Jalanan Kota Jakarta pada siang hari itu tampak cukup ramai dengan banyak orang berdiri di sekitar area sebuah jembatan dengan tiang besi di kanan kirinya.
"Turun, Mbak. Jangan nekad gitu!"
Seru seorang laki-laki berusia sekitar tiga puluh tahunan diantara kerumunan orang yang melihat seorang gadis belia yang sepertinya masih berusia belasan tahun sedang berdiri di atas tiang-tiang jembatan sambil menatap datar ke arah arus sungai yang tidak terlalu deras namun memiliki kedalaman sekitar enam meter.
Tidak ada ekspresi apapun di wajah gadis remaja itu. Dia bahkan seperti tidak mendengar seruan orang-orang yang memintanya untuk turun dan tidak berbuat nekad.
"Siapa yang bisa menghubungi pihak pemadam kebakaran?" seru salah seorang lagi diantara kerumunan orang-orang yang sedang berusaha membujuk.
"Laporan saja pada polisi bukannya pemadam kebakaran,"
"Apapun sama saja. Hubungi secepatnya,"
Akibat banyaknya orang-orang yang berkerumun di sekitar pinggir jalan. Jalanan tampak padat merayap. Salah satu mobil sedan yang ikut terjebak dalam kemacetan itu tampak berhenti.
"Kenapa berhenti, Darren?" tanya Rahma dengan suara yang masih parau khas orang yang baru menangis.
Setelah selesai makan siang dan melaksanakan sholat dzuhur. Rahma dan Darren memutuskan akan mencari Tiana bersama-sama saja.
"Kayaknya ada kecelakaan deh, Bu. Mungkin korbannya diangkut ke pinggir," jelas Darren.
"Ibu mau lihat ya. Perasaan ibu mendadak gak enak gini," Rahma meraba jantungnya yang tiba-tiba berdebar,
"Jangan lama ya, Bu. Kita masih harus mencari Tiana,"
"Iya, Darren,"
Rahma buru-buru keluar dari dalam mobil lalu berjalan menuju area jembatan tempat orang-orang berkerumun.
"Ada apa ini, Bu?" tanya Rahma pada seorang wanita yang usianya mungkin lebih tua beberapa tahun dari putrinya.
"Ada seorang gadis yang kayaknya mau bunuh diri, Bu," jawab wanita tersebut sambil menunjuk ke arah atas tiang di mana seorang gadis sedang berdiri mematung.
Rahma menatap ke arah atas tiang. Darahnya seketika mendesir dengan jantung yang makin bertalu tak karuan rasanya melihat gadis yang sedang berdiri di antara tiang besi jembatan.
"Tiana!"
Teriakan Rahma yang seperti menggila dan menggema hingga memekakan telinga orang-orang yang berdiri di kanan kirinya. Tanpa menghiraukan apapun, Rahma berlari dan memaksa masuk diantara kerumunan.
"Itu putri saya! Itu putri saya!" teriak Rahma sambil terus memaksa masuk diantara kerumunan orang-orang itu.
Dengan nafas yang terengah-engah, Rahma pun sampai di trotoar sisi jembatan.
"Tiana ini ibu, Nak. Apa yang kamu lakukan di atas sana? Kenapa kamu berbuat seperti ini?" teriak Rahma di antara tangis sesak yang memilukan hati siapa pun yang mendengarnya.
Namun gadis yang ternyata adalah Tiana itu masih terus terdiam sambil menatap arus air sungai.
Sementara Darren yang menunggu di dalam mobil mendadak merasa resah karena ibunda dari sang kekasih belum juga datang. Akhirnya Darren memilih menepikan mobilnya. Setelah mobil terparkir, Darren segera keluar dari dalam mobil dan berjalan ke arah kerumunan.
"Tiana, ibu mohon turun!"
Darren tercengang mendengar teriakan suara yang sangat dikenalnya. Seketika Darren berlari masuk menyela diantara kerumunan orang-orang itu.
Tiana yang sejak awal terdiam kini menoleh ke bawah di mana Rahma berdiri sambil berteriak-teriak memanggil namanya.
"Ibu!" gumam Tiana pelan dan sepertinya hanya dirinya saja yang bisa mendengar.
"Ini ibu, Sayang. Banyak istighfar, Nak. Jangan gelap mata seperti ini. Kalau ada masalah itu jangan dipendam sendiri. Berbagilah dengan ibu. Di dunia ini ibu hanya punya kamu saja. Tolong jangan seperti ini,"
"Ibu!" suaranya masih tetap pelan seperti awal.
Sebelah kakinya bergerak seperti hendak turun.
"Akhirnya dia mau turun!" seru seseorang di tengah kerumunan orang itu.
