"Pak Arham, saatnya kita kembali. Ini sudah hampir gelap," saran Rama.
Mengingatkan kepada Arham yang masih duduk di depan pusara istrinya dengan kepala menunduk. Ia telah duduk sejak dua jam lalu di sana dan belum pernah mengatakan sepatah kata pun.
Hingga membuat Rama terpaksa mengingatkan karena hari hampir gelap.
Arham tidak menghiraukan perkataan asistennya itu. Ia masih duduk di sana seakan tidak mendengar ucapan Rama, termasuk teriakan Aaron, putra semata wayangnya.
"Daddy, let's go home," teriak seorang anak yang berdiri di depan pintu mobil dengan dua orang pengawal di sampingnya.
Arham masih bergeming. Ia masih begitu tenggelam dengan kenangan bersama Selina.
"Maafkan saya Selina. Maafkan saya karena tidak pernah bisa menjadi suami yang baik untuk kamu," lirih Arham, perlahan menitihkan air mata yang berusaha ia tahan sejak tadi.
Sampai detik ini, bayangan Selina masih tergambar jelas di kepalanya. Begitu pula dengan kenangan yang telah mereka lalui pun masih tersimpan dalam memorinya.
Tidak sehari pun, Arham melupakan bagaimana kebaikan dan cara Selina memperlakukannya selama ini. Karena baginya, kepergian Selina yang begitu menyakitkan meninggalkan luka yang tidak mampu ia sembuhkan.
Melihat majikannya yang masih terlihat sedih, Rama mengangkat tangan dan meminta dua bodyguard di samping Aaron untuk mengajak Aaron masuk ke dalam mobil. Sementara ia, akan menemani Arham di sana.
"Daddy," teriak Aaron sekali lagi. Namun, Arham tetap bergeming.
Terpaksa Rama kembali membuka suara karena hari semakin gelap dan Aaron mulai tampak resah.
"Maaf Pak Arham, Tuan kecil sejak tadi memanggil Bapak. Beliau telah menunggu sejak dua jam yang lalu. Sepertinya Tuan kecil mulai merasa bosan." Rama menginformasikan.
Arham yang terbawa oleh suasana, tidak menyadari jika ia telah duduk di sana cukup lama dan membuat putranya menunggu.
"Sekarang sudah pukul berapa?" tanya Arham akhirnya mengangkat kepalanya.
"Sekarang pukul 5 lewat 15 menit, Tuan."
Arham menghela napas lemah. Ia mengambil sebuah kunci dari dalam saku jasnya dan melemparkannya kepada Rama.
"Antar Aaron kembali ke rumah."
Rama menatap khawatir. "Tetapi Pak, sebentar lagi gelap. Anda…"
Ucapannya berhenti ketika melihat Arham mendongak menatapnya dengan ekspresi wajah Arham yang terlihat tidak senang mendengar bantahannya.
"Saya akan pulang dengan mobil kamu. Masih ada urusan yang ingin saya selesaikan," sambung Arham lagi.
"Baiklah." Rama mengangguk paham. "Bapak bisa segera menghubungi saya jika memerlukan sopir. Saya akan segera menjemput Bapak."
Arham mengangkat alisnya. "Antar saja Aaron sampai di rumah. Saya bisa sendiri."
"Baik, Pak."
Rama segera kembali ke mobil Arham tempat Aaron menunggu dengan dua bodyguard. Di sana, Aaron masih berdiri dengan wajahnya yang muram. Ia menolak masuk ke dalam mobil jika tidak bersama ayahnya.
"Daddy?" Aaron mendongak menatap Rama.
"Tuan Muda masih ada urusan. Untuk saat ini kita pulang dulu, Tuan kecil."
Aaron menarik tangan Rama. "Tidak mau." Aaron menolak. "Aku hanya akan pulang bersama Daddy."
"Tapi Tuan Muda masih harus mengurus beberapa pekerjaan setelah ini. Malam ini Tuan Muda akan menemui Anda setelah pekerjaannya selesai," jawab Rama berjongkok sambil memegang tangan mungil sang majikan.
Tanpa bersuara, Aaron melirik ayahnya dari kejauhan kemudian masuk ke dalam mobil dengan wajah yang tampak sedih.
"Apa Mommy akan kembali setelah Aaron dan Daddy selalu ke tempat itu?" tanya Aaron, polos.
Rama yang menyadari keresahan tuan kecilnya menoleh dan memberinya sebuah sapu tangan.
