"Kemana dia?" gumam Arsen pelan mempertanyakan keberadaan gadis yang tadi malam diajaknya tidur sambil dia dekap penuh kehangatan.
Arsen bangkit dan mengedarkan tatapan ke sekeliling kamar tidur tersebut.
Nihil.
Sosok gadis yang semalam telah digagahinya hingga dua kali bahkan tak nampak batang hidungnya. Bisa saja gadis itu sudah pergi dari kamar hotel ini. Arsen segera turun dari ranjang tanpa menghiraukan tubuhnya yang tak tertutup kain sehelai pun menuju ruang tamu besar di luar kamar tidur tersebut.
Begitu pintu kamar terbuka, tatapan Arsen terpaku pada sofa yang posisinya membelakangi dirinya yang sedang berdiri diambang pintu kamar. Dia bisa melihat gadis itu sedang duduk di sana sambil menatap ke arah televisi yang menyala yang menghadirkan channel acara pengajian siraman hati.
Arsen terus berjalan ke arah sofa dan melihat kalau gadis itu masih dalam keadaan tanpa sehelai benang pun. Dia duduk sambil memeluk kedua lututnya. Dia sudah tak menangis lagi. Sepertinya air matanya sudah kering sebab semalaman tumpah menangisi perbuatan Arsen padanya dan menangisi nasibnya yang buruk. Wajah cantiknya terlihat kusut dengan mata sembab yang hampir menutupi matanya.
"Gue pikir lo kemana?" entah sadar atau tidak, ada rasa khawatir dalam diri Arsen pada gadis cantik nan rupawan itu. Mungkin bukan khawatir, namun sebuah rasa bersalah karena telah berbuat keji dan biadab pada gadis itu.
Arsen duduk di samping gadis yang sedang duduk mematung itu. Dia tarik lengan gadis itu dengan lembut hingga tubuh gadis itu kini kembali ada dalam dekapan hangat Arsen. Kepala gadis itu bersandar di dada bidang Arsen yang sedikit berbulu. Tak ada perlawanan sama sekali.
"Maafin gue! Perlu lo tahu, gue terpaksa ngelakuin ini sama lo. Gue lagi terdesak banget dengan suatu keadaan genting. Gue gak punya pilihan lain. Cuma ini satu-satunya jalan buat beresin masalah gue. Sekali lagi gue minta maaf," Arsen menghujani puncak kepala gadis itu seolah sedang mencurahkan segala cinta dan kasih dalam hatinya untuk gadis yang bahkan tidak dia ketahui namanya itu. Gadis itu tak bersuara, dia hanya meneteskan air matanya.
Sampai detik ini tetap saja tak ada pergerakan apalagi reaksi dari gadis tersebut. Gadis itu sudah layaknya patung hidup sebab bisa bernapas.
Gadis itu pun merasa heran dengan dirinya sendiri yang tidak berontak ketika berada dalam dekapan hangat seorang laki-laki bajingan seperti Arsen yang sudah jelas-jelas telah menghancurkan masa depannya.
Perlahan Arsen mengembalikan posisi gadis itu ke posisi semula. Arsen beranjak masuk ke dalam kamar lalu menyalakan lampunya. Dia meraih handycam yang sengaja di simpan di meja kecil yang mengarah ke arah ranjang.
Arsen sejenak melihat beberapa adegan dalam handycam itu. Dia memejamkan mata saat melihat betapa brutalnya perbuatannya pada gadis tak berdosa itu. Dia melirik ke arah ranjang. Dia melihat bercak darah di sprei putih itu. Darah dari mahkota gadis itu yang direnggut paksa oleh Arsen.
Arsen kembali meletakan handycam-nya lalu berjalan menuju kamar mandi untuk membersihkan tubuhnya yang lengket setelah bergumul hingga dua ronde.
Selesai mandi, Arsen terpaksa memakai lagi pakaiannya yang kemarin karena memang tak terpikirkan untuk menyiapkan baju ganti. Bahkan Arsen pun sangat mendadak teringat akan taruhan Bastian. Seandainya credit card-nya tidak dibekukan papihnya, mungkin Arsen tak harus melakukan perbuatan bejad ini.
Arsen lagi melirik ke arah jam dinding yang menunjukan angka 05:40. Biasanya jam seperti ini Arsen masih tertidur pulas.
Arsen kembali menghampiri gadis yang masih dalam posisinya seperti sebelumnya. Menatap ke arah layar televisi sambil memeluk lututnya tanpa sehelai benangpun melekat di tubuhnya. Matanya tetap menatap kosong ke arah televisi yang kini telah menyajikan siaran animasi anak-anak.
Arsen meletakan tas ransel, ponsel dan beberapa buku ukuran besar juga pakaian gadis itu yang sebelumnya berceceran tak jelas tempatnya di atas meja yang berada di depan sofa yang dia dan gadis itu duduki.
Arsen kembali duduk di samping gadis itu. Kali ini Arsen menarik gadis itu hingga posisinya menghadap ke arah Arsen. Kedua mata gadis itu menatap Arsen, seolah sedang mengingat-ingat wajah dari laki-laki yang sudah menghancurkan hidupnya. Arsen menangkupkan kedua telapak tangannya di pipi gadis itu.
