Chereads / RABU DAN SELASA / Chapter 12 - LUKISAN

Chapter 12 - LUKISAN

6/3/22

Happy Reading

***

"Haha, aku malu menyapamu." Selasa tertawa canggung, menatap lukisan itu dengan wajah memerah malu.

Lukisan itu seolah paham akan keadaannya yang lumpuh ini.

"Aku tidak pernah melupakanmu sebelumnya tapi, em … ternyata aku bisa melupakanmu juga." Selasa menggaruk pipinya yang tidak gatal, salah tingkah.

"Saat aku ingat, lihatlah … aku lumpuh, hahaha. Pasti kau sudah melihat keadaanku, kan? Kau pasti menertawakanku. Puas-puaskan saja," lanjutnya tertawa pilu.

Selasa mendengus lalu menggeleng tidak suka saat melihat lukisan itu yang mengasihaninya dan menganggapnya sebagai wanita lemah.

"Hahah, jangan mengasihaniku seperti itu! Aku tidak suka!" teriaknya tanpa sadar.

"Apa? Heuh?" Selasa melebarkan daun telinganya, tidak terima.

"Apa?! Aku tidak dengar!" teriaknya. "Apa yang kau katakan barusan? Coba ulangi lagi? hahaha," tawanya, yang justru mengejek lukisan itu.

"Kau menyuruhku untuk menangis?" Selasa menggeleng, ia menutup mulutnya yang tidak mau berhenti tertawa. "Aku tidak akan menangis! Tidak akan pernah!" Selasa berseru, mencoba tersenyum semanis mungkin menatap lukisan itu. "Lihat!! Tidak ada air mata yang keluar, kan?!" Selasa mencoba menegakkan tubuhnya. Sulit. Akhirnya, ia bersandar lagi.

"Aku bukan wanita lemah seperti yang kau pikirkan, hahaha."

Tapi …

"Ya, aku memang mau bunuh diri. Kenapa, hah? Kenapa? Tidak boleh, iya?!" Selasa mengedipkan mata, semakin tajam menatap lukisan yang seolah mengejeknya itu. "Aku bunuh diri bukan karena aku egois. Ini demi kebebasan Senin dan Minggu. Kau tahu mereka, kan?"

Selasa menghembuskan napasnya, "Terserah!" serunya mendengus sebal.

Lukisan itu tidak mempercayai ucapannya barusan, dan tetap mengatakannya manusia egois dan wanita lemah.

"Cih, aku yakin kau juga mati bunuh diri," katanya. "Kalau kau tidak mati bunuh diri, mana mungkin kau bisa ada di dalam lukisan itu?! Iya, kan?! Ngaku tidak?!"

Selasa mendecih tidak percaya. Ia yakin 100% jika apa yang di dalam lukisan itu mati karena bunuh diri. Makanya selama ini lukisan itu ia jadikan motivasi dan semangatnya. Supaya ia bisa menunjukan pada lukisan itu jika ia mampu mewujudkan mimpinya dan tidak selemah lukisan itu.

Hem, lukisan itu tidak bereaksi apapun.

"Ck, sudahlah. Aku tidak mau berdebat denganmu lagi," ucap Selasa merasa bersalah karena mengatakan hal seperti tadi.

"Yang jelas alasanku kuat untuk bunuh diri. Kalau aku tetap hidup mereka berdua akan semakin tersiksa. Kau tahu tidak, bagaimana keadaan diluar sana?"

Lukisan itu tetap diam.

Selasa tertawa. "Tidak tahu, kan?! Sangat mengerikan dan menjijikan. Kau tak akan mampu menjalaninya dan iya … demi kepentingan bersama dan hidup yang lebih indah sebaiknya aku mengalah. Bunuh diri adalah keputusan yang terbaik saat ini. Benar, kan?"

Hem, Selasa menghela napas. Lukisan itu tetap tidak terima dengan keputusannya untuk bunuh diri.

