Arif tidak menggubris pertanyaan Retno, dia lantas berjalan mendekat ke rah sofa dan duduk di sana. Sepertinya Arif sama sekali tidak mempunyai rasa empati terhadap menantunya itu. Apalagi saat bertemu dengan Retno, sikap Arif bahkan acuh dan tidak menghargai Retno yang merupakan besannya.
"Maksud bapak apa bicara seperti itu kepada Asti? Kami sedang berduka pak, harusnya sedikit saja bapak menunjukan empati bapak!" bentak Rudi tak terima dengan ucapan ayahnya itu.
"Bapak sudah menunjukan rasa empati, buktinya kami datang kesini!" Arif menjawab dengan suara yang tak kalah lantang.
"Sudah pak, ini rumah sakit. Kenapa kalian malah bertengkar?!" kini Dina yang menimpali.
Asti hanya tertegun, begitu pula dengan Retno. Dia enggan untuk menimpalinya lagi, karena suara hatinya sudah cukup terwakili oleh ucapan Rudi dan Dina barusan.
"Semoga pria tua itu sadar dengan kelakuannya," runtuk Retno dalam hati.
Pria paruh baya itu malah memainkan gawainya, dia tetap bersikap acuh tanpa mempedulikan perkataan anak dan istrinya. Sepertinya otak dan hati Arif sudah di butakan oleh kebencian. Iya, dia terlanjur kecewa kepada menantunya itu. Pantang untuk Arif jika sarannya tidak dipatuhi, namun Asti selalu tidak menuruti saran dari Arif untuk berhenti mengurusi butik dan fokus saja mengurus rumah tangga. Dan hingga kini Arif yakin jika Asti yang memang tidak becus mengurus rumah tangganya sendiri.
Seketika ruangan pun menjadi senyap, hingga datanglah seorang perawat dan dokter masuk ke ruangan tersebut.
"Permisi bapak dan ibu," ucap perawat itu dengan sopan. Perawat itu lalu menghampiri ranjang Asti kemudian mengecek infus dan sebagainya, sedangkan dokter itu hanya memeriksa catatan dari kertas yang dia bawa. Sepertinya kertas itu catatan perkembangan kesehatan Asti selama dirawat di sini.
"Nanti pukul empat sore, ibu Asti sudah bisa meninggalkan rumah sakit. Kondisi ibu Asti juga sudah sehat, tapi perlu saya ingatkan untuk selalu menjaga suasana psikisnya. Karena ibu yang mengalami keguguran biasanya sangat rentan stres."
"Baik dok," ucap Rudi menimpali. Sedangkan Dina dan Retno hanya menggangguk lemah.
"Kalau begitu saya permisi, nanti pak Rudi selaku suaminya bisa mengurus administrasinya sekalian menebus obat yang nanti saya resepkan. Terima kasih," dokter dan perawat itupun lalu pergi meninggalkan ruangan tempat Asti di rawat.
Asti hanya bisa mendengarkan semua penjelasan dari dokter tadi dengan tatapan yang kosong, hingga dia sudah tidak memedulikan lagi semua yang terjadi padanya. Apalagi soal setiap perkataan tajam yang keluar dari Arif, Asti sudah malas menanggapinya. Anggap saja 'anjing menggonggong, kafilah berlalu', ujar Asti dalam hati.
"Kalau begitu, Rudi akan mengurus administrasi dulu. Ibu, titip Asti ya," ucap Rudi kepada mertuanya itu. Dia kemudian gegas meninggalkan ruangan dan menuju ke bagian administrasi.
Arif yang sedari tadi acuh mulai jenuh berada di ruangan itu,
"Ibu, kita pulang saja kalau begitu. Toh Asti sudah baik-baik saja."
Dina mengernyitkan dahinya, dia merasa kesal terhadap sikap suaminya yang membuat jengkel siapapun yang mendengarnya. Dina pun merasa tak enak kepada Asti bahkan kepada besannya itu,
"kalai begitu saya permisi pulang dulu bu Retno," ucap Dina kepada Retno sambil mengulurkan tangan hendak berpamitan.
Retno lalu menyambutnya dengan pelukan hangat, dia tidak merasa kesal kepada Dina. Karena yang tadi berulah hanyalah suaminya saja, bukan Dina.
Dina kemudian menghampiri Asti yang masih duduk di atas ranjang, seraya memeluknya dengan erat.
