Chereads / Jeratan Sang Mantan / Chapter 17 - Bab 27. Gelora asmara

Chapter 17 - Bab 27. Gelora asmara

"Mending kamu pulang, biasanya jadwal Asti bertemu denganku setiap hari Jumat."

"Bagus, berarti dua hari lagi."

Vian menggigit bibir bawahnya, dia benar-benar merasa bingung dengan tindakannya malah membantu Sarah.

***

Vian tampak gusar, dia takut Sarah langsung bertindak nekat dan nanti akan melukai Asti. Sebenarnya diam-diam Vian menaruh hati kepada pasiennya tersebut. Memang salah, apalagi saat ini Asti merupakan istri orang.

Entah setan apa yang merasukinya, terbesit sedikit rasa bahagia jika sampai rencana Sarah berhasil untuk merebut Rudi sehingga dia bisa masuk untuk mendapatkan hati Asti. Memang bisa menguntungkan untuk dirinya, jika sampai rumah tangga Asti hancur.

Namun apakah semua ini adil untuk Asti? Sepertinya dalam masalah ini, Asti lah yang paling tersakiti.

Tapi untuk kali ini, Vian ingin mencoba untuk egois. Saat ini dia harus bisa mencapai keinginannya, walaupun dengan cara kotor. Setelah sekian lama ia memendam perasaan kepada Asti, mungkin dengan kesempatan ini Vian akan berani mengungkapkannya.

Vian menatap langit sore kota Jakarta dari ketinggian didalam kamarnya. Sambil mengedarkan pandangannya ke sekitar gedung dimana dia berada.

Vian mencoba mendapatkan lagi ketenangannya, dia menarik napas panjang lalu menghembuskannya.

"Kenapa dadaku masih terasa sesak." Vian bergumam dalam hati.

***

Kenyataan yang sudah Asti ketahui, membuat dirinya semakin kehilangan arah. Sakit yang dirasakan karena dikhianati oleh orang yang paling dia cintai, membuat Asti semakin ingin melepaskan Rudi.

Dia ingin menyudahi rasa sakit hatinya, karena bukan kali ini saja Rudi sudah berkhianat.

Asti menggulir layar ponselnya sambil duduk di sofa dekat ranjang di kamar tidurnya, ternyata ada pesan masuk dari nomor kontak baru yang tidak dikenalnya.

"Hai, Asti. Aku Sarah. Bisa kita bertemu?" Begitu isi pesan yang Asti terima, sontak matanya membulat karena sangking terkejutnya.

"Sarah? Selingkuhan Rudi?" Asti bertanya dalam hati, ada perasaan was-was yang menggelayuti hati dan perasaannya. Dia sontak beranjak dari duduknya.

"Sarah? Saya tidak mempunyai kenalan bernama Sarah."

"Aku Sarah yang saat itu bertemu di tempat Vian."

Mata Asti terbelalak, dia saat ini sedang diliputi rasa bingung karena sosok yang baru saja menghubunginya adalah orang yang baru pertama kali bertemu dengannya,

"Sepertinya ada yang tidak beres, pasti Vian yang memberikan nomor ponselku kepada si Sarah itu." Asti mengumpat kesal.

Dia lalu menggeserkan posisi tubuhnya, dan tangannya masih memegang ponselnya. Tampaknya dia bingung akan membalas dengan kata-kata apa?

Sebenarnya dia paling malas mengurusi hal-hal seperti ini.

Asti melemparkan ponselnya sembarang ke atas kasur. Kali ini dia akan mengabaikan wanita itu, bisa jadi Sarah yang baru saja dia kenal ada sangkut-pautnya dengan Rudi?

Begitu banyak spekulasi yang bermunculan di pikiran Asti, dia merebahkan badannya di atas kasur dan mengabaikan pesan yang masuk dari sosok bernama "Sarah".

***

Retno berjalan ke arah kolam renang di rumah Asti, dia terlihat sedang menggulirkan layar ponselnya. Sepertinya Retno akan melakukan panggilan telepon.

Dia menekan kontak bernama Randy, lalu menghubungi nomer kontak tersebut.

"Hallo, Randy." Panggil Retno dengan senyum mengembang di bibirnya.

"Hay, sayang." Balas lelaki tersebut.

"Nakal kamu,"

"Siapa yang nakal? Aku kan memang sayang sama kamu."

"Kamu jangan merayuku terus menerus." Ucap Retno dengan wajah yang tampak berbinar-binar, dia tidak bisa menyembunyikan kebahagiaannya saat sedang berbincang dengan laki-laki yang bernama Randy itu.

