Darren tampak terkapar di sisi kolam renang. Sebelumnya sudah lebih dari satu jam dia terus-menerus berenang dengan berbagai gaya tanpa kenal lelah. Kekecewaan yang teramat sangat sudah menguasai hatinya.
Saat sedang memejamkan mata, tiba-tiba sebuah handuk mendarat di wajahnya. Darren menggerakan tangan kanannya untuk menarik handuk yang mendarat di wajahnya dan melihat siapa gerangan makhluk yang begitu tak sopannya yang sudah melemparnya dengan handuk.
Mata Darren menatap tajam ke arah Arsen yang berdiri dengan senyum tipis di bibirnya.
"Kenapa lo? Tadi mami cerita lo kayak orang kesetanan di ruang tennis indoor. Raket yang lo patahin bukan raket gue 'kan?" tanya Arsen sambil mengulurkan tangan kanannya ke arah Darren yang langsung disambut oelh Darren.
Arsen menarik tubuh Darren hingga Darren berdiri. Darren menatap wajah Arsen dengan bola mata yang berkaca-kaca.
"Kak!" Darren memeluk Arsen menumpahkan tangisnya.
Arsen tertegun dengan keadaan itu. Hatinya bertanya-tanya dengan hal buruk apa yang terjadi pada sang adik. Meski selama ini kerap timbul rasa iri di hati Arsen sebab Darren yang kini selalu disanjung orang tua mereka. Tapi bila melihat keadaan Darren yang tampak sedang terpuruk ini membuat hati Arsen terasa tak karuan.
"Lo boleh cerita ke gue kalau memang lo pengen cerita,"
"Pacar gue diperkosa dan dia gak mau ketemu gue. Dia mutusin gue, Kak,"
DEG …
Wajah Arsen seketika memucat mendengar penjelasan Darren tentang kekasihnya. Beberapa hari lalu Arsen sempat mengaitkan-ngaitkan Tiana dengan nama kontak Darren yang ada di ponsel Tiana. Namun Arsen mencoba menepisnya dan berusaha untuk tidak meyakini kecurigaannya.
Berbeda dengan saat ini di mana Arsen tiba-tiba merasa kalau kecurigaannya beberapa hari lalu cukup beralasan.
Darren melepaskan pelukannya pada Arsen lalu kembali menceburkan dirinya ke dalam air kolam. Kali ini Darren tidak berenang, dia sedang mengamuk sambil memukul permukaan air kolam disertai sumpah serapah dari mulutnya.
"Kenapa jadi gini, Brengsek? Kenapa harus pacar gue? Kenapa harus gue yang ngerasain sakit kayak gini?" bermacam pertanyaan menohok meluncur keluar dari mulut Darren.
Andai tidak ada di dalam kolam renang, pasti air mata Darren yang membasahi wajahnya akan terlihat. Wajahnya tampak sangat putus asa.
Arsen segera jongkok di sisi kolam renang sambil menatap prihatin pada adiknya yang tampak frustasi.
"Lo tahu dari mana kalau cewek lo diperkosa orang?" tanya Arsen yang mencoba mengorek keterangan. Siapa tahu Darren mau terbuka tentang sosok kekasihnya.
Darren menghentikan amukannya. Dia hanya berdiri terdiam di dalam air kolam. Tatapan matanya kosong.
"Cewek gue hampir mau bunuh diri dan bahkan udah lompat ke sungai yang cukup dalam. Untung gue masih bisa nyelamatin dia meskipun dia gak sadarkan diri sampai tiga hari lamanya. Waktu dia sadar dan pulang ke rumahnya, dia sama sekali gak mau nemuin gue. Baru hari ini ibunya menceritakan hal nimpa cewek gue, Kak. Seseorang udah merenggut paksa mahkota cewek gue dan sekarang cewek gue depresi. Dia terus mengunci diri di kamar. Kadang teriak sambil menangis. Gue bersumpah kalau gue bakal cari cowok brengsek itu dan bikin dia menyesal seumur hidupnya," ujar Darren tanpa menatap Arsen. Sorot matanya yang biasa tenang dan lembut kini memancarkan amarah yang menggebu.
Kerongkongan Arsen terasa kering seketika. Dadanya bergemuruh sebab semua terasa sangat kebetulan. Dirinya baru saja me-rudapaksa seorang gadis yang baru beberapa hari lalu diketahuinya bernama Tiana Gricella berdasarkan buku catatan kuliahnya yang tertinggal di kamar yang ditempati Arsen beberapa hari ini.
