Di bagian atas sebuah gedung fakultas yang cukup sepi, terlihat Renata dan Cindy yang sedang menenangkan Tiana yang tampak takut namun juga penasaran dengan keadaan tubuhnya.
"Kamu yakin mau melakukan ini, Ti?" tanya Renata.
"Sebenarnya aku tak ingin melakukannya. Hanya saja ini sekedar untuk membuktikan ketakutanku saja. Semoga apa yang aku takutkan tidak jadi kenyataan," Tiana tampak begitu tegang.
"Kalau seandainya hal yang kamu takutkan jadi kenyataan, apa kamu sudah siap menerima kenyataannya?" tanya Cindy pelan-pelan.
"Aku beneran gak tahu, Cin," Tiana menyugar rambut hitamnya panjang panjang dan lurus itu.
Meski ragu dan takut, Tiana tetap mengeluarkan beberapa benda pipih panjang yang lazimnya disebut testpack dari berbagai merk yang sengaja dibelinya dari apotek yang letaknya jauh dari kampus maupun tempat tinggalnya.
Tiana mengeluarkan botol kecil setinggi tiga jari lalu, membuka tutupnya. Botol kecil itu berisi urine pertama miliknya hari inii. Pagi hari setelah bangun tidur, Tiana sengaja menampung urine pertamanya untuk di tes menggunakan testpack.
Dengan memejamkan kedua matanya, Tiana memasukan beberapa testpack itu ke dalam botol berukuran setinggi tiga jari itu.
Setelah tiga menit berlalu, Tiana membuka kedua matanya lalu meraih beberapa testpack itu dan melihat beberapa testpack tersebut menunjukan hasil diluar dugaannya.
"Ini pasti salah. Ini gak mungkin terjadi sama aku. Arght ...." Tiana seketika menangis pilu sambil mengacak-acak rambut panjangnya.
Teriakannya terdengar kencang dan menyayat hati. Dilemparnya benda pipih yang sebelumya ada dalam genggamannya.
"Tenang, Tiana. Kamu gak boleh kayak gini," Renata mencoba menenangkan sahabatnya yang kini tampak makin frustasi.
Padahal Tiana sangat berharap kalau hasil tespack itu negatif. Dia akan memberanikan diri untuk menemui Darren dan memperbaiki hubungan mereka yang sempat renggang tiga minggu ini.
Lagi pula Darren sudah tak peduli dengan kondisi Tiana yang sudah kehilangan mahkotanya. Yang Darren tahu, kalau dirinya sangat mencintai Tiana dan ingin berbagi kebahagiaan dalam sebuah ikatan sakral.
"Gimana aku bisa tenang. Hidupku sudah hancur, Nata. Aku tidak sudi mengandung anak dari benih manusia biadab itu. Harapanku untuk kembali bersama dengan Kak Darren kini musnah sudah,"
Tiana berusaha memukul-mukul perutnya dengan kepalan tangannya sekeras yang dia bisa. Tangisnya makin menjadi dan menyayat hati siapapun yang mendengarnya. Hanya Cindy dan Renata yang jadi sahabat setia Tiana yang selalu berusaha menenangkan dirinya.
"Jangan gini, Tiana. Dia gak berdosa. Terus juga hal ini akan berdampak buruk bagi tubuh kamu sendiri," Cindy ikut menenangkan Tiana yang masih terpukul setelah mengetahui hasil dari beberapa testpack yang mereka beli menunjukan tanda positif.
Empat hari terakhir ini Tiana selalu diam dan gelisah. Di kampus pun dia tidak fokus mengikuti mata kuliah yang disampaikan dosen di kelas. Pikirannya terus menerawang ke arah tiga minggu yang lalu saat dirinya dinodai oleh Arsen.
Belum lagi sekarang fikirannya semakin bertambah karena hari di mana biasanya dia datang bulan tak kunjung datang. Bu Rahma yang merupakan ibu kandung Tiana cukup terpukul ketika tahu putrinya telat datang bulan. Dirinya sudah menduga, kalau ada janin dalam rahim putrinya.
Kegelisahan Bu Rahma dan ketakutan Tiana ternyata terbukti. Dari empat buah testpack yang sengaja dibelinya, semuanya menunjukan tanda positif. Jelas sudah kalau Tiana sedang mengandung anak Arsen karena hanya Arsen lah satu-satunya laki-laki yang sudah menyentuh Tiana.
Renata dan Cindy berusaha memegang kedua tangan Tiana yang sedang memukul-mukul perutnya sendiri.
"Aku tidak menginginkan anak ini! Aku akan menggugurkannya bagaimana pun caranya. Aku sungguh tidak sudi mengandung apalagi melahirkan anak ini," teriak Tiana untuk yang kesekian kalinya dalam tangis pilunya.