"Kapan kita bertemu lagi?"

"Nanti,"

"Besok, tidak bisa?"

"Jangan besok, jika aku terlalu sering izin keluar rumah nanti Asti curiga."

"Kamu bukan anak kecil lagi, Retno."

"Aku tidak mau membuat Asti berpikiran macam-macam, sekarang aku sedang menumpang di rumah anakku. Wajar jika aku bersikap seperti itu."

"Tapi kita tidak berbuat macam-macam, aku hanya ingin hubungan kita lebih serius lagi. Aku ingin kita menikah!"

"Nanti, Ran. Tunggu waktu yang tepat."

"Sampai kapan kamu mau menyembunyikan hubungan kita?"

"Entah, aku masih belum berani."

"Kalau begitu biar aku saja yang memberi tahu anakmu!"

"Jangan, Ran! Tunggu sebentar lagi, aku pasti akan memberitahukan semuanya. Aku mohon tunggu sebentar lagi."

"Yasudah, kalau kamu maunya seperti itu. Jangan membuatku terlalu lama menunggu. Mungkin sekarang aku masih bisa bersabar."

"Aku mohon beri waktu sebentar lagi." Retno memelas, namun Randy terlanjur memutuskan sambungan teleponnya.

Sepertinya Randy terlanjur kesal dengan jawaban Retno tadi. Retno mengendus kesal. Dia bingung apa yang harus dia lakukan saat ini.

"Apa aku harus mendatangi Randy? Tapi alasan apa yang harus aku berikan kepada Asti lagi? Apalagi saat ini suasana hati Asti sedang tidak bagus." Batin Retno berkecamuk.

Retno berjalan dengan tergesa, dia langsung menuju kamar tidurnya untuk mengambil tas dan bertukar pakaian.

Sepertinya Retno sudah lupa dengan perkataannya barusan. Dia sepertinya akan menemui Randy, tanpa meminta izin kepada Asti.

Retno menelepon taksi daring, akan panjang lagi urusannya jika Retno meminjam mobil Asti atau Rudi. Apalagi di waktu yang sepagi ini.

Pertengkaran antara Asti dan Rudi bisa dijadikan senjata untuk Retno jikalau Asti bertanya macam-macam.

Taksi pun sudah tiba, namun berhenti beberapa meter sebelum rumah Asti. Terlihat Retno menghampiri taksi tersebut sambil berlari kecil.

Saat sudah masuk kedalam taksi, Retno langsung menyuruh supirnya untuk tancap gas. Dia ingin cepat sampai ditempat Rendy.

Sambil tetap menghubungi Randy melalui ponselnya, Retno tampak gusar. Berkali-kali dia menghubungi nomor kontak Randy namun tidak ada jawaban dari laki-laki tersebut.

Retno masih belum menyerah. Dia terus menghubungi Randy, berharap lelaki itu segera menerima panggilannya sehingga bisa membuat hatinya sedikit tenang. Namun tetap saja nihil. Randy benar-benar mengabaikannya.

Selang 20 menit berlalu, jalan ibukota yang sudah penuh sejak pagi membuat perjalanan terasa lebih lama.

Akhirnya Retno sampai di sebuah rumah yang bertema monokrom untuk memperlihatkan kekokohan bangunan tersebut.

Ternyata itu adalah sebuah kost-an yang terlihat elite karena bangunannya yang artistik.

Mobil Randy masih terparkir di garasi yang terdapat di lantai satu rumah tersebut, sedangkan kamar Randy dan penghuni yang lain ada dilantai dua.

Retno memasuki garasi yang ternyata ada seorang satpam yang menjaga di pos tepat di sebelah pintu masuk. Dia mulai berjalan melewati pagar untuk menuju pos satpam tersebut.

Tampak Retno mengeluarkan amplop dari dalam tasnya, setelah hampir mendekat ke pos satpam tersebut. Dia mulai menyapa seorang pria yang ada didalam pos sambil menyerahkan amplop yang tadi diambil dari dalam tas. Dia lalu menyelipkan ke kedua tangan satpam tersebut, lalu dengan senyum mengembang satpam itu saat menerima amplop yang ternyata berisi uang 3 lembar 100 ribuan.

Dengan cepat dia langsung memasukkannya ke dalam saku celananya. Sambil tersenyum cerah, satpam itu kemudian mengantarkan Retno ke kamar yang di tempati Randy.