Cahaya di kaki bukit sebelah timur tampak memperlihatkan kemunculan sang mentari pagi yang tak pernah lupa membawa sinarnya yang memberikan kehangatan pada dinginnya malam yang kini mulai tersingkir karena kemunculan sang mentari pagi.
Di dalam kamar itu terlihat seorang laki-laki bertubuh tinggi wajah tampan Mbak Dewa Hermes sedang berdiri di depan jendela sambil mengancingkan kancing kemejanya untuk menutupi tubuh atletis dan perut sixpack-nya.
Dia menoleh kearah ranjang dimana seorang wanita yang mungkin seusia dengannya tampak masih tertidur dengan pulas setelah sepanjang malam wanita tersebut menghabiskan tenaganya untuk bergumul dengan lelaki berwajah tampan tersebut yang tak lain adalah Arsen Kingsley.
"Lumayan lah sekarang otak gue sekarang agak rileks bila dibandingkan dengan beberapa waktu terakhir ini," ujar Arsen sambil melangkah kearah meja.
Di atas meja tersebut terdapat dua buah ponsel di mana salah satunya adalah milik wanita yang tengah tertidur lelap di atas ranjang itu. Arsen pun meraih ponsel milik wanita tersebut yang ternyata tidak diberi kunci pengaman pada layarnya.
'Gue balik. Thanks udah berbagi kehangatan semalaman dengan gue. Gue cukup suka dengan semua permainan lo. Kalau ada kesempatan, suatu hari nanti kita ketemu lagi, gue pastiin kita bakal mengulang malam panas yang lebih panas lagi seperti malam tadi. Lo gak usah sungkan nyapa gue. Sorry, gue gak bisa ngasih nomor ponsel gue ke lo. See you,'
Demikianlah isi pesan yang ditulis Arsen di kolom chatting sebuah aplikasi berwarna hijau milik wanita itu yang sama sekali tidak dia kirimkan.
Setelah selesai mengetikkan pesan untuk wanita yang sedang tertidur lelap itu, Arsen segera meninggalkan ruangan tersebut di mana ruangan itu merupakan salah satu ruangan di dalam night club yang biasa di booking oleh pasangan yang ingin memadu kasih.
***
Siang hari di Kingsley Mediatama.
Beberapa kali Garth melihat dengan ujung matanya sendiri. Dia memperhatikan tingkah putra bungsunya.
"Kamu kenapa, Dar? Papi lihat dari tadi kamu seperti sedang memikirkan sesuatu. Apa kamu sedang memikirkan pacarmu yang terkena musibah itu?" tanya Garth pada Darren.
Hari itu Darren sedang tidak ada kelas di kampusnya. Biasanya Darren akan menghabiskan waktu libur kuliahnya dengan bekerja di Kingsley Mediatama.
Darren lebih tertarik untuk bekerja di dunia yang berkaitan dengan dunia periklanan dari pada mengurus Kingsley Hotel yang menurutnya sedikit membosankan, meskipun kedepannya mau tidak mau, Darren harus tetap mau mempelajari seluk beluk hotel tersebut dengan benar.
Darren yang pada saat itu memang sedang memikirkan Tiana, seketika melirikkan kedua bola matanya ke arah Garth.
*Aku memang sedang memikirkan Tiana. Aku sedang mencari cara untuk bisa bertemu dengannya lalu bicara dari hati ke hati kemudian kembali memperjelas soal status hubungan kami. Aku masih gak bisa terima dengan pemutusan sepihak dari Tiana," Darren mengutarakan isi hatinya yang sesungguhnya pada Garth.
"Yasudah kalau memang dia yang mutusin kamu. Urusan kalian berarti sudah selesai sampai di sini. Yang penting bukan kamu yang ninggalin dia karena musibah yang menimpanya itu," Garth masih tak habis pikir dengan pikiran anak bungsunya itu.
"Tapi, Pi. Mauku bukan seperti itu. Aku masih gak rela Tiana ninggalin aku gitu aja setelah tiga tahun hubungan kami yang nyaris tak pernah ada masalah. Kayaknya aku …," Darren terlihat berpikir dan tak melanjutkan ucapannya.
"Aku apa? Memangnya apa yang sedang kau rencanakan? Ingat, Darren. Kamu jangan bertindak yang tidak-tidak. Cukup kakakmu saja yang mengecewakan keluarga kita dan perusahaan ini dengan dengan semua tingkahnya. Kuharap kamu tidak berbuat bodoh hanya karena rasa cintamu pada gadis itu," Garth menatap tajam ke arah Darren.
