Ddrrrttt … Ddrrrttt …
Seorang gadis berusia delapan belas tahunan yang baru selesai memoleskan make-up tipis di wajahnya seketika menoleh ke arah nakas dimana ponselnya yang berdering berada.
Dia berjalan cepat menuju arah nakas. Matanya berbinar melihat nama kontak yang muncul di layar ponselnya.
"Assalamualaikum, Tante Rahma,"
"Cin, ini aku Tiana!"
"Alhamdulillah. Gimana kabar kamu, Ti? Beberapa kali aku sama Renata datang ke rumah kamu tapi kamu masih mengurung diri aja di kamarmu," ujar Cindy dengan wajah lega saat mendengar suara teman baiknya sejak SMA itu.
"Kondisiku sudah lebih baik, Cin. Terima kasih ya kalian masih care sama aku," suara Tiana terdengar sendu.
"Kita sudah sama-sama terus selama di SMA. Dan sekarang kita kuliah di universitas yang sama meskipun beda fakultas,"
"Aku bersyukur punya bestie sebaik kamu dan Renata. Aku nelpon kamu cuma mau ngabarin kalau aku masuk kuliah lagi. Aku bisa minta tolong gak?"
"Syukurlah kalau kamu mau kuliah lagi. Memang mau minta tolong apa, Ti? Kalau aku bisa nolong, pasti aku tolong,"
"Tolong pinjamkan aku buku di perpustakaan kampus yang judulnya Pengantar Ilmu Hukum karya Prof. Subekti sama buku Crime and Punishment karya Leo Tolstoy," suara Tiana terdengar merajuk.
"Itu sih cetek, Tiana. Pasti aku pinjamkan ke perpustakaan. Pulang kuliah aku akan ajak Renata ke rumah kamu sambil nganterin buku sekaligus lihat kondisi kamu,"
"Thanks ya, Cin. Nanti kalau kamu mau ke rumahku dan sudah ada di depan rumah, langsung telpon aja ke nomor ini ya. Buat sementara aku pake ponsel ibu,"
"Sama-sama, Bestie. Oke, nanti pasti telepon dulu kalau sudah sampai depan rumahmu,"
"Satu hal lagi. Kalau kamu ketemu sama Kak Darren terus dia tanyain aku, tolong jangan pernah katakan apapun. Cukup kalian bilang gak tahu apa-apa," Cindy hanya diam mendengar permintaan temannya itu.
Cindy tahu, Tiana pasti sedang menghindari Darren mengingat dirinya yang merasa sudah kotor. Padahal Darren itu sangat mencintai Tiana. Cindy yakin Darren bisa menerima kondisi Tiana seburuk apapun.
"Aku gak bisa janji, tapi akan aku usahakan ya, Tiana,"
"Makasih banyak ya, Cindy. Assalamualaikum," Tiana berpamitan.
"Wa alaykumussalam,"
Sambungan telepon pun terputus dari Tiana. Tiana menghubungi Cindy menggunakan nomor ibunya sebab ponselnya tertinggal di kamar hotel yang dibooking Arsen.
***
Siang harinya di halaman kampus, tampak Darren sedang berjalan gontai menyusuri halaman kampus. Dua minggu berlalu sejak hari di mana Tiana tiba-tiba menghilang dan ditemukan dalam kondisi depresi dan berniat bunuh diri dengan cara terjun ke sungai yang cukup dalam.
Baru saja Darren menoleh, matanya menangkap dua sosok gadis yang telah lama menjadi sahabat kekasihnya, yaitu Cindy dan Renata.
"Cindy! Renata!"
Dua orang yang dipanggil oleh Darren menoleh ke arah asal suara. Mereka sedikit mematung saat melihat Darren berlari ke arah mereka.
Darren tampak berhenti sambil menghela nafasnya yang agak ngos-ngosan. Setelah nafasnya terasa teratur, seperti dugaan Cindy dan Renata, dia pun pada akhirnya menanyakan perihal Tiana pada mereka.
"Kami beneran gak tahu, Kak," Cindy yang menjawab pertanyaan Darren.
"Aku gak percaya, Cin. Kalian bertiga itu sobat karib banget. Kalian pasti tahu soal Tiana. Dia sama sekali gak mau aku temui,"
"Kami senasib sama kakak. Tiana juga gak mau ketemu kami," Cindy tidak sepenuhnya berbohong karena memang Tiana baru tadi pagi menghubungi Cindy. Dan sejak kejadian naas itu, mereka berdua memang belum bertemu dengan Tiana lagi.
