Motor besar berwarna hitam dan hijau itu terlihat sudah berhenti di depan sebuah halaman yang cukup luas. Baru saja si pengemudi turun dari motor dan membuka helm-nya, telinganya menangkap suara yang sangat dia kenali sedang memaki-maki dengan kata kasar.
'Pasti papih bertengkar lagi sama Kak Arsen. Aku benar-benar lelah melihat kondisi ini. Aku harus bicara langsung pada Kak Arsen dan bertanya tentang hal yang dia inginkan sebenarnya. Kalau aku bisa membantu, maka akan aku bantu,' batin Darren.
Meski sikap kakaknya terkesan tak bersahabat sekembalinya dia dari Inggris, namun Darren tetap berusaha jadi adik yang baik untuk Arsen.
Darren melangkah masuk ke dalam rumah. Baru saja dia menutup pintu, tiba-tiba terdengar ...
PLAKK ...
Darren terhenyak mendengar suara tamparan yang cukup keras. Dia segera berjalan menuju ruang kerja papihnya. Darren melihat Arsen sudah tersungkur dilantai sambil mengusap pipi kanannya. Wajahnya terlihat memerah. Meskipun Arsen ditampar, namun Darren justru melihat kakak laki-lakinya malah terkekeh.
"Cukup, Pih! Jangan perlakukan kakak seperti ini lagi. Bagaimanapun Kak Arsen ini masih putramu juga sama seperti aku," pinta Darren pada Garth.
"Anak ini memang pantas mendapatkan perlakuan seperti itu. Coba kamu lihat sendiri. Dia sedang tidak sadarkan diri. Jauh-jauh aku menyekolahkan manusia brengsek ini ke Inggris. Pulang kemari malah seperti ini," teriak Garth.
Darren jongkok lalu memegangi kedua bahu Arsen. Dengan seksama Hito memandangi wajah Arsen. Tatapan matanya seperti orang linglung.
"Kamu jadi pecandu, Kak?" tanya Darren
Arsen malah terkekeh mendengar pertanyaan Darren yang dalam pendengarannya terdengar lucu. Darren memaksa Arsen untuk berdiri lalu memapah Arsen keluar dari kamarnya. Selama berjalan dari ruang kerja menuju kamar Arsen di lantai dua, Arsen terus meracau tidak jelas.
Darren membuka pintu kamar Arsen dan melihat kamar Arsen begitu acak-acakan. Di atas meja yang berada di depan sofa, Darren melihat ada bubuk berwarna putih dalam kantong plastik berukuran sangat kecil. Di sebelahnya ada korek api dan botol kaca bening. Sepertinya botol itu digunakan Arsen untuk menghisap bubuk setan itu.
Darren menggiring Arsen yang makin meracau tak jelas ke arah ranjang dan membiarkannya membanting tubuhnya ke arah kasur. Sepertinya Arsen sedang sangat teler. Dia meracau makin tidak karuan.
Darren menarik beberapa helai tisu lalu membungkus bubuk setan beserta botol untuk menghisapnya dengan tisu tersebut. Perlahan dia keluar dari kamar Arsen dan berjalan menuju halaman belakang untuk memusnahkan barang haram tersebut.
'Aku tahu kalau kamu tertekan dengan segala paksaan mamih dan papih. Tapi apa harus kamu menghancurkan dirimu sendiri dengan hal seperti ini, Kak?' batin Hito dengan tatapan mata yang menatap kobaran api. Sebelum asapnya melebar kemana-mana, Darren segera menutup tong pembakaran itu.
Darren masuk ke dalam rumah dan langsung naik ke lantai dua. Saat melewati kamar orang tuanya, Darren mendengar suara isakan pelan. Dia pun segera mengetuk pintu kamar itu.
"Mih!"
Tidak ada jawaban dari dalam. Meski begitu, Darren tetap masuk ke dalam kamar orang tuanya. Dia mendapati Eva sedang duduk bersandar di atas ranjang dengan bantal di atas pangkuannya. Wajahnya basah oleh air mata.
"Kenapa, Mih? Pasti soal Kak Arsen lagi 'kan?" tanya Darren sekaligus berusaha untuk menebak.
