Retno sedikit merasa kecewa saat mengetahui Asti tidak bisa jujur tentang permasalahan yang di hadapinya. Itu memang urusan rumah tangga mereka. Namun sebagai ibu, Retno tahu betul watak anaknya itu. Asti paling tidak bisa menyembunyikan raut wajahnya ketika dia bersedih atau marah. Apalagi tadi Retno mendengarkan secara langsung ketika mereka bertengkar.
Setelah makan siang, Asti kemudian merapihkan riasannya. Seperti niatnya tadi pagi, jika hari ini dia akan pergi ke butik untuk mengecek sesuatu. Saat keluar kamar, Asti melihat ibunya sedang menelepon sambil tertawa renyah di ruang tengah.
"Ibu terlihat bahagia sekali," ucap Asti dalam hati sambil berjalan menghampiri ibunya.
Melihat Asti mendekatinya, Retno segera menyudahi obrolannya di telepon.
"Kamu mau ke butik, Asti?"
"Iya," jawab Asti singkat.
"Ibu boleh ikut?"
"Tumben ibu ingin ikut?"
"Iya, sebenarnya ibu mau bertemu teman. Nanti kamu antar ibu ke mall yang dekat butik kamu ya?!"
"Teman? Asti baru tahu, perasaan ibu tidak pernah cerita kalau punya teman di Jakarta?" Asti bertanya sambil memutarkan bola matanya, dia benar-benar heran.
Seketika ibunya tertawa saat melihat tingkah Asti, bak polisi yang sedang mengintrogasi penjahat.
"Memangnya ibu tidak boleh punya teman?!" Retno meledek tingkah anaknya.
"Boleh, tapi hanya TEMAN ya! Tidak lebih." Sudah menjadi kebiasaan Asti, apalagi sepeninggal ayahnya, dia paling tidak suka jika ibunya di dekati oleh lawan jenis. Bukannya Asti tidak ingin melihat ibunya bahagia dengan dunianya, dia juga masih cukup terlihat muda. Tapi hati kecil Asti masih belum bisa mengikhlaskan jika posisi ayahnya di gantikan oleh pria lain.
Melihat Retno meretawainya, respon Asti hanya memonyongkan bibirnya sambil berjalan menghampiri Retno. Lalu mereka berjalan bergandengan menuju garasi rumah yang terparkir mobil Asti di sana.
Kemudian keduanya masuk kedalam mobil, Asti duduk di kursi kemudi sedangkan Retno tepat di sampingnya. Saat mesin sudah di hidupkan, Asti langsung tancap gas sampai mobilnya keluar dari gerbang rumahnya dan tidak terlihat lagi.
***
Rudi menghentikan mobilnya di sebuah apartemen tempat tinggal Sarah. Ternyata benar perkiraan Asti, bahwa suaminya tidak benar-benar berangkat ke kantor.
Rudi melangkahkan kakinya dengan ragu, banyak kecemasan yang membelenggu batinnya. Dia harus memastikan jika ucapan Sarah tadi di telepon hanya gertakan saja, agar Rudi mau menuruti keinginan Sarah.
Rudi sampai di pintu kamar 702, disitulah Sarah tinggal. Sekitar beberapa menit dia hanya berdiam diri di depan pintu, dan tampak mengela napas panjang.
Sepertinya Rudi mempersiapkan diri, jika yang diucapkan Sarah saat di telepon adalah suatu kebenaran. Entah tindakan apa yang akan dia lakukan kepada Sarah. Rudi takut, jika nanti dia tidak dapat mengontrol emosinya dan nanti malah melukai Sarah secara fisik dan mental.
Dengan berbagai pertimbangan, Rudi akhirnya mengetuk pintu kamar Sarah dengan pelan. Lalu terdengar suara kenop pintu di putar dan nampak sosok Sarah menyembul dari balik pintu. Tanpa di suruh, Rudi bergegas masuk ke dalam apartemen Sarah.
Kamar Sarah tampak berantakan tak keruan. Begitupun dengan penampilannya, wajahnya pucat dan matanya sembab. Rambutnya yang dulu berkilau, nampak kusam dan hanya di cepol seadanya.
Sarah duduk di bangku kecil berhadapan dengan Rudi yang duduk di atas sofa.
"Kita langsung ke intinya, aku ingin pertanggungjawaban kamu." Sarah menatap ke arah Rudi, kesal.
Rudi berusaha menatap mata Sarah, mencoba mencari petunjuk jika Sarah sedang berbohong.
"Kamu sedang bercanda kan?!" tebak Rudi, dia masih menganggap Sarah sedang mengerjainya.
"Ini buktinya!" Sarah berteriak, sambil melempar kertas hasil USG dan sebatang alat tes kehamilan tepat di atas meja.
