Arsen ambruk di atas tubuh polos gadis yang masih terus menangis meratapi nasib buruknya. Berbeda dengan Arsen yang tersenyum sangat puas. Selain karena adrenalinnya yang terpacu, juga karena segel gadis ini dan cengkraman dinding-dinding kenikmatannya yang begitu melenakan.
Miliknya yang memiliki ukuran fantastis untuk ukuran seorang laki-laki muda seusia dirinya benar-benar seperti dimanjakan setiap kali dia menghujamkan miliknya itu ke dalam milik gadis itu.
Dulu Arsen melepaskan keperjakaannya bersama seorang wanita bule saat dia masih kuliah di Inggris. Saat itu Arsen pertama kalinya pergi ke night club dan mabuk berat karena kecewa pada kedua orangtuanya. Padahal selama ini dia sudah mengalah dengan membuang mimpinya. Tapi tetap saja kedua orang tuanya selalu lebih mementingkan perusahaan daripada perasaan anaknya.
Wanita bule itu jelas memanfaatkan keadaan Arsen yang mabuk berat dan membawanya ke arah salah satu kamar yang ada di nightclub tersebut. Saat itu Arsen masih berusia dua puluh tahun.
Arsen beringsut sambil menarik rudal nuklirnya yang ternyata masih saja berdiri tegak. Dia merebahkan tubuhnya di samping gadis yang tak henti menangis dalam keputus asaannya.
Gadis itu masih terlentang dan tak bergerak sama sekali. Tak peduli dengan tubuh polosnya. Tak peduli dengan kedua kakinya yang masih terbuka lebar. Yang dia tahu hanya menangis dan menangis.
"Anjing! Efek tuh obat setan masih aja kerasa. Sumpah, milik gadis ini enak banget. Kalau gue nyobain sekali lagi kayaknya nih cewek gak bakal masalah deh. Hehehe …."
Meski kesadarannya masih ada, Arsen tetap berada dalam kendali minuman beralkohol dan obat perangsang yang sengaja dia beli sendiri lewat temannya.
Mata gadis itu bergerak sesaat saat merasakan bukit kembarnya diremas perlahan. Namun dia masih bisa menebak kalau masih laki-laki yang sama yang melakukannya.
Sepertinya gadis itu benar-benar tak ada niat lagi untuk berontak. Bukan berarti kali ini dia akan ikut hanyut bersama Arsen menikmati setiap sentuhan Arsen. Namun berontak pun rasanya percuma. Hidupnya sudah hancur berkeping-keping. Harapannya untuk hidup bahagia bersama laki-laki yang dicintainya sudah sirna begitu saja.
Arsen menyeringai ketika gadis yang ada di sampingnya hanya pasrah-pasrah saja. Arsen butuh pelepasan lagi mengingat rudal nuklirnya yang hingga kini tak juga mau tertidur.
Gadis itu benar-benar dalam kepasrahannya saat Arsen kembali menggerayangi setiap dimensi tubuhnya. Hanya tangisnya saja yang kembali terdengar meski tak sekencang sebelumnya. Karena tak ada perlawanan, Arsen benar-benar berbuat sesuka hati membolak-balikkan tubuh pasrah tak berdaya itu.
Arsen memposisikan tubuh gadis itu dengan posisi menelungkup. Menarik pinggulnya sedikit ke atas hingga area sensitif gadis itu terlihat. Dengan cepat dia arahkan rudal nuklirnya ke arah area sensitif gadis itu.
Arsen terus menggeram sambil terus menghujamkan rudal nuklirnya. Apalagi milik gadis itu masih seperti awal ketika dia menggagahinya. Begitu rapat dan menciptakan kenikmatan tiada tara. Rudal nuklirnya yang masih tegang itu terus menggesek setiap dinding basah di dalam sana bahkan ujungnya dia bentur-benturkan ke pusat ternikmat lembah kehangatan gadis itu. Hingga …
"Gue … Udah … Mau keluar!" nafasnya tersengal-sengal saat mendekati puncak kenikmatannya.
Untuk yang kedua kalinya Arsen tak mampu menahan gejolak hati dari kenikmatan pelepasan bersama gadis itu. Terlalu sayang bila dia memuntahkan lahar panasnya di luar. Masih dengan posisi menyodok dari belakang, Arsen menggeram dan mengerang penuh peluh.
Kenikmatan yang tengah dia rasakan benar-benar diluar dugaannya. Seandainya kedepannya gadis itu mau jadi partner ranjangnya, tentu saja Arsen tidak akan menyia-nyiakan kesempatan itu.