"Tuan kecil pasti akan segera bertemu dengan Mommy. Paman yakin Tuan Muda akan segera menemukan Mommy untuk Tuan kecil."
Rama mencoba mengarang cerita untuk menenangkan Aaron.
"Hm," balas Aaron mengangguk. Seperti tahun lalu, tahun ini pun Rama masih bisa membuat Aaron percaya dengan bualannya.
Meski sebenarnya Rama tahu, bahwa tahun depan dan tahun-tahun selanjutnya tidak akan semudah ini. Aaron tidak selamanya akan menjadi anak kecil yang tidak mengerti apa-apa.
Suatu saat ia akan paham jika ibunya telah meninggalkannya selamanya dan Arham pun harus mengikhlaskan kepergian istrinya itu.
"Sepertinya Tuan Muda lupa membawanya. Sebaiknya Tuan kecil saja yang memberikannya setelah Tuan kembali," kata Rama memberikan sebuah sapu tangan yang ia temukan di dalam mobil Arham.
"Terima kasih, Paman." Aaron meraih sebuah sapu tangan berwarna merah muda bertuliskan nama ibunya, Selina.
Di tempat sebelumnya, Arham masih belum beranjak. Ia masih duduk dengan sebuah foto berukuran kecil di tangannya.
Dalam foto itu terlihat seorang wanita dengan rambut terurai sedang menatap ke kamera. Sementara di samping wanita itu Arham ikut tersenyum dengan tangan yang menggenggam erat tangan wanita di sebelahnya.
Masih teringat jelas di kepala Arham. Lima tahun yang lalu ketika Selina berjuang di atas meja operasi memperjuangkan buah cinta mereka.
Selina yang kehilangan banyak darah pada akhirnya tidak mampu bertahan. Sementara bayi yang begitu ia cintai selamat walau dilahirkan secara prematur.
Arham terluka ketika mengetahui bahwa wanita yang sangat ia cintai tersebut telah meninggalkannya. Meninggalkan dirinya bersama seorang bayi kecil yang hanya bisa ia lihat terbaring lemah di dalam sebuah inkubator.
"Kenapa Selina? Kenapa kamu meninggalkan kami begitu cepat? Kamu bahkan belum melihat putra kita," isak Arham dengan wajah berantakan di depan kaca sebuah ruangan.
Wajahnya masih lesu setelah mengantar sang istri untuk terakhir kalinya.
Di depan inkubator putranya, ia menangis sejadi-jadinya hingga membuat ibunya yang berada di sana ikut merasakan kepedihan yang dirasakan putranya.
"Arham, tenanglah, Nak." Ibu Sarah berjongkok di samping putranya yang terduduk di lantai. "Kamu harus bertahan demi anak kalian. Kuatkan diri kamu, Arham."
Arham menoleh memandang ibunya lalu memegang erat lengannya. "Seharusnya saya berada di sisinya hingga akhir, Bu," sesal Arham memeluk ibunya semakin erat.
Arham memejamkan matanya setelah mengingat kejadian hari itu. Memori tentang kejadian tepat lima tahun yang lalu itu selalu terlintas jelas di kepalanya.
Dalam hatinya, Arham masih sangat berharap untuk bertemu dengan sang istri. Ia ingin sekali menatap wajah yang selalu membuatnya berdebar itu. Wajah Selina yang selalu tampak sendu dengan mata hazel yang memikat.
Arham sangat merindukannya.
Tiba-tiba ponsel Arham berdering. Ia menyeka air mata dengan kasar lalu mengambil ponsel dari dalam jasnya dan segera menjawab telepon.
"Kamu dimana?" tanya seorang wanita dari balik telepon tepat ketika ia meletakkan ponselnya di telinga.
"Saya masih ada di taman. Ada apa?"
Seseorang di balik telepon itu terdengar mengubah nada suaranya. "Oh, maaf. Aku lupa kalau hari ini kamu dan Aaron sedang quality time. Aku akan menghubungi kamu nanti saja."
"Tidak masalah. Aaron sudah pulang dan hanya ada saya di sini. Kamu boleh mengatakan keperluan kamu."
"Aku ingin membicarakan masalah pernikahan kita. Hari ini kamu melewatkan pertemuan keluarga yang sangat penting."
Arham berdecak kesal. Bahkan di hari penting seperti ini pun, tidak ada yang paham dengan perasaannya. Berkali-kali Arham menolak dengan perjodohan yang telah diusulkan oleh ibunya.
Tetapi hari ini sepertinya sang ibu mulai berbuat sesuka hati lagi.
"Baiklah, saya segera ke sana," kata Arham.