Rudi mengambilnya, dia melihat ada dua garis merah di alat tes kehamilan itu. Lalu dia juga melihat sebuah foto hitam putih hasil USG. Dua benda itu di lihat secara bergantian. Kemudian,
"Hebat kamu Sarah, sampai seniat ini kamu mau menjebak ku?!" Rudi tertawa keras sambil melemparkan dua benda itu tepat mengenai wajah Sarah.
Sontak Sarah terpancing emosi karena perlakuan Rudi padanya,
"Buat apa aku menipu kamu? Jelas-jelas ini buktinya, semua ini gara-gara perbuatan kamu!"
"Satu bulan kita sudah tidak berhubungan, kapan aku melakukan hal itu?"
"Jangan-jangan itu bukan perbuatan ku! kamu mungkin melakukannya dengan orang lain waktu di Aussie!" Rudi mulai mencari alibi. Dia menuduh Sarah melakukannya dengan orang lain, apalagi satu bulan kemarin mereka tidak bertemu karena Sarah pulang ke Aussie.
Sarah menggelengkan kepalanya karena tidak percaya jika ucapan Rudi akan setega itu.
"Ini benar anak kamu, aku hanya melakukannya denganmu saja!"
Rudi hanya tersenyum sinis.
"Dulu setiap bertemu, kita selalu melakukan hal itu. Bahkan kemarin juga kita melakukannya saat bertemu lagi." Sarah masih mencoba meyakinkan Rudi.
"Kemarin? Aku saja tidak ingat sudah melakukannya kemarin. Sudahlah Sarah, buat apa kamu capek-capek melakukan hal ini? Kamu kan sudah tahu, kita tidak bisa bersama lagi!" Rudi masih menyangkal semua tuduhan Sarah. Dia sebenarnya merasa panik, namun harus ia tutupi karena dia tidak ingin terjebak oleh tipu muslihat Sarah.
"Ini buktinya sudah jelas ada, dan kamu masih menganggap aku bohong?!"
"Kamu jangan menganggap ku bodoh Sarah!" Rudi berteriak sambil membelalakkan kedua matanya.
"Jika kamu tidak mau tanggungjawab, aku akan beritahu istrimu saja." Sarah mulai mengancam.
"Jangan coba-coba kamu!"
"Yasudah, nikahi aku!"
"Gila kamu!"
"Ini anak kamu, Rudi! Aku harus berapa kali bilang, ini anak kamu!"
"Aku tetap tidak percaya! Sekarang terserah kamu mau melakukan apa, aku tidak peduli. Tapi ingat jangan sekalipun kamu mendekati Asti!" Setelah itu, Rudi berniat untuk keluar dari tempat Sarah.
Namun, saat kakinya baru akan melangkah, Sarah melemparkan ancaman untuk ke dua kalinya kepada Rudi.
"Kalau kamu tidak menikahi ku, mendingan aku bunuh diri saja!" Sarah mengacungkan pisau dapur yang terdapat di meja kompor yang letaknya tidak jauh dari tempat duduk Sarah, dia mengarahkannya tepat ke urat nadi tangan sebelah kiri.
"Kamu benar-benar sudah gila Sarah! Lepaskan benda itu!" Rudi mulai panik, dia tahu betul jika Sarah adalah tipe orang yang sangat nekat. Pemikiran Sarah terkadang berbeda jauh dengan orang normal pada umumnya.
"Lebih baik aku dan bayi ini mati saja, biar kamu lepas dari tanggungjawab kamu!" Sarah benar-benar mulai menyayat pergelangan tangannya, dan Rudi menangkisnya dengan cepat. Tubuh Sarah terdorong dan jatuh ke lantai bersama tubuh Rudi. Namun tangan Sarah masih menggenggam pisau tersebut sambil mulutnya terus meracau tak jelas. Rudi dengan sekuat tenaga berusaha untuk melepaskannya.
Akhirnya pisaupun terlepas. Rudi dan Sarah tergolek lemas, karena mereka berdua sama-sama kehabisan tenaga.
Sarah menangis sejadi-jadinya, perasaan dia campur aduk karena sikap Rudi tadi. Rudi kemudian membantu Sarah untuk bangkit dari posisi sebelumnya. Dia menuntun Sarah sampai di sofa lalu duduk bersama.
Rudi mengambilkan air mineral yang ada di dalam kulkas, lalu memberikannya kepada Sarah.
Sarah kemudian meminumnya. Baru seteguk, namun tiba-tiba dia merasakan mual yang sangat hebat. Sarah berlari ke kamar mandi, lalu memuntahkan semuanya. Bahkan air yang dia minum barusan pun ikut keluar.
Rudi hanya duduk termangu di atas sofa, dan pikirannya berkecamuk.
"Sarah benar-benar hamil?!" Batin rudi menjerit.