Rudi duduk termangu di ruang kerjanya, dia hanya menatap kosong ke arah layar komputer yang mati. Jam di tangannya menunjukan pukul 7 sore. Harusnya dia Segera pulang ke rumah, karena sudah lewat dari jam kerja.
Rudi tersadar dari lamunannya, dia bangkit berjalan ke arah jendela. Semuanya sudah terlihat gelap. Segelap perasaannya saat ini.
"Apa aku harus menceraikan Asti lalu menikahi Sarah?" Sejenak terbesit pikiran Rudi, namun buru-buru dia tepis.
"Tidak, aku tidak mau melepaskan Asti begitu saja. Aku sangat mencintainya."
"Tapi Sarah, dia sedang mengandung. Dia bilang itu anakku. Tidak! Belum terbukti bahwa jabang bayi yang di kandung Sarah adalah anakku!"
Berbagai spekulasi bergelut di pikirannya. Rudi hampir gila memikirkan hal ini.
Kali ini Rudi kehilangan muka untuk bertemu Asti, dia sudah menyangkal kecurigaan Asti dan itu membuatnya semakin merasa bersalah. Rudi pun menyesali semua tindakan bodohnya, hingga berdampak seserius ini.
Ponselnya bergetar, dia melihat nama 'Sarah' di layarnya, namun dia mengabaikannya.
Kepala Rudi hampir pecah gara-gara memikirkan hal ini. "Apa aku harus tinggal disini saja, tapi nanti ibunya Asti akan curiga."
"Baiklah, aku pulang saja."
"Aku tinggal berkelit lagi jika Asti menanyakan hal yang macam-macam." Rudi meyakinkan hatinya, jika Asti pasti tak akan mencurigainya lagi.
Maka dia memutuskan untuk pulang.
***
Pukul 7 malam Asti terbangun. Ternyata dia tertidur di sofa, di ruang tamu. Asti masih berada di rumah Vena. Dia berjalan ke arah kamar mandi, yang letaknya ada di belakang samping ruang keluarga.
Ternyata di ruang keluarga sudah berkumpul Vena dan keluarga kecilnya. Ada Frans dan Isabel. Suami dan anak Vena. Mereka sedang asyik menonton televisi. Menyadari Asti datang, Vena langsung menghampirinya.
"Ayo kita makan malam."
"Aku mau mencuci wajahku dulu." Asti lanjut berjalan ke arah kamar mandi.
Di kamar mandi Asti menatap wajahnya dari pantulan cermin,
"Pantas Rudi selingkuh. Kamu ternyata tidak secantik dulu." Asti berkata pada dirinya sendiri.
Dia mulai membasuh wajahnya, dan mengelap dengan handuk yang tersedia di laci bawah wastafel. Asti sudah hafal letak barang di rumah Vena, karena sudah beberapa kali dia menginap di sana.
Wajahnya sudah tampak lebih segar. Dia lalu keluar menuju ruang tengah, lalu mereka berjalan menuju ruang tengah untuk bergabung dengan keluarga Vena.
Terlihat Frans bercanda gurau dengan Isabel, sedangkan Vena sedang menyiapkan makan malam di dapur yang letaknya di seberang ruang keluarga.
Asti menghampiri Isabel,
"Hay girl," sapa Asti sambil mengacak rambut Isabel.
"Hay Tante Asti," ucap Isabel sambil memeluk Asti.
"Apa kabar,Frans?" Sapa Asti ke suami Vena.
"Baik, Asti. Bagaimana kabar Rudi?" ucap Frans polos. Mendengar suaminya membahas soal Rudi, Vena buru-buru menghampiri mereka.
"Ayo kita makan, makan malam sudah siap!" Vena setengah berteriak untuk menghentikan ulah suaminya.
Mereka lalu menyerbu meja makan dan duduk di kursi masing-masing. Bak anak ayam mengerubungi induknya, mereka berebut minta di layani oleh Vena.
Suasana makan malam di keluarga kecil Vena sangat meriah, Asti merasa sangat iri.
"Aku pulang ya,"
"Kamu menginap saja, Asti. Kamar tamu sudah aku siapkan." Vena menggandeng tangan Asti hendak mengajaknya ke kamar tapi, Asti menolak.
Asti bertekad akan pulang karena memikirkan ibunya sendirian di rumah, dia hanya mengkhawatirkan ibunya. Bukan suaminya.
"Aku khawatir sama ibu, kasian dia di rumah pasti menungguku."
"Yasudah," ucap Vena.
