nada yang sopan seperti biasa.

"Mbok tolong bawakan dua koper saya ke depan lalu langsung masukkan ke bagasi mobil saya,"

"Siap mbak,"

"Sama satu lagi, panggilkan pak Darman bilang saya sudah siap berangkat."

Mendengar Asti tidak menggubris dirinya, Rudi mulai naik darah.

"Tidak usah dipanggil mbok! Biar saya saja yang mengantar Asti ke bandara."

Raut wajah Asti berubah menjadi kesal, dia berbalik badan hendak mengomeli Rudi.

"Mau kamu apa?! Jangan mengulur waktuku, aku harus cepat sampai bandara!"

"Tadi kamu tidak dengar? Aku yang akan mengantar kamu!" bentak Rudi sambil berjalan meninggalkan Asti yang masih kesal.

Mbok Yum yang masih berada di kamar majikannya, dia terjebak dalam situasi yang sangat canggung. Namun sesuai perintah Asti tadi, mbok Yum gegas mengekor di belakang Rudi sambil membawa koper yang sudah diinstruksikan oleh Asti tadi.

Asti mengurut keningnya yang terasa pening, dia sangat kesal dengan sikap Rudi yang semakin menyebalkan dan kekanakan. Dia bingung harus dengan cara apa lagi agar Rudi tidak bertindak seenaknya.

Sementara Rudi sudah menunggu Asti di garasi, Asti masih memeriksa perlengkapan apa saja yang harus dia bawa sebelum terbang ke Paris.

***

Sarah sudah sampai di bandara 15 menit yang lalu, dia duduk di bangku salah satu kafe yang ada di dalam bandara sampai menggulirkan layar gawainya.

Sesekali dia merapikan riasannya sambil menepuk-nepuk bedak ke pipinya yang tampak mulai tembam. Iya, lambat laun tubuh Sarah mulai membesar. Dada, pipi serta perutnya kian hari kian terlihat perubahannya.

"Tinggal selangkah lagi aku akan bisa merebut Rudi kembali dalam pelukanku, iya tinggal selangkah lagi." Sarah mencoba meyakinkan dirinya, karena dirasa rencananya nanti akan berhasil.

Sarah mengisap segelas kopi yang barusan ia pesan, sambil terus menggulirkan layar ponselnya untuk membunuh rasa jenuhnya.

***

Mobil Asti lalu melaju dengan kencang, Asti duduk di depan bersebelahan dengan kursi kemudi. Suasana mobil pun terasa hening, karena yang berada di kursi kemudi adalah Rudi.

Asti masih malas menanggapi Rudi, namun ibunya memaksa agar Rudi yang mengantarkannya ke bandara. Karena malas berdebat, Asti lalu mengiyakannya.

Rudi tampak fokus menyetir, namun sesekali dia mencuri pandang ke arah Asti. Namun wanita cantik itu malah sedang memandang ke luar jendela mobilnya. Tidak ada yang menarik di luar sana, tapi itu lebih baik daripada melihat ke arah Rudi yang ada hanya membuat kesal saja.

"Kamu berapa lama di sana?" tanya Rudi ragu. Dia memberanikan diri untuk membuka pembicaraan.

"Mungkin satu atau dua--"

"Minggu?" sela Rudi.

Asti mendelikkan matanya hendak memarahi Rudi karena telah memotong ucapannya, niat jahat terlintas di otaknya untuk mengerjai Rudi.

"Mungkin satu atau dua bulan," ucap Asti tegas sambil memasang wajah sinis.

Seketika Rudi menghentikan laju mobilnya. Dia lalu menatap Asti lamat-lamat,

"yang kamu ucapkan barusan itu bohong kan?!" suara Rudi mulai terbata.