(Sorry ya my reader. Upload hari ini telat cz author ada kesibukan di dunia nyata. Selamat membaca)
"Iih … Anjing! Lo beneran bukan orang, Ar!" ujar Bastian sambil melempar handycam itu ke pangkuan Arsen.
"Gue juga gak nyangka bisa segila itu. Gue antara sadar dan gak sadar, Bas. Gue minum bir yang dioplos pake obat perangsang dosis tinggi. Gue beneran gak bisa ngontrol diri gue, tapi masih punya sisi kesadaran waktu menggagahi tuh cewek. Gue masih bisa menikmati permainan gue meskipun kasar," Arsen hanya bisa mendesah dan mendesah.
"Gue gak ikut-ikutan, Breh. Jangan bawa-bawa gue kalau seandainya urusannya sampai ke kepolisian,"
Arsen tertegun. Dia melupakan hal itu. Bisa saja gadis itu melaporkan tindak kejahatan pelecehannya pada kepolisian. Apalagi Arsen meninggalkan jejak nomor ponsel yang sengaja dia tulis pada selembar kertas lalu diselipkan di telapak tangan gadis itu
"Lo ambil aja tuh duit yang sepuluh juta. Anggap aja itu kompensasi dari gue ya. Pokoknya jangan bawa-bawa gue. Inget tuh! Saran dari gue, lo cepet aja kabur ke luar negri biar aman. Udah ya gue lanjut tidur. Bye …," Bastian buru-buru keluar dari mobil Arsen dan segera masuk ke dalam rumahnya dengan wajah sedikit memucat.
Arsen masih terpaku dengan kondisi itu. Uang tiga puluh juta kini sudah ada di genggamannya. Arsen merasa baru sadar kalau demi uang tiga puluh juta untuk biaya operasi sahabat baiknya itu, dia harus menghadapi konsekuensi hukum.
"Persetan dengan hukum. Gak ada yang peduli ini sama gue. Minimal gue masih bisa berbuat baik dulu dengan uang tiga puluh juta ini sebelum gue masuk penjara," gumam Arsen meyakinkan hatinya.
Arsen pun memacu kembali mobilnya meninggalkan kawasan perumahan di mana salah satunya adalah rumah milik keluarga Bastian menuju rumah sakit tempat Ivan mendapatkan perawatan intensif.
Jalanan pagi hari yang mulai ramai membuat Arsen sedikit terlambat sampai rumah sakit. Arsen melihat jam di layar ponselnya yang menunjukan angka 09:15.
Setelah memarkirkan mobilnya, Arsen segera berjalan memasuki area dalam rumah sakit menyusuri koridor yang akan menghubungkannya dengan ruang ICCU di mana Ivan masih dirawat intensif. Arsen berlari cepat sebab ingin segera menyerahkan uang sebesar tiga puluh juta itu agar sahabatnya segera di operasi dan sehat lagi seperti semula.
Akhirnya Arsen sampai tepat di depan ruang ICCU. Keningnya mengernyit tatkala melihat ranjang yang sebelumnya di tempati Ivan kini nampak kosong.
'Apa jangan-jangan si Ivan udah masuk ruang operasi? Tapi itu bininya kemana ya?' batin Arsen sambil menoleh ke sana kemari.
Dua orang suster tampak lewat di belakang Arsen. Arsen segera menghadang kedua orang suster tersebut.
"Pasien yang ada di ruangan ini kemana? Apa dia sudah masuk ruang operasi? Saya sudah membawa uang tiga puluh juta buat biaya operasinya dan saya minta lakukan semua yang terbaik kalau perlu turunkan dokter terbaik juga," cecar Arsen sambil menunjuk ke arah ruang ICCU yang kini nampak kosong.
Kedua suster itu lalu saling menatap sejenak lalu dengan bahasa tubuh yang ragu mereka pun mengatakan …
"Kami mohon maaf. Kami sudah melakukan yang terbaik saat pasien anfal. Tapi sepertinya Tuhan jauh lebih sayang pada pasien. Pasien meninggal tepat pukul 01:18 dini hari. Jenazahnya sudah dibawa istrinya ke rumahnya satu jam yang lalu. Kami semua turut berduka. Kami permisi,"
Kedua suster itu segera melangkah meninggalkan Arsen yang mematung. Arsen mundur dengan tubuh yang sedikit limbung hingga uang tiga puluh juta yang ada dalam genggamannya terjatuh.
