Dinginnya angin dini hari ini begitu terasa menusuk hingga ke saraf dan sum-sum tulang. Seorang gadis remaja berusia delapan belas tahun lebih tampak sudah selesai melaksanakan sholat subuh.
Wajahnya tampak pucat seperti kurang tidur. Setelah bermimpi suatu hal yang sangat bertolak belakang dengan keinginannya. Tiana seketika tak bisa tidur.
Dalam mimpinya Tiana melihat dirinya sendiri yang sedang memukuli perutnya sendiri hingga keluar darah dari arah pusarnya. Tiba-tiba muncul seorang laki-laki yang dan memegangi tangan Tiana. Laki-laki itu sama sekali tak bicara sepatah katapun. Hanya tangannya saja yang terlihat sedang memegang tangan Tiana yang beberapa saat lalu digunakan untuk memukul perutnya.
Setelah merasa lelah sebab kedua tangannya terus dipegang oleh sosok laki-laki yang datang tiba-tiba itu. Tiana mengangkat wajah dan melihat wajah orang itu. Ya, wajahnya mirip dengan wajah laki-laki yang telah meruda-paksa dirinya. Anehnya, kedua mata laki-laki itu awalnya terpejam seperti tidur. Setelah Tiana mengucapkan kata 'Hei …', barulah laki-laki itu membuka mata.
Setelah bermimpi seperti itu, Tiana memutuskan untuk sholat malam agar hatinya tenang dengan pikiran yang tidak dipenuhi amarah. Berdzikir semampunya hungga adzan subuh berkumandang lalu menjalankan sholat subuh.
Dia mengusap perutnya perlahan lalu tersenyum. "Tumbuhlah bila memang kau ingin tumbuh. Meski mungkin kelak dunia akan mencemoohmu, kamu tidak usah khawatir sebab mama yang akan berdiri paling depan demi membelamu, Nak," ujar Tiana dengan mata yang berkaca-kaca.
Ya, Tiana akhirnya memutuskan untuk mempertahankan janin dalam kandungannya. Setelah melakukan sholat malam, Tiana pun akhirnya memiliki keyakinan kalau janin dalam kandungannya tidak berdosa.
Bila memang ini jalan takdirnya, maka Tiana akan belajar berlapang dada menerimanya, meskipun harus kehilangan Darren sekalipun.
Tiana terlihat sedang melipat mukenah berwarna abu-abu tua miliknya. Dia segera berdiri lalu meninggalkan kamarnya menuju kamar sang ibu. Akan tetapi setelah sampai ke sana, Rahma tidak ada di kamarnya.
Tidak menyerah, Tiana segera melangkah menuju dapur dan mendapati sang ibu sedang mencuci beras.
"Bu!"
Rahma yang sedang berdiri menghadap ke arah tempat cuci piring, seketika membalikkan badannya. Dia meletakkan panci yang sedang dipegangnya lalu menghambur ke arah putrinya.
"Akhirnya kamu keluar juga, Nak. Ibu sampai susah tidur sebab mikirin kamu, nasibmu dan janin dalam kandunganmu. Mana kemarin malam kamu belum makan malam juga," Rahma makin erat memeluk tubuh putrinya.
"Maafin Tiana yang udah bikin ibu khawatir. Maafin sikap Tiana juga kemarin ya, Bu,"
"Tanpa kamu minta pun, ibu sudah memaafkanmu, Nak," Tiana hanya mengangguk sambil terisak. "Sekarang kamu makan dulu ya. Karena nasinya belum dimasak, jadi ibu masakin mie instan saja ya?"
"Gak usah, Bu. Biar Tiana aja yang bikin. Ibu lanjutkan saja pekerjaan ibu," Rahma tersenyum sambil mengangguk.
"Yasudah kalau gitu,"
Tiana terlihat sedang berkutat di depan kompor sambil memasak mie instan yang diberikan sayuran dan telur.
"Bu?"
"Apa, Nak?"
"Ngidam itu rasanya gimana sih?" Tiana tampak sedang memulai ancang-ancang untuk menyampaikan keputusannya.
"Kenapa kamu tanya kayak gitu?" Rahma yang baru saja memasukan beras yang baru dicuci ke dalam magic com dan menyalakannya, seketika menoleh lagi ke arah Tiana yang sedang menuangkan mie instan ke dalam mangkok.
"Pengen tahu aja, Bu. Soalnya aku udah mutusin kalau janin dalam rahimku ini akan aku pertahankan apapun resikonya,"
"Kamu serius, Nak?"