"Maksud, Papi?"
Garth yang awalnya duduk di kursi kebesarannya kini berdiri dan berjalan ke arah jendela sambil menatap jalanan Kota Jakarta yang cukup ramai lancar saat siang hari dan akan berubah menjadi padat merayap saat menjelang sore dimana para pekerja sudah waktunya pulang ke rumah.
"Masih banyak gadis-gadis cantik lainnya di dunia ini. Jangan karena rasa cintamu pada gadis itu lalu kamu melupakan posisimu sebagai calon pemimpin di dua perusahaan besar kita," nada suara Garth terdengar sedikit mengintimidasi.
"Pih! Apa yang Tiana alami itu murni sebuah kecelakaan dan bukan atas keinginan dia. Tiana bukan wanita murahan yang bisa mencoreng nama baik keluarga kita meskipun mendampingiku hanya karena dia korban rudapaksa," Darren sedikit meradang dengan ucapan papinya.
Saat ini Darren seolah sedang merasakan sikap otoriter Garth. Garth tipikal orang yang selalu bersikap realistis dan sesuai kenyataan.
"Pikirkan lagi ucapan papi. Lain halnya kalau kamu yang me-rudapaksa gadis itu. Tentu saja kamu harus bertanggung jawab terlepas dia hamil atau tidak,"
"Tapi, Pih–"
"Papi ada rapat dengan para dewan pemegang saham. Kamu teruskan untuk mempelajari semua berkas yang sudah papi berikan. Pesan papi buat kamu, jangan pernah merepotkan dirimu dengan wanita yang belum tentu pantas untukmu," Garth segera pergi meninggalkan ruang kerjanya.
Darren kini mematung. Dalam kondisi seperti ini dia teringat pada kakak laki-laki yang bila dijabarkan memang korban dari sikap otoriter kedua orang tuanya yang selalu menganggap pemikiran mereka benar dan baik bagi anak-anaknya.
"Aku harus menemui Tiana besok atau lusa sebelum dia pulang dari kampus. Aku butuh kejelasan atas hubunganku dengan Tiana. Kebahagian kami lebih penting dari apapun," gumam Darren sambil meletakkan berkas yang ada di tanganya ke atas meja.
Terus menerus memikirkan nasib hubungannya dengan Tiana membuat Darren malas untuk mempelajari cara kerja perusahaan milik keluarganya itu.
***
Mobil sport keluaran Amerika itu kini terlihat berada diantara banyaknya kendaraan yang terjebak arus kendaraan padat merayap.
Mata dari pengemudi mobil sport itu melirik ke arah kiri di mana sebuah bangunan universitas berdiri dengan gagahnya.
"Ini kampus tempat dulu gue kuliah satu semester sebelum dibuang ke Inggris. Kampus tempat Darren juga mencari ilmu bisnisnya juga kampus yang sama dengan gadis yang sudah aku renggut paksa mahkotanya. Apa tidak sebaiknya aku …."
Sang pengemudi mobil sport yang tak lain adalah Arsen Kingsley itu terlihat membelokkan mobil yang dikemudikannya ke halaman universitas itu.
Mobil sport yang telah merenggut nyawa sahabatnya itu kini sudah terparkir rapi di area parkir khusus mobil di dalam universitas itu.
"Gue harus menemukan gadis itu untuk menghilangkan rasa penasaran gue selama beberapa waktu ini. Dari pada gue terus menerus dihantui rasa bersalah,"
Arsen melangkah pasti ke arah sebuah gedung fakultas yang diyakininya sebagai fakultas tempat gadis bernama Tiana itu mencari ilmu seperti yang tertera di buku kampus milik gadis itu yang kini sudah disimpan Arsen di dalam kamarnya di Mansion Kingsley.
Sementara di bagian atas sebuah gedung fakultas yang cukup sepi, terlihat Renata dan Cindy yang sedang menenangkan Tiana yang tampak takut namun juga penasaran dengan keadaan tubuhnya.
Sudah sejak hari pertama Tiana memutuskan untuk kuliah lagi, Tiana merasakan ada yang aneh dengan tubuhnya. Dan hal itu membuatnya sangat khawatir.
"Kamu yakin mau melakukan ini, Ti?" tanya Renata.
"Sebenarnya aku tak ingin melakukannya. Hanya saja ini sekedar untuk membuktikan ketakutanku saja. Semoga apa yang aku takutkan tidak jadi kenyataan," Tiana tampak begitu tegang.