Chereads / RABU DAN SELASA / Chapter 25 - MENGOBATI LUKA SELASA

Chapter 25 - MENGOBATI LUKA SELASA

22/3/22

Happy Reading

***

Plak!

Deg?!

Rabu dengan cepat menoleh kebelakang saat bahunya ada yang menepuknya dari belakang.

"Ya Tuhan, tuan Rabu!!" seru seorang wanita muda.

"Lho, mba?" Rabu mengedipkan matanya dengan bingung, melihat mba-mba apoteker yang menjaga apotik tadi. "Ada apa?" tanyanya. "Uang saya kurang, iya?"

Wanita yang bernama Bulan itu menggeleng. "Hahah, tidak, tuan."

"Terus?" 

"Itu yang dibeli tuan Rabu obat luka untuk luka yang cukup serius," kata Bulan menunjuk bungkusan yang dipegang Rabu. "Tuan baru saja kecelakaan atau bagaimana? Bagian mana yang terluka, biar saya bantu obati?" tanyanya amat antusias menscan tubuh seksi Rabu dari atas hingga bawah— sudah lama ia mendambakan bisa dekat-dekat dengan Rabu seperti ini.

"Eh ...." Rabu menggeleng. "Eh, anu ... tidak perlu, mba Bulan."

"Tidak masalah, tuan." Bulan mengangkat kotak p3knya. "Ini sangat lengkap. Ada alat jahitnya juga. Ayo ...." Bulan dengan semangat merangkul tangan Rabu. "Kita ke tempat tuan, biar saya bantu obati," cengirnya begitu semangat.

"Oh, anu, mba ...." Rabu dengan canggung kearah takut— langsung melepas rangkulan tangan Bulan. "Bukan saya, tapi teman saya yang terluka," ucapnya sambil menunjuk Selasa yang sudah menunggunya sejak tadi.

"Hah?" Mata Bulan membulat kaget. "Di-dia siapa? Kok kayak kuntilanak, tuan?" 

"Ah, maaf, mba ...," ucap Rabu. "Saya harus segera kembali. Kasihan dia sudah lama menunggu saya."

Tanpa menunggu jawaban Bulan, dengan segera Rabu langsung lari dari hadapan Bulan.

Sabtu yang melihat kejadian itu hanya bisa terkekeh geli, apalagi tampang Rabu yang geli-geli takut benar-benar tidak bisa dikendalikan, dan lihatlah Bulan disana ... hahaha, bibir merah medoknya mirip seperti bebek. 

"Hish, aku benar-benar lupa jika wanita itu kerja disana." Rabu menggerutu sepanjang jalan, dan entah kenapa, matanya tidak mau lepas melihat Selasa yang sepertinya sudah bosan menunggunya untuk kembali. "Kupikir dia sudah dipecat karena terlalu sering mengganggu perjaka tampan sepertiku."

Hahh ...

Rabu mengenal Bulan sebenarnya baru beberapa bulan ini. Awalnya, ia membeli obat mata untuk kakek-kakek yang ada sudut Art Place, tapi ... sejak pembelian pertama itu dan semua warga apotik yang dihuni sama tiga mba-mba tahu namanya ... iya, sudah!

Dan, yang paling genjar mengejarnya iya ... emba Bulan ini, yang katanya kebanyakan pria-pria di Art Place ini adalah wanita paling cantik di apotik itu.

No ... no!

Huh!

Ampun, dah!

Rabu sudah sampai didepan Selasa dengan napas terengah-engah. Ia melihat Selasa yang dahinya mengernyit bingung.

"Sarapan, Sel?" Rabu meletakkan dua bungkus paper dipangkuan Selasa. "Huuuh ...." ia menarik napas panjang-panjang sebelum melanjutkan ucapannya. "Dihabiskan," lanjutnya. "Oh, atau ku obati lukamu dulu atau sarapan dulu," gumamnya yang belum bisa memperbaiki desah napasnya. "Obati saja dulu lah."

Selasa tidak mempedulikan gumaman Rabu disana. Tapi, ia sangat penasaran dengan wanita tadi. "Si-siapa?" tanyanya sambil membuka satu persatu isi dari paper bag itu. Yang satu isi makanan dan yang satu isi obat-obatan. 

Heh, obat? Selasa mengangkat salah satunya, melihat kegunaanya untuk apa. Kedua alisnya menyatu bingung, "Obat pereda sakit," batinnya, "Kan, aku tidak bisa merasakan sakit."

"Orang gila, sama seperti mu."

Selasa langsung mendongak, melihat Rabu dengan tatapan kesal. "A-aku bu-bukan orang gilaaa, Rabu ...."

