19/3/22
Happy Reading
***
Rabu tersenyum, ia sedikit tidak mempedulikan raut wajah Selasa yang kebingungan akan sesuatu, di sana terpancar mimik wajahnya yang terlihat nano-nano sekali jika dipandangi lebih dalam.
Dan, iya ... menurutnya wajah Selasa yang seperti itu, entah mengapa terlihat sangat manis, kok.
Ehem!
Sepertinya Selasa butuh dibersihkan sedikit, pasti dia akan terlihat, ehem ... cantik. Seperti apa yang ia katakan barusan pada anak kecil bernama Sun itu, dan Sun sama sekali tidak protes saat ia mengatakan itu.
Itu artinya, Selasa memang wanita yang cantik. Tapi, sayangnya dia sedikit tidak waras.
Oke!
"Okee, mari kita mulai menggambar." Rabu dengan semangat melihat Sun yang otomatis bertepuk-tepuk tangan karena tidak sabar untuk dilukis.
"Ini akan memakan waktu 15 menit saja,Sun." Tangannya mulai sibuk memyiapkan pensilnya, meraut unjung pensilnya hingga menemukan ketajaman pensil yanh dimaunya. "Kalau kau bosan gerak saja tidak masalah, ok?!"
Sun mengangguk dengan semangat.
"Sedikit saja tapi ..."
Sun langsung memberengut saat mendengar perintah itu dari Rabu.
"Hahaha, maksud kakak jangan berlebihan, ok, tampan?"
"Siap, Kak!!" Sun berteriak semangat. Ia sudah tidak sabar melihat lukisannya sendiri dan memamerkan lukisan dirinya pada Papanya.
"Okeee!"
Rabu mulai bekerja. Ia membuat sketsa Sun yang dilihat dari sisi manapun terlihat menggemaskan.
Jemarinya yang profesional mulai menari dengan amat gemulai diatas kanvas.
Gerakan pertama jemari itu, membuat sketsa mata Sun yang bulat lucu namun terlihat lembut nan tajam.
"Hem, masih umur 10 tahun padahal," gumam Rabu, memuji tulus mata indah Sun.
Setelah membuat kedua mata yang ternyata tidak simetris itu, jemarinya berlanjut membuat bibir Sun yang terlihat mungil namun tebal di bagian bawahnya dan masih berwarna merah cerah khas anak-anak yang belum terkena nikotin atau alkohol.
"Ahh, imutnya." Rabu meniup-niup kecil sisa serutan pensil yang ada dikanvanya.
Jari tengahnya pun mengusap pelan garis-garis sketsanya untuk memberi efek lebih dramatis lagi.
"Giliran bentuk wajahnya."
Rabu membuat garis bentuk wajah Sun yang memiliki fitur wajah khas orang eropa kebanyakan. Rahang tegas dengan tulang pipi yang ... yang, ya ... Sun masih anak-anak jadi tulang pipinya masih tertutup dengan pipinya tembem dan begitu kenyal bila disentuh-sentuh.
Rabu memngembangkN senyuman gemasnya saat mdmbuat hidubg Sun yang lagi dalam masa peralihan .. haha, pesek ke mancung.
"Aihh, gemasnya." Rabu mengeratkan giginya supaya tidak tertawa lucu.
Terakih adalah penekanan pada alis Sun yang berwarna coklat sama seperti rambut keritingnya.
"Kalau mau menguap, silahkan, tuan tampan," kata Rabu, melirik Sun dari balik kanvasnya.
Sejak tadi Sun menahan untuk tidak menguap karena takut mengganggu pekerjaan Rabu.
Tidak lama ...
Hoammm!!
Rabu hampir tertawa saat melihat mulut Sun yang terbuka lebar dan hal itu membuat pipi gembulnya jadi terlihat semakin kemerahan.
Melihat gelagat Sun yang mulai bosan, Nyonya Risa berinisiatif untuk memberikan putra kesayangannya itu permen.
"Tuan Rabu," bisik Rise amat sopan sedikit membungkukkan tubuhnya supaya bisa sejajar dengan Rabu kemudian ia menunjukan permen di tangannya. "Boleh saya berikan ini?"
"Oh, silahkan, nyonya," kata Rabu.
Untuk sejenak ... ah, tidak sejenak, ia benar-benar melupakan jika ada Selasa yang ternyata sama-sama menguap seperti Sun barusan.
Jujur, demi dewa neptunus, Selasa sangat mengantuk. Sejak semalam ia tidak tidur, tubuhnya sangat lelah, pegal, ingin rebahan, begitu lengket ingin mandi dan iya ... hoamm, kedua matanya tidak dapat dikondisikan dengan baik.
Jujur, awalnya Selasa sangat antusias saat melihat Rabu yang akan melukis. Tangan Rabu tadi terlihat begitu lincah, lentik dan sangat cekatan dalam menggoreskan pensil diatas kanvas itu.
Tapi lama-lama ia jadi sangat bosan menunggu Rabu yang sedang melukis itu.