"Iya, sudah," kata Selasa mengerucutkan bibir, lukisan itu tampak terlihat mengkhawatirkan keadaannya.

"Bagaimana kabarmu disana?" tanyanya, mencoba mengalah. Ia lagi-lagi memberikan senyum seindah mungkin pada lukisan yang tergantung cantik itu.

Hari-hari biasa sebelum kecelakaan itu terjadi— yang selalu dilakukan Selasa adalah menyapa dan mengobrol penuh semangat dengan lukisan itu.

Lukisan itu seperti bisa berbicara dan selalu mendengarkan apa yang dikatakannya.

Setiap kali diajak mengobrol lukisan itu tidak pernah menjawab, membantah atau memotong ucapannya seperti Senin— tapi, hari ini sepertinya lukisan itu banyak sekali membantah dan menjawabnya, entahlah dia jadi sangat menyebalkan.

Hahaha, sebelum semenyebalkan ini— pokoknya lukisan itu sangat nyaman jika diajak bergosip untuk menjelek-jelekkan orang yang dibencinya, diajak mengobrol pun sangat menyenangkan dan iya … jika dimintai nasehat atau pun pendapat, lukisan itu bisa diandalkan.

Dan, setiap hari setiap waktu, tidak lupa ia juga selalu mengucapkan selamat pagi saat bangun tidur, mengucapkan selamat malam saat akan tidur, berpamitan sebelum berangkat kerja, memberitahu saat pulang kerja dan menceritakan apa saja keberhasilan yang didapatkan hari itu dan iya … selalu memberi semangat pada lukisan itu supaya hari-harinya semakin cerah.

"Kau pasti bisa! Kau pasti bisa menjadi model! Tubuhmu bagus, kok! Aku yakin semua impianmu akan segera terwujud. Semangat-semangat!"

Hahaha, Selasa selalu memberi semangat pada lukisan itu— seolah gambaran yang ada di lukisan itu adalah seorang wanita yang sedang putus asa karena tidak bisa menjadi apa yang diimpikannya.

Dan, sekarang lihatlah. Hahaha!

Ia sudah senasib dengan gambaran yang ada di dalam lukisan itu.

Pasti siapapun pelukis yang melukis lukisan yang diberi nama "DREAM" itu akan tertawa terbahak-bahak jika tahu keadaannya sama saja dengan seorang wanita yang ada dalam lukisan itu.

Hah, kenapa kita jadi berjodoh seperti ini?

Sama-sama cacat dan iya … mimpi kita sama-sama mati!!

Selasa tertawa dan tertawa lagi!

"Kau sudah mati dan aku akan menyusulmu secepatnya." Selasa mengulas senyum. Kegetiran tercipta di hatinya. "Dan, jika kau melihatku duluan, sapa aku duluan, ok. Aku kan tidak pernah melihat wajahmu, hehehe," cengirnya dengan wajah sendu nan pilu.

Ia meracau tak tentu arah, bicara sendiri dalam keheningan dan mulai menggila saat semakin lama memandangi lukisan yang dibelinya di suatu pameran lukis untuk umum tiga tahun yang lalu.

"Hahah, ternyata kau disini sudah ada tiga tahun." Selasa tertawa lagi. "Bosan tidak? Kau tidak ingin keluar gitu? Tidak mau membantuku untuk bunuh diri? Beritahu aku, bagaimana caranya kau bunuh diri. Sakit tidak? Hahahah?! Ajari aku, kemarilah."

Saat itu, Selasa baru saja lulus kuliah dan karir modelingnya masih dalam tahap medium class yang artinya ia baru mulai dikenal oleh kalangan luas sebagai model profesional.

Harganya tidak terlalu mahal waktu itu, kata penyelenggara pameran— pelukisnya hanya iseng menitipkan lukisannya di gelaran pameran umum itu.

Butuh uang untuk makan, pada intinya.

Daripada tidak ada yang beli, lukisannya juga sangat indah dan hitung-hitung untuk hadiah wisudanya sendiri, sekalian saja ia membantu si pelukis untuk makan jadi dengan alasan iseng, ia pun membeli lukisan itu.