Mereka berjalan beriringan menuju ruang tamu, Asti mengambil tas yang tergeletak di atas sofa bekas tempat dia tertidur tadi. Vena berdiri saja, tanpa berkomentar.
"Yakin kamu mau pulang?" Vena mencoba meyakinkan.
"Kamu tidak cerita soal masalah kamu dulu? Mungkin aku bisa bantu sedikit meringankan."
Mendengar ucapan sahabatnya barusan, hati Asti luluh seketika. Dia kemudian duduk lagi di sofa yang dia duduki saat awal datang.
Asti berusaha menjelaskan satu per satu, dari A sampai Z tentang masalahnya dengan Rudi. Sehingga membuat Vena murka.
"Aku ke rumah kamu, aku akan buat perhitungan dengan bajingan itu!"
"Tenang Vena, gara-gara hal ini aku jadi enggan cerita ke kamu soal masalahku."
"Kamu itu terlalu sabar, Asti! Makanya si Rudi selalu mengulangi terus kesalahannya."
"Terus, aku harus bagaimana?"
"Tanya hati kamu?" Seru Vena menunjuk ke arah Asti.
"Kalau kamu masih ingin mempertahankan rumah tangga kamu, dengan alasan masih cinta. Silahkan. Kamu pulang, bertemu dengan Rudi. Anggap kamu tidak tahu tentang semua kebusukan Rudi selama ini." Kali ini Vena terdengar bersungut-sungut.
"Kamu akan terus-menerus di bohongi, Asti. Orang sekali selingkuh pasti akan ketagihan. Orang sekali berbohong dia akan terus berbohong untuk menutupi kebohongan yang sebelumnya. Pakai akal sehat kamu, Asti."
Vena mengakhiri khotbah panjangnya sambil membuang pandangan ke arah lain sambil mengepalkan tangannya. Vena sedang menahan emosinya sampai tak sanggup melihat ke arah Asti.
Tangis Asti pecah lagi, dadanya merasa sangat sesak. Sampai menangis sesenggukan.
Mata Vena menatap sahabatnya itu, tak tega sebenarnya. Tapi memang harus begitu, saat ini Vena harus bersikap tegas kepada Asti. Dia tidak ingin sahabatnya itu terus-menerus di sakiti oleh Rudi. Vena menghampiri Asti, dia berjongkok tepat di hadapan Asti.
"Kamu bisa mengakhiri penderitaan kamu, masih banyak orang yang lebih menyayangi kamu. Masih ada ibu dan karier kamu yang harus di pikirkan." Vena membelai lembut rambut Asti, namun Asti masih tetap menangis sambil telungkup dia atas kedua pahanya.
Semua yang dikatakan Vena benar, Asti juga mengakui dirinya sangat bodoh namun saat nanti bertemu Rudi, perasaan bencinya pasti akan luluh. Sehingga mudah untuk Asti untuk mengulang kebodohannya, dan bisa memaafkan Rudi kembali.
Asti masih duduk terdiam, begitu juga Vena. Hingga yang terdengar hanya jam dinding yang berdentang.
***
Rudi sudah sampai di rumah, kondisi rumah sudah sepi karena sekarang sudah menunjukkan pukul 11 malam. Rudi langsung bergegas ke kamarnya, dia berharap Asti sudah terlelap di mimpinya. Namun dugaan Rudi salah, Asti tidak berada di dalam kamar.
Tersungging senyum sinis di bibir Rudi, suatu kebiasaan Asti jika marah dia pasti akan melarikan diri.
Rudi pergi ke kamar mandi, hendak membersihkan diri dan mengganti pakaian. Sekitar 30 menit Rudi berada di kamar mandi. Saat keluar dia terkejut ketika melihat Asti sudah duduk di atas ranjang.
Dada bidang Rudi terlihat jelas, karena balutan handuk hanya menutupi bagian bawah tubuhnya saja. Wangi sabun mint yang menyeruak ketika Rudi melewati Asti saat hendak mengambil pakaian di lemari.
Kepala Asti langsung tertuju ke arah Rudi. Bau mint yang berasal dari tubuh Rudi karena sabun yang dia pakai sebenarnya begitu menggoda hingga membangkitkan gairah bagi yang menciumnya.
Begitupun Asti, dan itu hal yang normal. Asti menatap punggung Rudi yang masih sedang mencari pakaian di lemari. Tanpa sepatah kata yang keluar dari keduanya, namun mata Asti tetap tertuju ke arah Rudi.