Ia kemudian menutup telepon dan segera menuju mobilnya. Dengan kecepatan tinggi ia melaju menerjang hiruk pikuk kota yang mulai semakin ramai.
Tidak butuh waktu lama bagi Arham untuk sampai ke tempat yang hendak ia datangi. Sekarang ia telah berada di depan sebuah restoran tempat ia akan bertemu dengan seseorang yang ia ajak bicara di telepon.
"Arham."
Seseorang memanggil namanya dari arah belakang.
"Ada apa?" tanya Arham. Bercanda dan basa-basi bukan keahliannya.
"Kita masuk dulu, bagaimana?" tanya wanita tersebut.
Ia adalah Anggita, sahabat masa kecil yang sejak dulu ingin dijodohkan oleh ibunya dengannya. Dari yang kita lihat, kita bisa menebak dan melihat dengan jelas bahwa Anggita begitu menyukai Arham hingga membuat semua orang menyadarinya, kecuali Arham.
"Nanti saja," tolak Arham, sopan. "Malam ini saya akan makan malam dengan Aaron jadi saya harus segera kembali. Lagipula hari semakin gelap."
Dengan senyum terpaksa Anggita menjawab. "Baiklah, seperti perjanjian kita sebelumnya kalau kamu memang menentang perjodohan ini, kamu harus datang ke makan malam keluarga minggu depan." Anggita menginformasikan.
"Baiklah," balas Arham lalu dengan cepat kembali masuk ke dalam mobilnya. "Kamu ke sini dengan siapa?"
"Ha?" Anggita tersenyum sumringah. Mengira Arham akan memberinya tumpangan " Aku naik taksi," balasnya.
Ia terlihat bersiap untuk melangkah hendak ke arah pintu sebelah kiri Arham, tetapi tertahan dengan ucapan Arham selanjutnya.
"Baiklah, saya akan menyuruh Rama mengantar kamu pulang."
"Apa?" Anggita menghentikan langkahnya mendengar perkataan Arham. "Maksudnya?" Anggita mengangkat sebelah bahunya.
"Saya tidak mungkin membiarkan kamu pulang ke rumah sendiri seperti ini setelah jauh-jauh datang kemari, kan? Rama akan mengantar kamu pulang."
Anggita tersenyum sinis. "Baiklah, terima kasih," balas Anggita setelah Arham menutup kaca mobilnya tanpa menunggu Anggita berbicara lebih panjang lagi.
Tanpa mengatakan apapun lagi, Arham berlalu meninggalkan Anggita.
"What?" Anggita menghela napas kesal. "Seharusnya dia yang mengantarku. Kenapa harus selalu melibatkan pesuruh itu" gerutu Anggita mengepalkan tangannya semakin kesal.
Baru saja Arham mengemudikan mobilnya, ia kembali menerima panggilan telepon. Kali ini, Rama yang menghubunginya dengan suara panik.
"Maaf Pak, Tuan kecil sekarang berada di rumah sakit."
"Apa?" teriak Arham seketika menginjak rem. Atas perbuatannya itu, ia hampir membuat mobil yang berada di belakangnya menubruk pantat mobilnya.
"Saya segera ke sana," balasnya.
Arham dengan cepat kembali mengemudikan mobilnya dan memutar kemudi meluncur menuju rumah sakit.
"Aaron Ryan. Dimana dia sekarang?" tanya Arham kepada seorang perawat yang berdiri di depan meja resepsionis.
Napasnya tersengal setelah berlari dari parkiran mobil menuju IGD. Ia sangat terburu-buru hingga ia memarkirkan mobilnya sembarangan di depan rumah sakit.
"Masih di sana, Pak." Seorang perawat menunjuk ke arah sebelah kanannya tempat Aaron ditangani oleh dokter.
"Terima kasih," balas Arham. Ia lalu berlari menuju tempat yang ditunjuk oleh perawat tersebut.
"Mommy… lutut Aaron sakit Mommy." Aaron menangis sambil memegang tangan seorang wanita di depannya.
"Hey, tenanglah. Kamu akan baik-baik saja. Lukamu akan segera sembuh setelah dokter memberinya obat, hm?" kata wanita tersebut berusaha menenangkan Aaron yang menangis karena takut dengan dokter.
Wanita itu masih berusaha menenangkan Aaron sampai ia hendak menyentuh pipi Aaron tetapi sebuah tangan tiba-tiba menarik tangannya.
"Siapa kamu?" tanya Arham dengan wajah merah padam dan mata yang mulai berair.
***