Manager penyelenggaranya sampai berterima kasih berulang kali padanya, katanya waktu itu, "Uang dari penjualan lukisan ini bisa untuk menghidupi biaya makan pelukisnya selama satu tahun lamanya, Nona."

Selasa menjawabnya dengan gurauan, "Semoga saja cacing-cacing didalam perut pelukis itu bisa diberi makan yang banyak, Pak."

Si penyelenggara pameran tertawa. "Saya akan menyampaikan pesan nona Selasa padanya, terima kasih."

Selasa tersenyum, tersipu lalu senyuman itu lama-lama menipis dan … wush, hilang.

Wajahnya kembali datar.

Bibirnya yang pucat semakin pucat dan matanya yang cekung semakin kosong.

Fiks! Semakin dipandang, gadis itu semakin mirip dengan mayat hidup.

Tidak bergerak sama sekali.

Ah, sudahlah!

Aura cerianya yang dulu selalu positif dan sangat bersinar pun kini redup dan begitu gelap— melebihi gelapnya langit malam.

Hanya satu yang terlihat cerah dari keseluruhannya, yaitu piyama yang dikenakannya.

Warnanya sangat dominan. Kuning dan merah. Hem, perpaduan yang sangat mengerikan.

Ini yang memakaikannya, Senin— sampai warna BH dan CD-nya pun berwarna kuning.

Hah, Selasa menghela napas panjang. Lelah, sangat lelah!

Entah mengapa semakin lama semakin dipandang lukisan itu semakin membuatnya sangat iri.

"Ah, aku tahu, kenapa kau seperti ini padaku," kata Selasa menatap sinis wanita dalam lukisan itu. Matanya menscan tubuh wanita itu dari ujung kepala hingga ujung kakinya. "Kau masih bisa berjalan sedangkan aku sama sekali tidak bisa. Iya, kan?"

Hahah!

Tingkat iri dengki Selasa melebihi saat ia melihat salah satu temannya dihire oleh salah satu desainer ternama.

"Kenapa kau jadi terlihat stunning, hah?" Selasa mendelik iri. "Kau pasti ingin mengejekku, kan? Oh, atau kau senang melihatku menjadi lumpuh seperti ini?!"

Selasa berusaha menegakkan duduknya. Ingin rasanya ia mengambil lukisan yang memiliki tiga panorama berbeda yang dijadikan satu.

"Aku akan meraihmu!!!" teriak Selasa tidak terima. "Aku akan membakarmu!! Kenapa kau mengejekku, hah?! Bukankah kita teman?!"

Selasa tertawa.

"Apa?! Aku tidak pantas lagi menjadi temanmu?! Sialan, kau!!"

Selasa berteriak kencang, tangannya melayang-layang diudara.

"Lihat saja! Aku akan membakarmu! Iyaaa!!!"

Selasa semakin menatap benci pada lukisan yang memiliki gambaran sekumpulan burung Flamingo yang sedang mencari makan di bagian sisi atasnya, kaki-kaki mereka yang jenjang sungguh sangat indah ketika berjalan bersamaan, dan lagi warnanya pun sangat menggemaskan. Pink-pink putih yang lucu.

Pelukis itu memberi background burung Flamingo itu dengan panorama langit malam yang berbintang.

Cih!!

Selasa mendecih kesal, semua umpatan yang ia tahu keluar semua dari bibir cantiknya.

"Aku sangat membencimu!" teriaknya menatap jengah bagian bawah lukisan yang membuatnya iri sekaligus marah itu.

"Kauu!" Jari telunjuk Selasa mengacung lantang pada gambaran seorang wanita tanpa busana menghadap depan yang hanya terlihat punggungnya saja.

Lukisan wanita tanpa busana itu seperti berada di gurun pasir namun jika dilihat lebih teliti lagi, wanita itu sebenarnya ada di tengah-tengah kota yang sangat ramai.