"Mamih bingung harus bagaimana menghadapi kakakmu itu. Mamih sudah gagal menjadi seorang ibu. Andaikan saja mamih tahu kalau hidup kakakmu akan seperti ini, mungkin dulu mamih akan membujuk papih untuk mengizinkan kakakmu sekolah penerbangan saja," jelas Eva sambil terisak.
"Semua sudah terlanjur terjadi, Mih. Sekarang tinggal bagaimana caranya membimbing dan menyadarkan kakak kalau yang dia lakukan selama ini hanya sia-sia. Watak kakak itu keras. Untuk menghadapi watak yang keras harus dengan cara halus," ujar Darren.
"Kamu begitu baik, Darren. Paling tidak mamih masih punya harapan untuk masa depan perusahaan keluarga kita di pundakmu," ujar Eva.
Darren menghela napas perlahan. Ternyata pikiran mamihnya tak jauh berbeda dengan papihnya. Yang ada dalam pikiran mereka hanya perusahaan, perusahaan dan perusahaan. Hingga mereka lupa bahwa mereka berdua adalah orang tua yang seharusnya jadi panutan untuk anak-anaknya.
Darren sama sekali tidak menyalahkan sepenuhnya atas hancurnya hidup Arsen. Karena Darren tahu bagaimana kerasnya Gart dan Eva pada Arsen yang awalnya digadang-gadang akan jadi putra mahkota di perusahaan itu. Hingga berbagai tekanan dilayangkan keduanya pada Arsen.
Arsen yang berwatak keras dan tidak suka dipaksa lebih memilih untuk berontak. Namun pemberontakannya gagal hingga Arsen lebih memilih untuk menghancurkan hidupnya.
"Aku tidak berani menjanjikan apapun, Mih. Tapi Aku akan berusaha semampuku,"
*
Keesokan paginya kegiatan di rumah besar itu berjalan seperti biasanya. Semua keluarga inti telah hadir di meja makan kecuali Arsen.
"Di mana anak brengsek itu? Kenapa dia tidak ikut sarapan?" tanya Garth.
"Ini masih pagi, Pih. Biarin ajalah anak itu mau gimanapun. Mau hidup mau mati sekalipun sebaiknya gak usah diurusin lagi," ujar Alicia.
'Kasian Kak Arsen. Padahal dari dulu Kak Arsen selalu mengalah sama Kak Alice, tapi Kak Alice selalu mempengaruhi papih dan mamih agar membenci mereka,'' batin Darren sambil memakan roti lapis daging miliknya.
"Kamu ke kampus hari ini, Dar?" tanya Eva.
"Iya, Mih," jawab Darren singkat.
"Belajar yang benar. Jangan kecewakan papih seperti si brengsek Arsen. Buat papih bangga dengan prestasimu," ujar Garth dengan wajah tanpa dosa.
Darren hanya menanggapi ucapan papihnya dengan tersenyum tipis saja.
Tanpa mereka sadari. Sedari awal Arsen sudah berdiri di balik tembok ruang makan. Hingga semua percakapan di ruang makan itu bisa dia dengar secara gamblang.
'Darren lagi Darren lagi. Selalu saja dia yang dibanggakan. Alice apalagi, dia yang paling ingin melihat gue mati. Dari kecil gue tidak pernah banyak meminta pada mereka. Justru Alice lah yang selalu banyak minta. Hanya karena permintaan gue yang tidak sesuai dengan keinginan mereka, gue langsung disisihkan,' batin Arsen.
Dia yang awalnya turun ke bawah untuk ikut bergabung sarapan dengan keluarganya, kini malah kembali untuk naik ke atas menuju kamarnya. Karena hanya dalam kamarnya saja hdiupnya jauh lebih baik.
Ddrrrttt ... Ddrrrttt ...
Arsen yang sedang berdiri di depan jendela sambil menatap kosong entah kemana, dikejutkan dengan dering ponselnya. Dia berbalik badan lalu berjalan menuju nakas dan meraih ponselnya.
"Apa?" tanya Arsen ketus saat melihat nama Ivan muncul di layar ponselnya.
" ... "
"Ada hadiah uangnya gak? Gue lagi bokek banget nih," ujar Arsen.
" ... "
"Oke. Kalau gitu gue ikut. Siapa lawan gue?"
" ... "
"Revan? Cih ... Dua sih kecil buat gue. Gue pastikan malam ini gue akan jadi juaranya!"