Arsen mengangkat wajahnya dan menatap wajah istri dari mendiang sahabatnya. Dia segera berdiri sambil mengusap nisan kayu bertuliskan Ivan Pratama. Tangan kanannya menarik sebuah amplop coklat dari saku belakang celananya.
"Ini duit tiga puluh juta seperti yang pernah gue janjikan. Gue udah berusaha nyari duit ini sampai-sampai gue terpaksa menghalalkan segala cara. Tapi si brengsek Ivan gak mau nungguin gue. Seenak aja dia pergi gak pamit dulu sama gue," meski seperti marah, namun air mata Arsen masih tetap mengalir dengan suara yang bergetar.
Istri Ivan hanya bisa diam melihat sikap sahabat dekat mendiang suaminya itu. Kini di tangannya ada amplop berisi uang sebesar tiga puluh juta rupiah. Sebelumnya dia sempat meminta pinjaman pada Pak Rt untuk biaya perawatan Ivan, biaya angkut jenazah hingga biaya prosesi pemakaman meskipun belum terlihat dari mana dia bisa membayarnya.
Akan tetapi, secara tiba-tiba dia dapat uang sebesar tiga puluh juta yang bisa dia pakai untuk membayar hutang, membayar kontrakan bahkan biaya hidup dan juga mungkin untuk modal usaha kecil-kecilan.
"Makasih banyak. Ivan dulu selalu ngomongin kamu. Kalian udah bestie-an sejak SMA. Sekarang aku bisa ngebuktiin kalau kalian memang sahabat yang bisa saling mengandalkan," kini istri Ivan ikut menangis.
"Kalau gue ada waktu senggang, gue bakal nengokin lo dan anak lo. Dulu Ivan sempat bilang ke gue kalau dia nitipin lo sama anak lo ke gue," istri Ivan mengernyit dalam tangisnya dan mulai menerka-nerka maksud ucapan Arsen.
"Gue balik dulu. Masih ada hal yang harus gue selesaikan," istri Ivan hanya mengangguk.
Arsen beranjak meninggalkan area pemakaman yang basah karena hujan gerimis yang masih terus mengguyur area pemakaman itu. Arsen pun sudah tak mempedulikan sepatu sport putihnya yang kini sudah berwarna coklat akibat tanah merah dari area pemakaman.
***
Di sebuah rumah minimalis, terlihat Rahma berjalan mondar-mandir. Terpaksa dia tidak masuk kerja karena khawatir pada anak gadis semata wayangnya yang tidak juga menghubunginya apalagi sampai pulang.
Rahma tampak meletakan kunci mobilnya di atas meja. Sudah sejak kekasih putrinya yang tak lain adalah Darren datang, dia bersama Darren segera pergi lagi dan menyebar mencari keberadaan putrinya. Beberapa teman dekat putrinya pun sudah dihubungi, namun tidak ada satupun yang mengetahui keberadaan putrinya.
"Kenapa kita gak lapor polisi aja, Darren. Ibu yakin ada hal buruk terjadi pada Tiana," ujar Rahma dengan mata sembab dan terus berair memikirkan dan membayangkan nasib putrinya.
"Ini belum dua puluh empat jam, Bu. Polisi tidak akan memproses laporan orang hilang bila belum dua puluh empat jam. Satu-satunya cara kita tetap mencari dan menanyakan informasi ke orang-orang yang kemungkinan besar terakhir bersama Tiana,"
"Tapi ini sudah jam 11:30 siang, Darren. Ibu beneran takut. Ibu gak tahu apa yang akan terjadi pada ibu seandainya …" Rahma tak melanjutkan ucapannya. Dia hanya bisa mendesah pasrah dengan keadaan ini.
"Kita tunggu sampai lewat Adzan. Kita sholat dulu dan meminta petunjuk pada Allah tentang keberadaan Tiana. Setelah itu kita menyebar lagi untuk mencari Tiana. Sekarang sebaiknya kita makan dulu. Saya sudah memesan makanan lewat jasa online,"
"Terima kasih ya, Darren. Kamu memang laki-laki yang sangat baik. Tidak salah Tiana memilihmu sebagai kekasihnya. Ibu berdoa, semoga kelak kalian akan bersatu dalam sebuah ikatan pernikahan yang suci. Ibu yakin kamu bisa menjaga Tiana dan memberinya limpahan kasih sayang yang banyak,"
"Aamiin … Aku juga berharap seperti itu, Bu,"
Tid … Tid …
Suara klakson sebuah sepeda motor terdengar dari arah luar rumah minimalis tersebut.