"Ibu pamit pulang dulu, kamu harus tetap kuat Asti. Maafkan sikap bapak mertuamu, jika kata-katanya tadi menyinggung perasaan kamu." Setelah melepaskan pelukannya, Dina kemudian berjalan keluar ruangan dan menghampiri Arif yang sedari tadi sudah menunggunya di luar. Seketika ruangan pun menjadi sepi karena tinggal Retno dan Asti yang berada di sana.
"Besok Asti akan ke Paris, ibu bisa bebas melakukan hal apa saja tanpa khawatir."
"Paris? Kamu kan belum sehat betul?! Tunggu setidaknya sampai satu minggu lagi, sampai kamu benar-benar pulih." Retno tampak terkejut saat mendengar ucapan Asti barusan.
"Tidak bisa, semua rencana sudah tersusun sejak lama. Ini menyangkut masa depan butik Asti, bu."
"Memangnya Rudi mengizinkanmu pergi?"
"Di izinkan atau tidak, Asti tetap akan berangkat!" ucap Asti tegas.
"Lagipula Asti ingin menggugat cerai Rudi," sambung Asti lirih.
Kali ini mata Retno membelalak, dia terkejut untuk kedua kalinya. Seakan tak percaya dengan apa yang diucapkan oleh anaknya itu,
"Jaga ucapan kamu Asti, ucapan adalah doa."
"Tapi Asti sudah muak dengan rumah tangga ini, bu. Apalagi setelah keguguran ini, sepertinya kami memang harus berpisah." Air mata Asti meleleh perlahan membasahi pipinya, namun segera dia sapu dengan telapak tangannya.
Begitu pula dengan Retno, hatinya ikut hancur melihat anak satu-satunya malah terpuruk seperti ini.
Retno lalu memeluk tubuh anaknya itu, sambil menangis tersedu. Tangannya mengusap lembut rambut Asti, dan perlakuan ibunya itu membuat hati Asti semakin sedih.
Saat ibu dan anak itu sedang menangis, tanpa mereka ketahui Rudi sedang mendengarkannya dari balik pintu. Dia pun ikut menangis di luar sana.
Rudi meratapi semua perbuatan yang telah dia lakukan kepada istrinya selama ini. Sekarang hanya penyesalan yang ia terima saat ini.
"Apa memang kita harus bercerai saja?" tanya Rudi dalam hati.
***
Senyum mengembang di bibir Sarah saat dia mengetahui jika rencananya untuk mendapatkan Rudi sudah semakin dekat. Dia sedang menikmati alunan musik jazz favoritnya, sambil duduk di kursi yang menghadap ke arah jendela. Gedung gedung tinggi yang menjulang di sebelah apartemennya menjadi pemandangan yang sangat menarik, itu terjadi mungkin karena suasana hatinya yang sedang baik.
Tiba-tiba ponselnya berdering, ternyata Asti yang menghubunginya. Gegas dia menjawab panggilan telepon dari istri selingkuhannya itu,
"Iya Asti? Kamu sudah pulih?" tanya Sarah berbasa basi.
"Iya Sarah, sebentar lagi aku akan pulang ke rumah. Aku hanya ingin mengabarkan, jika besok kita berangkat sesuai jadwal yang sudah kita rencanakan."
"Baik Asti,"
"Ya sudah, aku hanya ingin memberitahu hal itu saja. Sampai jumpa besok," ucap Asti mengakhiri percakapannya dengan Sarah.
Dari ujung telepon sana Sarah nampak tersenyum puas, dia masih memandang ke arah luar jendela.
"Akhirnya kamu masuk ke dalam perangkapku juga Asti." Sarah berkata pada dirinya sendiri sambil menatap gambar wajah Asti di layar ponselnya.
Lalu Sarah menggulirkan lagi layar ponselnya untuk mencari nama seseorang yang akan ia hubungi. Ternyata Vian yang di maksud Sarah. Setelah menghubungi beberapa kali tanpa jawaban, akhirnya Vian menjawab sambungan telepon dari Sarah.
"Hallo," jawab Vian dengan suara berat.
"Kemana saja kamu?!" bentak Sarah ketika terdengar suara Vian dari seberang telepon.
"Aku sedang bermimpi indah, kenapa kamu bangunkan?!" Vian balik membentak.
"Aku hanya mengingatkan, mengenai rencana kita besok." Tak ada sahutan dari seberang telepon.
"Vian!" panggil Sarah yang terlihat mulai kesal.
"Iya, aku dengar!" sahut Vian tak kalah emosi.