"Please … Tolong aku supaya bisa ketemu dengan Tiana. Aku kangen banget sama dia. Aku benar-benar cinta banget sama dia. Kalau alasan dia karena dia merasa sudah tidak suci lagi. Jawabanku, aku sama sekali gak peduli. Seburuk apapun kondisinya aku pasti nerima dia," mata Darren tampak berkaca-kaca.
Cindy dan Renata tampak saling menoleh dan menatap satu sama lain. Mereka berna-benar terharu dengan ketulusan dan kesungguhan cinta Darren untuk Tiana. Jarang sekali ada laki-laki yang tulus seperti Darren.
"Kami gak bisa ngomong apa-apa lagi, Kak. Kami hanya bisa berharap suatu hari kalian bisa benar-benar bersama. Kami permisi ya, Kak!"
Cindy buru-buru menarik tangan Renata yang sedari tadi hanya terdiam dan tak sanggup berkata apapun. Padahal biasanya Renata itu selalu yang bersikap paling heboh. Tapi menghadapi keputus asaan Darren, hatinya ikut merasakan kesakitan Darren.
"Kita langsung ke perpustakaan aja yuk!" ajak Cindy setelah cukup jauh dari tempat mereka bertemu dengan Darren.
"Pinjemin buku yang diminta Tiana itu ya?"
"Iya, Re,"
Keduanya segera melangkah menuju perpustakaan untuk meminjamkan buku yang diperlukan sahabat mereka.
Sementara Darren yang sebenarnya masih berada di sekitar tempatnya bertemu Cindy dan Renata tadi, masih tetap memperhatikan kedua sahabat kekasihnya itu.
Sebenarya sejak berpisah dengan Cindy dan Renata.Darren sama sekali tidak percaya kalau Kedua sahabat kekasihnya itu sama sekali tidak bisa menemui Tiana atau mungkin hanya sekedar saling bertukar kabar via sambungan telepon.
"Aku harus ngikutin mereka. Aku yakin mereka telah berbohong padaku," gumam Darren lalu melangkah ke arah perpustakaan.
***
Di sebuah rumah minimalis, tampak Tiana sedang mencatat tugas yang dibagikan di grup chatting kampus. Sejak menghilangnya Tiana, Rahma mengabari pihak kampus dan beberapa teman-teman Tiana kalau Tiana sedang sakit dan harus dirawat di luar kota.
Kebetulan nomor salah satu teman satu fakultas hukum dengannya ada di dalam ponsel milik Rahma sehingga memudahkan Tiana untuk meminta salinan materi yang telah tertinggal selama dua minggu.
Ddrrrttt … Ddrrrttt …
Tiana menoleh ke arah ponsel milik ibunya yang tergeletak di samping buku yang tengah dia tulisi. Nama Renata muncul di sana.
"Hallo, Re!"
"Hallo, Tiana! Kangen banet, iih …," ujar Renata manja.
"Aku juga sama dong. Kalian jadi 'kan ke rumahku sambil nganterin buku yang aku minta?"
"Jadi dong, Ti. Makanya aku nelpon juga, kami sudah memasuki jalanan komplek perumahan kamu, Tiana. Dua menit lagi kayaknya nyampe deh,"
"Oke. Aku buka pintu gerbangnya sekarang ya,"
"Oke, Bestie, Jangan lupa siapkan cemilan untuk kami loh,"
"Kalia ini bisa aja. Untuk urusan yang itu tenang aja. Tiana 'kan orangnya paling pengertian sama kedua teman kesayangannya," Tiana tersipu dengan kenarsisannya sendiri.
Tiana meletakkan ponselnya lalu bergegas mengikat rambutnya dan melangkah keluar dari dalam rumahnya menuju teras. Benar saja. Tampak mobil warna abu metalic milik Cindy baru saja tiba di depan pintu gerbang.
Dari dalam mobil, Cindy dan Renata begitu heboh saat melihat Tiana berjalan menuju pintu gerbang rumahnya. Kebetulan mobil milik Rahma tidak ada karena digunakan Rahma untuk pergi bekerja. Jadi, mobil milik Cindy bisa masuk ke area carport.
Begitu mobil milik Cindy masuk ke area carport, Tiana yang masig berdiri di dekat pintu gerbang besi, melangkah untuk menutup pintu gerbangnya lagi. Namun langkahnya terhenti sesaat matanya meirik ke sebrang jalan.
DEG …