"Ivan!" gumam Arsen terdengar seperti desahan. "Semua salah gue, Van,"
Air mata Arsen tak terbendung lagi. Wajahnya basah karena kesedihan dan kekecewaan. Dia terlambat menyelamatkan sahabat baiknya sejak SMA.
Kini Arsen terduduk di lantai. Kedua kakinya seperti sudah tak mampu lagi menopang tubuh berotot dan atletisnya. Dia seperti anak kecil yang tidak diberi uang saku oleh orang tuanya. Dia menangis penuh rasa sakit. Sama sekali tak menghiraukan tatapan iba dari orang-orang yang lalu-lalang di depannya.
Inilah sisi lemah seorang Arsen Kingsley. Dibalik wajah dingin dengan tatapan matanya yang tajam dan sifatnya yang arogan, Arsen sebenarnya sosok yang mudah terpuruk bila sedih dan kecewa. Tak punya tempat berbagi, Arsen melampiaskan rasa terpuruknya dengan mabok, jadi pecandu juga suka bergonta-ganti wanita.
Sejak saat itu, apapun yang dilakukan Arsen selalu salah di mata orang tua dan kakak perempuannya. Hanya adiknya yang selalu dibangga-banggakan kedua orangtuanya. Meskipun adiknya kerap bersikap baik pada Arsen bahkan selalu membela, namun rasa iri yang terlanjur menguasai hati Arsen tak membuatnya berempati pada adiknya. Malah Arsen menganggap adiknya hanya cari muka.
Perlahan Arsen bangkit dan berjalan pelan seperti tak punya tenaga sama sekali. Dia menyusuri koridor rumah sakit menuju pintu keluar.
***
Di sebuah rumah kontrakan sederhana, begitu banyak orang-orang datang bertakziah. Mereka tetangga kanan dan kiri dari jenazah yang kini sudah selesai dimandikan dan dikafani. Seorang wanita muda bersama seorang anak perempuan yang ada dalam pangkuannya tampak menangisi jenazah yang tak lain adalah Ivan, suaminya.
"Innalilahi wa inna ilaihi roji'un,"
"Kami turut berbelasungkawa,"
"Yang tabah ya!"
"Semoga amal ibadah dan iman islam almarhum diterima Allaah dan ditempatkan di tempat yang paling mulia di sisi Allaah,"
Begitu banyak pelayat yang berdatangan mengingat sosok almarhum dulunya sangat ramah dan suka membantu. Meskipun hanya membantu dengan tenaga dan pikiran saja. Hingga kini setelah meninggal pun banyak orang yang berempati padanya.
"Sudah saatnya jenazah disholatkan. Ayo silahkan siapa saja yang mau ikut menyolatkan?" beberapa pelayat laki-laki tampak berdiri. Mereka ingin memberikan penghormatan terakhir pada jenazah.
"ALLAAH …."
"Tunggu!"
Pak ustadz dan pelayat yang hendak menyolatkan pun urung melanjutkan sholat jenazah dan menoleh pada seseorang yang menghentikan kegiatan mereka.
"Saya mau ikut menyolatkan. Tapi saya belum wudhu,"
"Baiklah, akan kami tunggu. Silahkan berwudhu dulu,"
Laki-laki itu adalah Arsen. Dia bergegas berlari menuju kamar mandi yang ada di bagian luar kontrakan. Saat sedang wudhu itulah Arsen merasa dirinya kecil. Bahkan dia lupa kapan terakhir dia berwudhu dan sholat. Saat sholat ied pun dia tidak ikut menjalankan.
Cukup khusyuk Arsen menjalankan sholat jenazah. Dia terus menangis seperti anak kecil. Setiap kali ada masalah, biasanya Arsen selalu menghubungi Ivan. Arsen menangis bukan menyesali segala kelakuan dan perbuatannya selama ini, dia hanya menyesal karena merasa terlambat menyelamatkan Ivan. Ironis memang, namun itulah Arsen.
Gerimis turun ikut mengiringi pemakaman Ivan. Hingga selesai jenazah dikebumikan, Arsen masih duduk dengan kedua lutut yang menopang tubuhnya. Wajahnya menunduk penuh penyesalan.
"Udahlah … Ivan udah gak ada. Percuma kamu nyesel juga," ujar istri dari Ivan.