Tatapan tajam mata Arsen masih tak lepas dari dari sosok gadis yang sudah beberapa minggu ini cukup mengusik pikirannya. Baru kali ini ada rasa bersalah menggelayut dalam benaknya.
Arsen terus berjalan ke arah halaman di mana gadis yang tadi sempat dilihatnya memang berjalan ke arah halaman.
BRUKK …
"Arght …."
Arsen bertabrakan dengan seseorang yang berjalan cepat dari arah samping hen dak masuk ke dalam fakultas hukum itu.
"Kak Arsen? Kakak lagi ngapain di fakultas hukum?"
Ternyata orang yang bertabrakan dengan Arsen adalah Darren—adik bungsunya.
"Lo sendiri ngapain di sini? Lo 'kan kuliah jurusan bisnis," Arsen sedang berusaha untuk bangun lalu mengulurkan tangan untuk membantu adiknya berdiri.
"Gue lagi nyari pacar gue, Kak. Udah seminggu ini gue baikan lagi sama dia, Kak," Darren terkekeh bahagia.
"Ooh … Gitu ya,"
"Terus kakak lagi ngapain di sini?" tanya Darren yang terlihat berdiri setelah menerima uluran tangan sang kakak.
Arsen terlihat masih mengedarkan pandangan ke segala penjuru halaman itu. Dia sangat yakin kalau gadis yang dicarinya berjalan ke area halaman. Dia melangkah ke depan hingga posisinya ada di depan Darren.
"Gue yakin banget kalau tadi gue lihat gadis itu," gumam Arsen tanpa menghiraukan pertanyaan Darren.
"Hah? Gadis? Jangan bilang kalau kakak punya pacar anak fakultas sini?" tanya Darren lagi.
Arsen membalikan badannya hingga kini menghadap ke arah darren.
"Buat saat ini gue lagi gak punya cewek. Gue lagi ada masalah sama seorang cewek dan akhirnya gue tahu kalau cewek itu kuliah di kampus ini," jawab Arsen dengan wajah yang serius.
"Siapa, Kak? Siapa tahu gue tahu namanya. Atau gue bisa tanya sama cewek gue. Semoga dia tahu," dalam keluarga Kingsley, hanya Darren selalu bersikap baik pada kakaknya ini.
"Namanya Tiana!"
"Darren!"
Darren menoleh ke arah suara yang memanggil namanya yang ternyata temannya dari fakultas hukum.
"Bentar ya, Kak. Gue ada urusan bentar," Darren berlari ke arah seseorang yang memanggil namanya itu.
Sepertinya bertepatan dengan Arsen yang menyebut nama Tiana, sang dari adiknya itu juga memanggil nama adiknya.
Arsen hanya menghela napas sambil kembali mengedarkan tatapannya ke arah halaman depan gedung fakultas hukum tersebut.
"Kayaknya besok aja gue datang lagi ke sini lebih pagi. Gue harus mastiin kalau cewek itu gak lapor polisi," gumam Arsen hendak berjalan keluar dari halaman tersebut.
"Kak Arsen tunggu!" arsen menghentikan langkahnya lalu menoleh ke belakang.
"Apaan sih, Dar?" Arsen tampak kesal. Kalau saja tadi dia tak bertabrakan dengan Darren mungkin dia tak akan sampai kehilangan jejak.
"Tadi siapa nama cewek yang kakak cari?"
"Dahlah lupain aja. Besok gue datang lagi buat nyari dia. Gue ceritain juga kamu gak bakal paham kok," Arsen melanjutkan langkahnya untuk keluar dari area halaman gedung fakultas hukum.
Darren hanya geleng-geleng kepala dengan sifat kakaknya yang seperti makin tak bisa dikontrol Di satu sisi dia sangat menyayangkan keputusan kakaknya yang terus-menerus melawan keluarganya hingga dianggap tak penting lagi dalam keluarga bahkan dianggap tak ada.
Darren berbalik badan untuk masuk ke dalam gedung fakultas hukum dan melanjutkan mencari kekasihnya.
Arsen masih terus terpikirkan sosok gadis yang sudah dia nodai. Sebenarnya dia juga tidak habis pikir kenapa bisa-bisanya gadis itu terus muncul dan membuat Arsen takut dan dirundung rasa bersalah.