"Pergi!! Jangan bicara lagi! Aku akan tetap mati!!"

Selasa memicingkan matanya, melihat detail lain di lukisan itu.

"Kenapa kalian menatapku seperti itu?!" Napas Selasa memburu marah saat melihat sekawanan burung gereja yang berjajar di kabel listrik tanpa takut tersetrum.

Jumlahnya jika dihitung ada 10 ekor dan sebagian burung itu membelakangi si wanita— seolah burung-burung itu sangat membenci si wanita tanpa busana itu.

"Kalian juga jadi membenciku? Tidak menyukaiku?! Aku memang lumpuh? Ada apa dengan kaki lumpuh, hah?!"

Selasa tidak tahu pasti apa arti sesungguhnya dari lukisan penuh makna itu tapi jika di awang-awang menggunakan ilmu logika dan imajinasinya jika lukisan itu adalah sebuah mimpi dan impian yang mati.

Lukisan itu seperti menceritakan seorang wanita sedang menatap langit malam yang berhiaskan bintang-bintang dan burung Flamingo yang berjalan bak model di landasan pacunya.

Wanita itu terlihat ingin menggapai impiannya sebagai seorang model, namun mimpinya itu terhalang oleh orang-orang yang mengawasi dan tidak menyetujui impiannya untuk menjadi seorang model.

Orang-orang yang jahat itu adalah burung gereja itu sendiri. Lihat saja posisinya, yang membelangkangi si wanita.

Saat masih bisa berjalan, Selasa selalu merasa kasihan pada wanita itu. Pikirnya, "Pasti kau ingin menjadi seorang model juga, kan? Tapi tidak ada yang mendukungmu dan menghina keberadaanmu karena kakimu hanya satu. Dan, kau bunuh diri."

Tapi sekarang lihatlah…

"Hahahaha!"

Sekarang, dirinya lah yang seperti itu. Iyaa ... Selasa jadi iri pada wanita itu karena biar bagaimanapun wanita di dalam lukisan itu masih bisa berdiri dengan satu kakinya.

Ini … inilah yang membuat ia iri pada lukisan wanita itu.

Wanita itu hanya memiliki satu kaki namun dia masih berdiri dan berjalan menggunakan tongkatnya, bisa saja ia memakai kaki palsu untuk menopang tubuhnya tapi … hahahah.

Wanita itu memilih bunuh diri … dan, kenapa ia dilarang bunuh diri juga? Tidak adil namanya.

Wanita itu harusnya masih bisa mengejar mimpinya setinggi langit walau banyak orang yang menghina dan mencemoohnya.

Harusnya wanita itu lebih percaya diri lagi dan membuktikan pada orang-orang yang tidak menyukainya untuk terjun di dunia modeling, bahwa ia mampu menjadi model papan atas.

"Hahaha, kau yang payah!! Harusnya kau bisa menjadi model!" Selasa tertawa getir.

"Jika kau sungguh-sungguh! Aku yakin kau akan menjadi model yang terkenal, dan bisa saja kau membuat para wanita yang mengalami cacat fisik seperti mu termotivasi untuk menjadi model."

Tapi, hahah!

Wanita itu sama sekali tidak mengambil kesempatan itu dan malah, memilih bunuh diri.

Fuck you girl!!

Selasa semakin keras tertawa namun kali ini tawanya benar-benar amat frustrasi. Ia mual, ingin muntah, perutnya benar-benar seperti di remas-remas dan lagi kepalanya sangat pusing!

"Hahaha, dan aku ... aku hanyalah gadis lumpuh!!! Hahaha!!! Tidak bisa jalan seperti mu!!"

Selasa menunjuk-nunjuk marah lukisan itu.

"Aku akan mati! Iya! Mati adalah jalan terbaik untukku. Aku sayang kalian semua."

Selamat tinggal impian, selamat tinggal mimpi dan selamat tinggal dunia …

***

Salam

Galuh.