Selasa berkali-kali melebarkan dan menahan matanya supaya tidak tertutup dengan mudah. Berulang kali ia melirik jam besar yang ada disalah satu gedung.
Pukul 9.30 ...
Lima menit pertama masih, ok.
Sepuluh menit kedua, hoam ... hoam
Dua menit ketiga, arghhh ... Selasa mencoba menegakan kepalanya.
Lima belas menit keempat, kepalanya sudah patah kekanan ...
Dan, matanya tertutup perlahan.
Ah, yang penting tidak kabur kan?
Lagian, Rabu kan masih melukis.
Pasti masih sangat lama selesainya.
Hah, apalagi angin pagi ini sangat mendukung sekali untuk iyaa ... tidur!
"Selesai!!"
Rabu meniup-niup halus kanvasnya yang sudah ada sketsa Sun didalam sana, jemarinya sedikit menghilangkan garis-garis halus yang menghalangi keestetikan seni lukisnya.
"Sudah, kak?" tanya Sun, begitu sumringah.
"Yaps," ucap Rabu melihat jam yang ada di gedung, ternyata waktunya lebih lima menit.
Untung saja anak ini begitu sabar, kalau tidak ...
"Hoammm ... Mama aku ngantuk sekali." Sun langsung berdiri. Tidak merengek sama sekali, hanya memberitahu keluhannya pada Mama. Ia memukul-mukul pinggangnya sendiri yang terasa pegal, layaknya orang tua yang sudah jompo.
"Benar sudah selesai, kan, kak?" tanya Sun memastikan sekali lagi, saat mohay Rabu mengangguk, ia langsung berlari mendekati Rabu yang masih fokus membenarkan lukisannya.
"Ini baru setengahnya?" Jelas Rabu, menunjuk sketsa lukisan Sun yang masih berupa goresan pensil.
Sun mengernyitkan dahi, "Kok cuma setengah? Ini sudah bagus kok, kak."
Rabu tertawa, belum bisa melepas detail kecil sketsanya. "Iyaa, ini tinggal diberi warna, tuan tampan," jelasnya menunjuk beberapa bagian garis sketsanya. "Dan, ini butuh waktu sampai 14 hari untuk menyempurnakannya, bagaimana?
"Hah, benarkah?" Sun memberengut kecewa. "Ku pikir bisa langsung dibawa pulang, Kak."
"Bisa, sekarang kok ..." Rabu sengaja menggantung kalimatnya, melirik Sun yang tampak sumringah disana. "Tapi … nanti mukanya jadi hilang seperti ini." Ia menunjuk wajah Sun yang masih samar-samar.
"Tidak mau!" Sun mendengus. "Aku harus terlihat tampan disitu!!"
"Iya ... iya." Rabu mengelus gemas pucuk kepala Sun. "Sesuai perintah Anda, tuanku."
Dan, hal itu sukses membuat Nyonya Rise yang melihat keakraban Sun dan Rabu jadi tertawa gemas.
"Iya sudah, 14 hari lagi kau datang kemari bersama Mamamu. Kakak pastikan lukisanmu akan sangat sempurna nantinya, bagaimana?"
"Janji?"
"Yap." Rabu mengeluarkan jari kelingkingnya. Mengajak Sun mengikat janji.
"Okeeee!" Sun tertawa girang. Melingkarkan jari kelingkingnya yang amat imut itu di jari kelingking Rabu.
Tidak lama pembicaraan basa-basi itu diakhiri dengan ....
"Terima kasih, tuan Rabu." Nyonya Rise memberikan kartu namanya. "Kalau misal saya tidak bisa mengambil lukisannya ... jika Anda tidak sibuk, Anda bisa mengantar ini ke alamat rumah saya."
"Siap, Nyonya. Nanti kalau sudah jadi saya akan menghubungi Anda segera. Terima kasih untuk kepercayaan Nyonya pada saya," ucap Rabu begitu sopan, mengambil kartu nama itu, kemudian menyalami Nyonya Rise.
"O-iya ...." Sun melirik Selasa yang ternyata, "Tidur iya?"
"Eh?" Rabu jadi menoleh.
Deg?!
Jujur, Rabu baru sadar jika ada seorang wanita yang sedang menunggunya.
Hah!
Rabu menghela nafas panjang.
"Sepertinya," ucapnya mengedikan bahu, mana kepalanya tengkleng seperti itu lagi. Apa tidak pegal tidur seperti itu?
Rabu menggelengkan kepala sengat heran melihat kelakuan Selasa itu.
"Sampaikan salamku padanya, kak."
Rabu mengangguk.
Ia melihat kepergian Sun dan Nyonya Rise sampai menghilang dari penglihatannya, setelahnya ...
Ia melihat Selasa.
Hem, dasar zombie!
Rabu membenarkan kepala Selasa supaya tidak menekuk seperti itu. Membenarkan posisi tubuh dengan hati-hati.
Dan, baru saja ia akan mengambil tas di leher Selasa supaya tidak terkecil, tiba-tiba saja ...
Dug!
"Argh!" Selasa berteriak kaget.
***
Salam
Galuh