"Menggugurkan bukan jalan terbaik, Tiana. Nyawamu menjadi ancamannya," Cindy terus mengingatkan Tiana.
"Biarkan saja. Mungkin mati akan jauh lebih baik untukku, daripada aku hidup berkalang noda seperti ini,"
"Apa tidak sebaiknya kita mencari laki-laki itu dan memintanya untuk bertanggung jawab?" usul Renata.
"Kamu fikir aku tahu siapa laki-laki biadab itu? Jangankan alamatnya, namanya pun aku tidak tahu, Nata. Hidupku benar-benar sudah hancur," makin pilu tangis Tiana.
Cindy segera memeluk Tiana yang terlihat berantakan dan tampak sangat terpukul. Ai mata kepiluannya tak henti mengalir hingga membasahi bajunya sendiri.
Tiana yang putus asa bergerak lalu mendorong Cindy hingga Cindy terjatuh kebelakang. Tiana berdiri dan berlari dengan cepat ke arah pinggir gedung.
"Jangan nekat, Tiana. Kamu harus ingat sama ibumu yang sangat menyayangimu. Bagaimana hidup ibumu nanti kalau kamu nekat seperti ini?" beruntung Renata yang masih sempat mengejar dan memegangi Tiana sebelum sampai ke sisi gedung.
"Aku mau mati saja, Nata. Aku gak mau hidup lagi. Ini benar-benar mimpi buruk buatku," teriak Tiana sambil meronta dan berusaha melepaskan tangan Renata yang sedang memeluk tubuhnya dari belakang.
Cindy yang terjatuh, segera berdiri dan berlari ke arah Tiana dan Renata. Telapak tangannya melayang dengan cepat dan kencang ke arah pipi kiri Tiana.
PLAKK ...
Tiana dan Renata pun terjatuh.
"Kenapa kamu nampar wajah Tiana, Cindy?" tanya Renata setengah berteriak.
"Buat nyadarin dia kalau tindakannya itu bodoh. Bunuh diri itu bukan solusi tapi justru menambah masalah baru. Apa dia lupa dengan hal yang sama yang dia lakukan tiga minggu yang lalu di pinggir sungai itu? Apa dia lupa dengan kecemasan Bu Rahma dan Kak Darren?," Cindy setengah berteriak demi menyadarkan Tiana.
Tiana yang terjatuh kini hanya menangis saja. Kenyataan kalau kini dalam rahimnya sedang tumbuh janin dari laki-laki yang tak dikenalnya membuatnya gelap mata dan putus asa. Hingga hanya kematian yang ada dalam benaknya.
Renata segera menarik Tiana hingga terduduk lalu memeluknya. Cindy pun ikut memeluk kedua sahabatnya. Ketiganya kini tengah menangis.
"Masa depanmu masih panjang, Tiana. Kami akan selalu menemani dan mendampingimu. Maafkan aku yang tadi sudah menamparmu," ujar Cindy yang hanya dijawab dengan anggukan oleh Tiana.
"Kamu harus tenang, Tiana. Kamu tidak sendirian. Ada banyak gadis yang nasibnya jauh lebih buruk dari kamu, tapi mereka tetap tegar menerima takdir mereka dan tetap menjalaninya," Renata tak kalah ikut menguatkan Tiana.
Tiana hanya bisa menangis sambil memgangguk pelan. Setelah hampir tiga puluh mereka bertiga kenangis, ketiganya kini mulai tampak tenang.
"Sebaiknya sekarang kita turun ke bawah dan langsung pulang ke rumah," Renata melirik ke arah Cindy yang langsung mendapat anggukan dari Cindy.
Renata dan Cindy segera menggiring Tiana untuk turun dari lantai teratas gedung fakultas hukum tersebut. Mereka akan langsung mengantarkan Tiana sampai ke rumahnya karena takut Tiana berbuat nekad lagi.
***
Di halaman Arsen terlihat bergegas berjalan menuju gedung fakultas bisnis di mana dulu dia juga pernah mengenyam bangku kuliah selama satu semester di fakultas tersebut.
Arsen ingat, ada sebuah koridor yang membelah dua gedung fakultas yaitu fakultas bisnis dan fakultas ekonomi di mana ujung koridor itu nantinya akan berujung di lapangan yang berbatasan dengan gedung fakultas hukum.
Arsen mempertajam indra penglihatannya. Saat dia menoleh ke sebuah tangga dari kejauhan, tiba-tiba mata Arsen menangkap siluet seorang gadis yang baru turun dari lantai atas dengan penampakan yang amat sangat kusut lalu berjalan ke arah koridor lain menuju pintu keluar.
'Ya Tuhan ... Itu kan gadis yang waktu malam itu sudah aku--'