"Iya, Bu. Kata-kata ibu memang benar. Dia tidak berdosa dan sangat tidak adil bila aku menggugurkannya," ujar Tiana sambil mengusap perutnya yang rata.
"Bukan hanya karena dia tak berdosa. Kesehatan dan keselamatanmu juga jadi taruhan, Nak. Kasihanilah ibumu yang tidak punya siapa-siapa lagi di dunia ini selain kehadiranmu," setetes air mata jatuh dari pelupuk mata yang sudah dihiasi keriput tipis.
"Ibu jangan ngomong gitu. Aku gak akan kemana-mana kok. Kalau ibu berkenan, bantu aku untuk menjaga anakku nantinya," Tiana memeluk erat tubuh ibunya.
"Pasti, Nak. Pasti!"
***
Di dalam ruangan serba putih itu dengan bau obat-obatan yang cukup menyengat di hidup. Terlihat sesosok tubuh laki-laki yang masih tak sadarkan diri dan tergeletak di atas brankar.
Tiba-tiba kedua bola matanya tampak bergerak-gerak di balik kelopak matanya yang masih tertutup rapat.
"Hei …."
Kelopak mata yang awalnya masih tertutup rapat itu seketika terbuka lebar. Helaan nafasnya mendadak cepat. Keringat dingin tampak muncul di kening dan pelipisnya.
Dia mengedarkan tatapan ke sekeliling tempat itu dan hanya melihat dirinya sendiri di dalam ruangan itu.
Tiba-tiba pintu ruangan itu terbuka lebar dan muncul sosok wanita berseragam putih.
"Akhirnya Anda siuman juga, Pak Arsen," ujar sosok wanita yang ternyata adalah seorang suster.
Sosok laki-laki yang tak lain adalah Arsen Kingsley itu mengedipkan mata sekali. Tubuhnya masih terlalu lemah meskipun sekedar menganggukkan kepalanya.
Sebuah monitor yang berada di ruangan tempat suster berjaga tiba-tiba berkedip-kedip pertanda ada sesuatu yang terjadi pada pasien yang berada di ruangan yang terhubung dengan monitor tersebut.
Seorang suster terlihat berdiri dan berjalan cepat ke arah ruangan yang terhubung dengan monitor yang tiba-tiba berkedip-kedip itu.
"Air!"
"Tunggu sebentar ya, Pak Arsen. Dokter sedang kemari dan memeriksa Anda terlebih dahulu," jawab suster tersebut.
Tak berselang lama, seorang dokter tampak masuk ke dalam ruangan serba putih yang ternyata adalah ruangan ICU. Dokter tersebut menyorotkan sebuah senter kecil ke arah kedua mata Arsen.
"Sudah diperiksa organ vital lainnya, Sus?" dokter tersebut menoleh ke arah sang suster.
"Sudah, Dok. Semuanya berfungsi normal,"
"Bagus," dokter tersebut menoleh ke arah pasien. "Ini berapa?" dokter itu mengacungkan jari telunjuk dan jari tengahnya.
"Dua!" jawab Arsen tanpa suara dan hanya gerakan bibirnya saja.
"Kalau ini?" kini jari jempolnya ikut naik menemani dua jari lainnya yang lebih dulu berhenti.
"Tiga!" jawab Arsen lagi masih dengan cara yang sama.
Dokter itu tersenyum. "Selamat datang lagi ke alam dunia, Pak Arsen. Anda sudah cukup berjuang untuk kembali sadar setelah dinyatakan koma meski hanya dua hari dua malam,"
Arsen itu hanya mengedipkan mata sebagai tanda dia mengerti. Sama seperti yang dia lakukan pada suster yang menemukannya telah tersadar.
"Segera beri makanan yang lembut dulu untuk pasien dan beri kabar pada keluarganya kalau pasien sudah siuman,"
"Baik, Dok. Saya permisi untuk mengambil makanan dulu,"
"Silahkan, Sus," dokter tersebut melirik ke arah Arsen. "Saya tinggal dulu ya. Sebentar lagi akan ada suster yang datang untuk menyuapi Anda dan membersihkan tubuh Anda. Saya permisi dulu ya," ujar dokter tersebut seraya berbalik badan.
Baru selangkah dokter itu melangkah. Langkahnya terhenti saat tangannya merasakan dicolek sedikit. Dia pun menoleh.
"Ada yang bisa saya bantu lagi?"
"Di mana gadis itu?"