"Dengerin gue. Gue harus pergi dulu karena ini keadaan darurat banget. Kamar ini udah gue boking buat dua hari dua malam. Lo tunggu di sini, entar begitu urusan gue beres, gue balik lagi ke sini. Sumpah, gue nyaman banget sama lo meskipun gue sama sekali gak kenal sama lo," berulang kali Arsen mengecup bibir tipis gadis itu. Gadis itu tetap saja tidak berontak dengan perlakuan Arsen.
Arsen melepaskan kedua tangannya dari pipi gadis itu lalu meraih tas ransel milik gadis itu dan membukanya. Dia menarik sebuah buku lalu merobek sehelai kertas dari sana dan menuliskan sesuatu.
"Ini nomor ponsel gue. Pokoknya lo hubungi gue kalau ada apa-apa. Ntar kita cari solusinya sama-sama. Gue buru-buru banget nih," Arsen menyelipkan kertas itu di tangan gadis yang terus terdiam seperti patung itu lalu pergi sambil membawa kunci mobil dan handicam yang dia gunakan untuk mereka tindakan asusilanya.
Arsen terlihat sudah memacukan mobilnya menuju sebuah kawasan rumah elite. Tak butuh waktu lama, mobil yang dikendarai Arsen sudah tiba di depan sebuah gerbang rumah yang cukup besar namun tetap saja tak lebih besar dari gerbang Mansion Kingsley.
Arsen meraih ponselnya lalu menghubungi seseorang yang saat ini masih tertidur pulas. Hingga panggilan kelima, barulah sambungan telepon dari Arsen diterima oleh orang yang menjadi tujuan Arsen.
"Hah?" suara parau khas orang baru bangun tidur terdengar memuakan di telinga Arsen.
"Bangsat lo, Bastian. Gue teleponin dari tadi ternyata masih molor aja," sentak Arsen penuh rasa kesal.
"Lo yang bangsat. Lo sadar gak ini jam berapa. Terlalu pagi buat gue bangun, Breh,"
"Dahlah … Muak banget gue denger suara jelek lo. Sekarang mana duit gue?"
"Duit paan, Ar?"
"Anjing banget nih anak. Kemarin malam gue udah bilang buat nyiapin duit tiga puluh juta. Jangan-jangan tadi malam lo lagi mabok ya?"
Hening sesaat …
"Mana duit gue?" teriak Arsen menyadarkan lawan bicaranya.
"Hahaha … Lo seriusan ngelakuin tantangan gue, Ar?"
"Gak usah banyak bacot! Cepet turun dan bawa duit cash buat gue,"
"Apa buktinya kalau lo beneran udah ngelakuin tantangan dari gue?" suara Bastian terdengar meremehkan.
"Eeh … Lo dari tadi ngulur waktu gue terus. Lo gak punya duit ya? Rumah aja gede tapi duit gak ada,"
"Gak usah nyindir diri lo sendiri, Ar. Kemelaratan lo lebih parah dari gue. Oke … Gue turun sekarang!"
Kesal …
Hal itu yang kini dirasakan Arsen saat ini. Ucapan Bastian memang tepat, namun Arsen malas mengakuinya. Sambil menunggu Bastian turun, Arsen sedikit menarik tuas di sebelah kanannya untuk membuat sandaran jok sedikit landai. Arsen pun merebahkan tubuhnya sejenak.
"Tuh cewek cantik banget sih. Gak sia-sia rasanya gue udah nikmatin tubuhnya. Mana miliknya juga nikmat banget lagi. Mudah-mudahan entar siang dia masih ada. Gue pengen nyobain lagi miliknya yang nikmat itu. Gue yakin dia gak bakal berontak. Yang pertama itu dia cuma syok doang. Buktinya pas gue ngejamah tubuhnya lagi dia gak berontak. Hehehe …," fantasi liar Arsen kembali berputar di otaknya.
Tuk … Tuk …
Arsen membuka matanya dan menoleh ke arah jendela kaca di mana Bastian yang masih memakai kimono tidurnya sudah berdiri.
Arsen menarik tuas pembuka pintu lalu Bastian pun masuk.
"Nih … Duit cash-nya. Gak kurang gak lebih, ini pas tiga puluh juta. Berarti sepuluh juta lagi lo ngutang ama gue,"
"Gampang. Duit segitu sih cetek buat gue. Siniin duitnya," Arsen hendak meraih amplop coklat yang cukup tebal dari tangan Bastian.
"Eits … Tunggu dulu, Breh. Urusan duit sih gampang. Mana dulu videonya?" tangan Bastian menadah ke arah Arsen.
Sedikit ragu tapi akhirnya Arsen menyerahkan juga handycam miliknya yang digunakan untuk merekam aksi bejadnya.
Bastian meletakan amplop coklat di dashboard mobil. Lalu mulai menekan tombol on pada handycam dan menatap layar kecil yang ada pada handycam.
"Iih … Anjing! Lo beneran bukan orang, Ar,"