12/3/22
Happy Reading
***
Selasa melihat Rabu dengan tatapan tidak suka.
"Maksudku tujuan mu mau kemana?" tanya Rabu sambil memperhatikan penampilan wanita itu yang berantakan.
Wanita itu memakai gaun selutut berwarna hijau tosca yang sudah bercampur lumpur, pun dia memakai sepatu pantofel warna coklat dan ada tas ukuran sedang yang tergantung di lehernya.
Wajahnya terlihat pucat, pipinya sangat tirus, rambutnya sangat kusut, kakinya yang harusnya terlihat jenjang hanya tinggal tulangnya saja dan ada luka yang cukup serius di salah satu lututnya.
Rabu mendadak meringis keperihan saat bisa merasakan sakit imajiner luka yang ada di lutut wanita itu.
"Itu sakit tidak?" tanya Rabu akan menyentuh luka itu namun lagi-lagi tangannya ditepis kasar.
Oke, sabar!
Rabu menghela napas panjang, melihat gadis itu yang kini napasnya terlihat panik bercampur lelah.
Ah, jangan-jangan gadis ini benar-benar pasien rumah sakit jiwa lagi?
"Lihat saja!!" Rabu tanpa sadar memekik lelah, dan itu sukses membuat Selasa terkejut. "Kau pasien yang melarikan diri, kan?"
Dahi Selasa langsung berkerut dalam dan matanya pun berkedip bingung.
"Kau dari rumah sakit jiwa mana?"
Deg?!
Hah?
Apa?!
Selasa menggeleng kuat, "Memangnya aku terlihat seperti orang gila apa?! Aku masih waras, hei … manusia gila! Kenapa semua orang menyangka aku ini gila, sih?! Sialan!!" Sungutnya dalam hati.
"Kau itu terlihat kekurangan gizi. Sangat kurus dan begitu kering. Lihat ...." Rabu menunjuk kaki Selasa. "Kau juga lumpuh, kan? Kau depresi? Iya, tidak?!"
Hahh?!
Ini orang siapa sih?!
Kenapa bicaranya tidak bisa direm?!
Aku memang lumpuh tapi bisa tidak jangan berteriak dan menunjukku seperti itu?!
Astaga!
Sialan!!
Sumpah demi apapun didunia ini …
Selasa benar-benar bingung dengan laki-laki dihadapannya ini. Suasana hatinya cepat sekali berubah, dan jujur, ia merasa sangat risih ditatap seintens itu oleh orang yang tidak dikenalnya sama sekali.
Apalagi ini seorang pria yang memiliki tampang anak-anak tanpa dosa, dan juga sangat cerewet seperti anak kecil yang baru saja lancar bicara.
Deg!
Eh?
Tampang anak-anak tanpa dosa. Pembawaan ceria dan juga cerewet. Langsung menunjuk kakinya yang lumpuh tanpa rasa bersalah.
Ibaratnya tidak punya empati...
Iyaa … kebanyakan psikopat gila memiliki wajah yang menyenangkan seperti laki-laki ini dan lagi dia tidak punya rasa simpati sama sekali terhadap kelumpuhan orang lain.
Ah, iya … psikopat?!
Astaga, kenapa aku tidak memikirkan akan bertemu dengan pria psikopat dalam pelarianku.
Tidak … tidak!
Selasa bergidik ngeri jika mengingat film genre psikopat-psikopat gila yang pernah ditontonnya.
Hargh … jangan sampai kejadian semalam terulang lagi!!
Tidak boleh!
Semalam hampir saja dirinya yang masih perawan ini digagahi oleh enam orang preman yang lagi mabuk-mabukan. Untung saja ia masih bisa selamat karena ada tiga ekor anjing yang tiba-tiba menyalak tajam kearah 6 preman itu.
Disaat ketiga anjing itu menyerang ke-enam preman mengerikan itu, disaat itulah ia langsung kabur dan berhasil melarikan diri dari tindak kejahatan pemerkosaan itu.
Dan, saat di perjalanan menuju arah mana saja kursi rodanya melaju— ternyata salah satu jalan yang dilaluinya itu adalah turunan yang cukup curam. Karena tidak bisa mengerem kursi rodanya, pada akhirnya ia jatuh terjungkal.
Tidak parah sih, tapi kakinya mengalami pendarahan yang cukup serius.
Setelah itu, kering-kering sendiri dan kalau dilihat dari atas memang terlihat mengalami bengkak parah.
Jujur ia sendiri tidak tahu sebesar apa luka robeknya, tapi entah mengapa ia bisa merasakan perih-perih di lututnya itu.
Harusnya kan mati rasa?
Ah, entahlah, yang penting semalam ia bisa selamat dan bukan mati karena diperkosa.
Selasa baru menyadari jika kehidupan dunia luar yang begitu asing untuknya sangatlah menakutkan dan mengerikan.
Tapi, jauh didalam hatinya, ia benar-benar tidak menyesal telah melarikan diri dari rumahnya sendiri.
Aghh, daripada dibuang lebih baik aku pergi saja dan, eh … pria asing ini menyangka aku adalah pasien rumah sakit jiwa yang kabur.