Arsen menciumi tengkuk dan punggung mulus gadis itu. Lalu mencabut rudal nuklirnya dan tak lama ambruk di sisi gadis itu sejenak. Kini rasa ngantuk mulai menyerang matanya. Perjuangannya untuk mencapai pelepasannya yang kedua terjadi lebih dari satu jam.
Dia membenahi tidurnya lalu membalikan tubuh gadis tak berdaya itu dan menariknya dalam pelukannya. Arsen mendekap erat gadis itu. Dia tahu kalau gadis itu terpukul.
"Maafin gue!"
Arsen terlelap setelah bertarung cukup liar dengan gadis itu pada sesi awal, meski di sesi kedua gadis itu lebih memilih pasrah saja.
***
Sementara di Mansion Kingsley, seorang laki-laki muda yang sedang tertidur lelap terpaksa terbangun karena ponselnya terus berdering tak henti. Dia menemukan sebuah nomor ponsel yang tidak dia save menghubunginya hingga berkali-kali. Ada juga panggilan dari nomor sahabat dekat kekasihnya.
Dia adalah Darren. Putra bungsu Keluarga Kingsley. Darren tampak membuka satu chatting dari nomor tak dikenal yang beberapa kali terus menghubunginya itu.
"Saya ibunya Tiana. Tolong hubungi saya,"
Demikian isi chatting dari nomor yang tak dikenal itu. Darren segera menghubungi nomor tersebut.
"Hallo, Bu. Ini Darren. Ada apa, Bu?"
" … "
"Apa? Yaudah Darren coba nyari sekarang,"
Wajah tampan Darren tampak begitu terkejut mendengar cerita ibu dari kekasihnya. Dia bangkit lalu berjalan menuju kamar mandinya hanya sekedar untuk cuci muka dan menggosok giginya.
Matanya menatap jam dinding yang menunjukkan angka 02:30. Ini sudah bukan hal wajar bagi seorang gadis lugu seperti kekasihnya bila masih ada di luar rumah. Lagi pula kekasih Darren tidak pernah sampai pulang malam apalagi sampai dini hari seperti ini.
Darren meraih kunci mobil, dompet dan ponselnya. Tak lupa dia meraih jaket tebalnya.
Begitu menuruni tangga, Darren berpapasan dengan Garth yang akan naik ke lantai dua.
"Kamu mau kemana?" Garth bingung melihat putra bungsunya yang sudah berpakaian rapi di saat waktu menunjukan dini hari.
"Pacar aku gak pulang ke rumahnya, Pih. Aku khawatir banget takut terjadi sesuatu hal buruk sama dia," kekhawatiran nampak terpancar jelas dari wajah Darren.
"Kamu tahu dari mana? Terus sekarang kamu mau cari pacarmu itu kemana, Darren. Berpikirlah yang logis," Garth agak keberatan kalau putranya mencari kekasihnya di waktu seperti ini.
"Ibunya pacarku barusan nelpon dan ngabarin kalau dia belum pulang. Aku tahu banget sama pacarku, dia itu gak mungkin pergi kemana-mana tanpa izin dulu sama ibunya. Udahlah, aku harus nyari dia,"
Tanpa menghiraukan keberatan Garth, Darren tetap saja pergi meninggalkan Mansion Kingsley. Dia tidak menggunakan motor besar kesayangannya melainkan mobil sedan berwarna putih yang biasa dia pakai bila pergi ke Kingsley Mediatama, perusahaan jasa periklanan milik keluarga Kingsley.
Jam sudah menunjukan pukul 04:30 Darren masih berkeliling Kota Jakarta. Siapa tahu dia menemukan kekasihnya di jalan meski rasanya mustahil. Sudah beberapa kali juga dia menghubungi nomor ponsel kekasihnya. Tersambung namun tidak diterima.
"Sayang, kamu di mana? Kalau kamu nginep di rumah salah satu temanmu, harusnya kamu mengabari ibu. Kasihan ibu sebegitu cemasnya memikirkanmu yang belum pulang juga. Begitupun aku yang takut terjadi hal yang buruk padamu," gumam Darren dengan tatapan yang fokus ke segala arah berharap menemukan keberadaan kekasihnya.
Waktu terus bergulir, Darren pun akhirnya menyerah dan memutuskan untuk pergi ke rumah kekasihnya menemui ibunya. Siapa tahu saat ini kekasihnya sudah pulang.
***
Kingsley Hotel …
Kelopak mata yang masih tertutup itu tampak berkerut dengan bola matanya yang bergerak-gerak di baliknya. Perlahan namun pasti, kelopak mata itu pun terbuka dan menampakan mata hijau jernihnya dalam keremangan cahaya kamar.
Tangan kirinya meraba bagian lain dari ranjang yang ditidurinya yang nampak kosong.
"Kemana dia?"