Kini di depannya ada sang adik yang sedang kecewa dan tertekan akibat berita buruk yang menimpa kekasihnya.
"Boleh gue tahu nama cewek lo, Dar?"
"Nama cewek gue …."
Ddrrrttt … Ddrrrttt …
Suara ponsel Arsen membuat Darren menghentikan ucapannya. Arsen melirik ponselnya yang ada di saku kemejanya lalu menariknya.
'Bastian! Mau ngapain dia?'
"Gue nerima telpon dari temen gue dulu," Darren hanya bisa mengangguk lemah.
Arsen berjalan agak jauh dari kawasan kolam renang bahkan kolam renang itu sudah tak terlihat lagi. Taman samping Mansion Kingsley jadi pilihannya.
"Apaan?" suara Arsen terdengar sangat malas.
"Lo aman 'kan, Ar?"
"Aman lah. Ngapain lo sok-sokan khawatir sama gue, Bego?" Arsen balik bertanya.
"Gue khawatir sama diri gue sendiri, karena gue takut lo bawa-bawa gue kalau lo ditangkap polisi. Apa kata bokap gue kalau gue sampai masuk penjara, Ar? Bisa-bisa gue dimiskinkan dengan jumlah saldo yang cuma belasan ribu doang di rekening gue,"
Arsen mendesah kesal demi menanggapi keluhan Bastian yang sangat konyol. Sementara dirinya yang jadi pelaku saja tidak sekhawatir Bastian.
"Brengsek, Lo!"
Arsen langsung mematikan sambungan teleponnya. Dia berniat kembali ke area kolam renang dan melanjutkan interogasinya pada Darren terutama soal sosok pacar Darren yang baru saja mengalami tindak ruda paksa.
Arsen merasa ini adalah kebetulan yang sangat mencurigakan. Rasa resah begitu menggelayut di hatinya.
Sesampainya di area kolam renang, Arsen sudah tidak menemukan adiknya yang sebelumnya masih ada di dalam air. Arsen hanya bisa menghela nafas dan meyakinkan pikirannya kalau kecurigaannya itu salah.
***
Seminggu telah berlalu dan selama itupun Darren masih tetap belum bisa bertemu dengan Tiana karena sebab permintaan Tiana yang tidak ingin bertemu Darren, membuat Rahma terpaksa harus berbohong pada Darren. Tiana merasa dirinya sudah sangat kotor hingga tak pantas lagi untuk mendampingi Darren dan melanjutkan hubungan mereka.
Tiana masih betah mengurung diri di dalam kamar tidurnya. Hanya saja dia sudah tak berteriak dan menangis secara tiba-tiba. Tiana sudah lebih tenang. Selama masa Tiana agak depresi ini pun Rahma memutuskan untuk mengajukan cuti karena harus menjaga dan menemani putri satu-satunya itu.
Di satu subuh, Rahma terlihat baru selesai menjalani ibadah sholat subuh. Baru saja dia akan membuka mukenah-nya, dua buah tangan melingkar di perutnya dengan sebuah kepala yang menempel di bahunya. Rahma hanya tersenyum dan mengusap puncak kepala seseorang yang kini tenaah memeluknya.
"Akhirnya kamu mau keluar kamar juga. Apa kamu sudah bisa ikhlas dengan semua hal yang menimpamu, Nak? Ibu tahu ini berat sekali, Sayang. Tapi ingatlah, akan selalu ada pelangi setelah badai,"
"Tiana sedang mencoba untuk ikhlas meskipun sulit. Hari ini Tiana mau kuliah lagi. Tiana gak mau terus-terusan terpuruk dan meratapi nasib. Tiana harus bisa bangkit, Bu. Selama mengurung diri, Tiana terus berusaha mendekatkan diri pada Allaah. Dan sekarang Tiana ingin mencoba membuka lembaran hidup baru Tiana meski tanpa Darren," Tiana tampak sedang menguatkan hatinya sendiri.
Kehilangan yang dialaminya bukan kehilangan seperti di copet dan sebagainya. Kehilangan Tiana adalah kehilangan yang membuat hidup dan masa depannya hancur.
"Kamu pasti kuat, Nak. Ibu senang mendengarnya. Kamu sudah sholat, Sayang?"
"Sudah, Bu. Tiana mau mandi dan bersiap-siap untuk pergi ke kampus,"
"Baiklah. Kalau begitu ibu juga mau bersiap untuk mulai bekerja lagi,"
Kedua pasangan ibu dan anak itu tampak semangat demi memulai lembaran hidup baru mereka terutama Tiana.