"Sepertinya itu makanan yang tadi saya pesan secara online, Bu. Sebaiknya kita makan dulu,"
"Baiklah. Kalau gitu biar ibu yang ambil kedepan,"
Rahma terlihat berlari ke arah luar rumahnya untuk mengambil maknan yang sudah dipesan oleh Darren. Setelah mendapatkan makanan pesanan mereka, Rahma kembali masuk lalu segera memakan makanan tersebut bersama Darren.
Di tempat lain, sebuah mobil sport terlihat memasuki halaman sebuah hotel mewah. Di bagian depan hotel tersebut terpampang tulisan KINGSLEY HOTEL.
Dari dalam mobil tampak seorang laki-laki berwajah sangat tampan keluar dari mobil tersebut tanpa alas kaki sama sekali.
"Selamat datang, Tuan Arsen," sapa seorang security sambil menerima kunci mobil dari tangan Arsen.
"Selamat siang juga," jawab Arsen sambil berlari ke arah lift tanpa peduli pada tatapan security tersebut yang merasa heran karena Arsen tak memakai alas kaki.
Arsen berharap gadis yang tadi malam telah digagahinya masih ada di kamar tersebut.
Pintu lift terbuka di lantai tujuan Arsen. Dia bergegas keluar dari lift menuju kamar yang kemarin malam telah dibookingnya. Perlahan tangannya mendorong pintu tersebut yang langsung terhubung dengan ruang tamu.
Tampak televisi yang menyala masih dengan channel yang sama dengan tadi pagi. Buku-buku, tas ransel, sepatu, celana dalam dan bra tampak masih berserakan di atas meja, namun gadis itu berikut pakaian luarnya saja sudah tidak ada di dalam kamar hotel tersebut. Arsen pun mendecak kesal.
"Dia sudah pergi,"
Mata Arsen tertuju pada secarik kertas di mana nomor ponselnya pernah dia tulis sendiri di kertas tersebut. Arsen menggeserkan tas ransel sedikit dan menemukan ponsel gadis tersebut lalu meraih dan mencoba menyalakannya. Ternyata baterainya sudah sangat lemah sekitar 5% lagi.
Ponsel tersebut dikunci, namun saat layar menyala terdapat notifikasi panggilan telepon yang sangat banyak. Namun yang menarik perhatian Arsen adalah nama kontak Darren muncul paling atas diantara beberapa panggilan lain.
"Darren? Darren siapa ini? Sayang sekali aku tidak bisa membuka kunci ponsel ini. Aah … Nama Darren 'kan banyak. Bukan cuma adikku saja,"
Arsen sepertinya tak berniat untuk men-charge ponsel tersebut. Dia malah melempar ponsel itu ke arah meja. Dia mendesah lelah. Mengingat segala hal yang terjadi begitu cepat.
Mulai dari dirinya yang memulai balapan mobil dengan Ivan sebagai jokinya lalu kecelakaan Ivan hingga membuat Arsen terpaksa harus mengambil keputusan untuk menjalani tantangan dari Bastian demi menyelamatkan sahabat baiknya sejak SMA meskipun faktanya semua nampak sia-sia.
"Gadis itu … Aah …."
Matanya melirik sebuah buku campus yang sebelumnya telah dia robek sebanyak selembar untuk menuliskan nomor ponselnya. Dia meraih buku itu. Begitu lembar tebal bagian luarnya terbuka. Di sana tertulis nama gadis tersebut, nama universitas tempatnya kuliah dan jurusan tempat dia mengenyam pendidikan.
"Tiana Gricella. Dia kuliah jurusan hukum di universitas yang sama denganku dulu dan adikku. Lalu ada nama Darren di ponselnya. Tapi Darren kuliah di jurusan manajemen bussines. Belum lagi gadis tadi juga tampak masih sangat belia. Terlalu kebetulan kalau gadis itu mengenal Darren,"
Arsen tampak berpikir beberapa saat hingga senyum penuh makna tampak tersungging dari bibirnya yang membuat wajah tampannya semakin tampan.