Besi-besi jembatan yang didesain seperti huruf X itulah yang memudahkan Tiana bisa naik sebelumnya. Entah sadar atau tidak, saat ini Tiana tiba-tiba gemetar dan ketakutan. Kedua tangannya yang sedang memegang besi mendadak tremor.
"Ibu, aku takut!"
"Tiana, pegangan yang kuat. Sebentar lagi polisi datang, Nak,"
Darren yang sebelumnya memaksa masuk diantara kerumunan orang-orang, kini sudah ada di samping Rahma dan menatap khawatir ke arah atsa di mana kini Tiana sdang begitu ketakuran.
Tiana! Ini aku kekasihk\mu. Sebenanyakamu kenapa, Sayang?" teriak Darren.
Tubuh Tiana yang koni semakin gemetar sebab baru muncul kesadaran mendadak hilang keseimbangan. Kakinya yang hendak menginjak bagian besi di bawahnya yang menyilang, riba-tiba …
"Aaaarght …."
"Tiana!"
"Tiana!"
"Mbak!"
Orag-orang tersbut segera menepi ke arah pinggir jembatan besi. Tampak Tiana yang terjun bebas ke arah arus air sungai.
Darren tampak melepas jaket dan sepatunya secara sembarang. Dia harus menyelamatkan kekssihnya yang entah kenapa tiba-tiba tanpa sebab yang pasti mendadak nekat seperti itu.
Sementara di dalam arus air, Tiana yang sebenarnya pandai berenang itu mendadak gelagapan dan kesultan naik ke permjkaan air.
'Yaa Allaah … Apa ini akhir hidupku? Kenapa jadi begini?"
Tiana sudah tak kuasa untuk meronta. Perlahan tenaganya makin lemah, kedua matanya makin tertutup dan hanya gelap yang dilihatnya. Tubuhnya terasa makin turun ke dasar sungai.
Tiba-tiba Tiana seperti melihat secerca cahaya yang letaknya cukup jauh di depannya. Dia terus berjalan menuju setitik cahaya itu. Meski lelah, dia terus berjalan menuju titik cahaya itu. Dia sangat takut akan kegelapan yang kini ada di sekitarnya.
Beberapa saat berlalu, Tiana sampai di titik cahaya yang sangat menyilaukan. Hingga tak terlihat apapun yang ada di dalamnya.
***
Di ruangan serba putih, tampak sesosok tubuh terbaring tak sadarkan diri di atas brankar dengan selang udara yang masuk ke hidungnya. Belum lagi selang infus dengan jarum besar yang menusuk pergelangan tangan kirinya. Di sampingnya seorang wanita berusia hampir empat puluh tahunan tampak tertidur dengan tangan sebagai penyangga kepalanya.
"Ugh …."
Kedua mata seseorang yang terbaring di atas brankar itu perlahan terbuka. Matanya menelisik setiap sudut ruangan tempatnya. Perlahan kepalanya menoleh ke arah kanan di mana ada seseorang sedang tertidur dengan posisi menunduk dengan kepala yang disangga oleh tangannya sendiri.
Tangan kanannya bergerak perlahan ke arah kepala yang terbalut mukena putih itu. Namun hanya jemarinya saja yang mampu meraih kepala yang tertutup mukena itu.
Wanita yang tertidur itu perlahan membuka matanya merasakan ada sesuatu yang mencolek kepalanya. Dia mengangkat kepalanya.
"Alhamdulillaah, Tiana. Akhirnya kamu bangun juga," teriak pelan Rahma lalu bergegas berlari ke arah luar ruangan untuk memanggil suster.
Hanya selang dua menit dua orang suster dan seorang dokter tampak masuk ke dalam ruangan yang ternyata sebuah ruangan ICU. Seorang suster meminta Rahma yang menunggui Tiana untuk keluar. Setelah Rahma keluar, sang dokter yang usianya sudah seusia Rahma tampak memeriksa semua bagian vital Tiana.
"Selamat datang lagi di dunia ini, Tiana. Kondisi alat vital tubuhmu berjalan baik. Hanya saja bila kamu merasa lemas, itu karena kamu sudah tiga hari tidak sadarkan diri setelah tenggelam," jelas dokter tersebut.
"Tiga hari?" suara Tiana terdengar lemah.
Tiana tampak mengingat-ingat segala kejadian yang terjadi padanya. Bayangan wajah laki-laki yang tak dikenalnya tiba-tiba muncul begitu saja. Awalnya Tiana tenang, namun perlahan napasnya terdengar cepat dengan kedua bola matanya yang memerah.
Wajahnya memperlihatkan kecemasan dan ketakutan luar biasa. Kepalanya menggeleng dengan cepat ke kiri dan ke kanan dengan napas yang semakin cepat juga.
"Lepaskan aku … Kamu jahat … Kumohon jangan sentuh aku … Ibu … Aku takut …."