Masuk saja belum, sudah dituduh macam-macam. Tahu darimana coba?!
Sialan!!
Rabu menghela napas panjang saat melihat mata wanita itu yang bergerak-gerak panik dan gelisah. "Oke," katanya berdiri. Wanita itu sama sekali tidak mau menjawabnya.
Pasti dia bisu, oh ... atau tenggorokannya tersumpal kecoa!
Rabu melihat tas yang menggantung di leher wanita itu, ia akan meraih tas itu untuk tujuan baik namun dengan cepat lagi-lagi dia menepis tangannya dengan kasar.
"Hem, terserah," kata Rabu saat bisa mendengar geraman tidak suka dari wanita itu.
"Astaga kenapa pria ini senang sekali sentuh-sentuh, sih!!" Selasa mendengus kesal dalam hati. "Jangan sentuh aku, ok!!"
"Aku hanya ingin tahu identitasmu saja," ucap Rabu, memberikan senyuman semanis mungkin untuk membuat wanita itu sedikit rileks dan mempercayainya.
"Hiih, sok akrab banget sih!" Selasa menatap mata pria itu dengan jengah. "Tinggalkan aku, tidak!" serunya, mendengus marah. "Pergi psikopat gilaa!" teriaknya masih dalam hati.
Selasa tidak mau berurusan dengan pria ini lagi. Daripada terjebak terlalu lama, lebih baik ia pergi dari hadapannya sesegera mungkin. Ia menjalankan kursi rodanya namun ....
"Hish!!" Rabu menahan salah satu rodanya dengan kakinya. "Aku bukan orang jahat, ok?!" Ia mengusak-asik rambutnya dengan frustrasi.
Selasa menggeram, ia mencoba menyingkirkan kaki pria itu. "Herm, mi-minggir," ucapnya dengan susah payah.
"Haahh!" Rabu berteriak senang. Meraih kedua tangan wanita itu. "Kau bisa bicara ternyata?"
Selasa menggeram lagi, ia menepiskan tangan laki-laki itu. "Menyebalkan!!" Ia berteriak dalam hatinya.
"Ahh, tidak iya?!" Rabu mendesah kecewa. "Oke, dimana rumahmu?!" tanya Rabu.
Selasa hanya diam saja. Ia melengos ke sembarang arah. Malas sekali melihat wajah pria psikopat ini.
"Ayolah, jangan merepotkanku," kata Rabu to the point. "Kau pasien kabur dari rumah sakit jiwa mana?"
Tuhan! Aku tidak gilaaa!!
"Sepertinya tingkat kegilaanmu belum sampai di level yang mengkhawatirkan." Rabu menghela napas. "Ku anggap kau masih waras!"
"Hermmm ...." Selasa menggeram marah. Ia ingin protes, tapi tenggorokannya sangat kering. Sejak kabur dari rumah tadi malam, ia sama sekali belum minum ataupun makan.
"Oke, baiklah … baiklah!" Rabu dengan kesabarannya yang ekstra membalik kursi roda itu, mendorong kearah mana yang akan menjadi tujuan awalnya.
Stasiun kereta api yang ada di bawah sana…
Ini sudah jam 6.10 … dua puluh menit lagi kereta pagi menuju distrik A akan datang. Jika tidak cepat-cepat datang ke stasiun bisa-bisa sampai ke Art Place nanti kesiangan.
"Aku akan mengantarmu pulang nanti," kata Rabu dengan tetap mendorong kursi roda itu dengan kecepatan konstan dan sangat hati-hati, sebab alat-alat lukisnya ada di pangkuan wanita ini. Jika jatuh bisa tambah repot nanti.
Selasa menggeleng sangat kencang, "Tidak mau! Aku tidak mau pulang!!" teriaknya dalam hati, menepuk-nepuk tangan laki-laki itu supaya berhenti. "Berhenti!! Berhenti tidak!!"
"Astagaa, apa sih arti dari gelengan kepalamu itu?" Rabu mengernyitkan dahi dengan bingung. "Aku bukan perampok, bukan pemerkosa, bulan psikopat atau apapun yang ada dipikiranmu."
Ehhh … kok, pria ini bisa tahu apa yang sedang kupikirkan? Jangan-jangan dia psikopat berkedok cenayang!
Ah, jika benar … berarti dia bisa menghipnotisku dong?
Rabu menghentikan kursi roda itu saat sudah sampai di lampu merah khusus pejalan kaki. "Oke, dimana rumahmu, hem? Jawab aku?!" tanyanya sedikit menaikan nada suaranya. Ia menundukkan kepalanya dan yang dilihatnya hanya serabut rambut yang kusut.
Lagi-lagi selasa menggeleng.
Rabu menghela napas panjang.
"Ingat nomor hp, tidak?"
Selasa menggeleng lagi.
"Astagaaa!" Rabu berteriak tanpa sadar.
Hal itu sukses membuat Selasa berjingkat kaget dan semua orang yang sedang menunggu lampu berubah warna jadi menoleh kepadanya dengan tatapan tidak suka karena sudah dibuat terkejut.
Nut .. nut … nut!
Lampu hijau…
***
Salam
Galuh