"Gue yakin kalau tadi gue gak salah lihat. Gadis itu ada di kampus ini. Berarti pencarianku akan jadi lebih mudah,' batin Arsen sambil tetap melangkah keluar dari area kampus.
Di bagian luar halaman, terlihat tiga orang gadis baru keluar dari toilet yang kebetulan berada di samping gedung kampus.
"Mataku masih kelihatan bengkak gak sih?" tanya Tiana sambil melihat pantulan bayangan wajahnya lewat kamera depan ponselnya.
"Kayaknya masih kelihatan sedikit, Ti. Tapi udah lebih fresh kok setelah cuci muka tadi," jelas Renata sambil tersenyum.
Tiana mengangguk lalu mematikan ponselnya lalu memasukan ponsel itu ke dalam tas gendongnya.
"Aku mau pulang aja. Aku butuh tidur dan menyendiri untuk menenangkan pikiranku yang udah kalut sejak awal," ujar Tiana.
"Tapi beneran 'kan kamu pulang cuma mau tidur dan bukan mau berbuat apa-apa?" tanya Cindy yang merasa sanksi dengan ucapan Tiana.
Tiana tersenyum kecut lalu memeluk Cindy. Tak terasa air matanya kembali mengalir.
"Doakan aku kuat, tabah dan bisa nerima kenyataan ini ya, Cin. Aku beruntung punya bestie kayak kamu dan Nata yang care banget sama aku," ujar Tiana sambil mengeringkan wajahnya yang mulai kembali basah.
"Kita temenan dari SMA, Ti. Dan kita dekat satu sama lain. Sudah sewajarnya kita saling mendukung dan menguatkan bila satu diantara kita bertiga ada yang terpuruk bahkan terluka," jawab Cindy yang begitu menenangkan perasaan Tiana.
Tiana melepaskan pelukannya pada Cindy lalu menoleh ke arah Renata dan tersenyum juga.
"Kamu mau ngasih tahu ibumu soal hasil testpack itu?" tanya Renata.
"Iya, Nata. Bagaimanapun aku harus memberitahukan hal ini sama ibu. Justru ibu yang menyarankan aku untuk melakukan tes urine karena beliau curiga waktu aku bilang udah telat datang bulan selama empat hari. Nanti sore begitu ibu pulang kerja, aku pasti bakal langsung cerita sama ibu," jawab Tiana.
"Yang kuat ya, Tiana Gricella," Cindy kembali menyemangati.
"Akan aku usahakan, Cin. Oya, tolong bantu aku. Kasih tahu aku kalau ada Kak Darren. Aku belum bisa ketemu dia lagi. Aku terlalu kotor untuk berhadapan dengannya saat ini," pinta Tiana.
"Kadang aku kasihan sama Kak Darren. Baru seminggu dia bahagia lagi setelah kamu menghindari dia. Sekarang kamu udah menghindari dia lagi,"
"Buat saat ini aku cuma bisa menghindari dia aja. Aku belum tahu harus himana kedepannya,"
Cindy dan Renata saling menatap prihatin setelah mendengar permintaan Tiana. Bagaimanapun mereka berdua tahu sebesar apa cinta diantara keduanya yang terjalin sejak tiga tahun yang lalu.
Renata dan Cindy berjalan terlebih dulu untuk memantau situasi. Sementara Tiana berjalan di belakang keduanya dengan wajah yang setengah menunduk.
Beruntung hingga ketiganya mencapai pintu gerbang utama kampus, Darren tak terlihat batang hidungnya sama sekali. Tiana pun segera memesan jasa ojek online.
Setelah melihat Tiana yang sudah naik motor dan menjauh, Renata dan Cindy memutuskan kembali masuk ke dalam kampus.
Jarak antara kampus dengan rumah yang kini ditempati Tiana dan Bu Rahma terbilang tidak terlalu dekat dan juga tidak terlalu jauh. Dengan menempuh perjalanan dua puluh kilometer dengan menggunakan motor, Tiana kini terlihat sudah sampai di depan pintu gerbang rumah minimalis yang jadi tempat dirinya dan ibunya tinggal.
Tiana mengeluarkan sebuah kunci dari dalam salah saku jaket yang dipakainya lalu mencoba memasukan kunci itu ke dalam lubang kunci.
"Kok gak bisa masuk sih kuncinya? Apa jangan-jangan ibu sudah pulang?"