"Iya, aku tahu," kata Rabu terkekeh, "Kalau seperti itu saja, lancar bicaranya," ucapnya sambil memutar kursi roda Selasa untuk berhadapan dengannya. Pun ia memutar kursi lipatnya dan duduk disana. "Berikan salah satu obatnya padaku."

"I-ini u-untuk—"

"Kakimu ... lihat?!" Rabu menunjuk kaki Selasa yang terlihat semakin mengenaskan. "Kalau dibiarkan terbuka seperti itu, bisa-bisa orang yang lihat akan jijik, dan mereka yang tadinya minta dilukis olehku, bisa jadi tidak akan mau dilukis setelah melihat—"

"Huh!!" Selasa dengan gemas melemparkan alkohol murni 70% kearah Rabu. "J-jahat!!"

"Santai ...." Rabu terkikik, menangkap botol alkohol itu, lalu memperhatikan botol putih itu dengan bingung. Ini gunanya untuk apa? 

Rabu sama sekali tidak ada pengalaman mengobati orang yang terluka seperti ini. Biasanya hanya diberi obat merah, sudah beres. 

Tadi di apotik saja, ia hanya menjelaskan ciri-ciri lukanya Selasa, dan sekilas dijelaskan kegunaan obatnya oleh mba apoteker, setelahnya baru bayar.

Oh, My God!

"Ke-kenapa?" tanya Selasa melihat Rabu yang kebingungan.

"Tidak ...." Rabu langsung menggeleng. Yakin saja lah. Alkohol dimana-mana untuk membersihkan luka. Oke, yang penting lukanya tidak terbuka seperti itu.

"Ka-kau bi-bisa ...."

"Bisa! Percaya saja padaku." Rabu mempelajari sobekan luka Selasa.

"Ta-tapi ka-ka-kau ter-terlihat ...."

"Kapas, dong, nona Selasa," ucapnya dengan nada meledek. "Yakin saja padaku," cengirnya sok percaya diri, menyakinkan Selasa yang terlihat takut-takut disana. "Aku sudah biasa mengobati luka serius seperti ini, ok. Tanganku ini selain pandai dalam hal lukis melukis, dia juga bisa menyembuhkan segala macam penyakit, ok?!"

"Cihhh!" Refleks Selasa mendecih. "A-was .... hesh!" Ia tidak bisa membalas kejulidan Rabu jika gagap seperti ini, dan dengan kesal lagi-lagi ia melempar satu kotak kapas pada Rabu. 

"Sarung tangan?" Rabu meletakkan dulu botol alkohol dan kapas itu dipangkuan Selasa. "Singkirkan dulu makanannya."

Selasa mendengus, mengikuti instruksi Rabu. Ia mengambil sarung tangan dari paper bag, membuka plastiknya, dan memakaikannya pada tangan Rabu yang sudah melebarkan kedua tangannya.

Setelahnya ....

"Boleh kupegang dulu?"

"Ti-tidak ji-ji—"

"Jijik, sih ...." Rabu menahan tawanya saat mendengar geraman Selasa. "Tapi akan kutahan sebisaku."

Hish! Selasa yang tadinya merasa tidak enak hati jadi merasa jengkel-jengkel ingin menabok Rabu yang selalu ceplas ceplos seperti itu. Ada orang seperti ini didunia, Ya Tuhan!!

"Kalau sakit bilang."

Selasa diam saja.

Rabu dengan telaten membersihkan luka itu dengan air terlebih dulu, menghilangkan sisa-sisa tanah, debu-debu halus, batu-batu halus, dan lain-lainnya.

"Perih?"

Selasa menggeleng. Tidak terasa apa-apa, tapi anehnya, pas Rabu menekan-nekan lukanya, ia bisa merasakan kedutan-kedutan kecil di sana.

"Oke. Ini akan sangat perih jadi jangan teriak, ok?" Rabu menuangkan alkohol ke kapas. "Kalau teriak aku akan membuangmu ke rel kereta api," ancamnya merasa was-was sendiri saat merasakan sensasi dingin dari cairan itu saat menyentuh kulit tangannya, dan ada rasa perih sedikit yang tertinggal. Ah, mungkin sisa luka yang didapat saat ia menyerut pensil dengan silet. 

Sebelum menempelkan kapas itu, Rabu melihat Selasa, dan wajahnya tampak tenang-tenang saja. 

"Oke, aku akan mulai," ucapnya dengan hati-hati menempelkan kapas itu di permukaan luka Selasa.

Tidak ada teriakan. 

Oh, ternyata Selasa tahan sakit juga ternyata. 

Baiklah.

Rabu membuka perlahan sobekan luka Selasa yang sudah bersih dari sisa kotoran, meneteskan lebih banyak alkohol itu di kapas, menempelkannya dan menyapukan kapas itu diluka terdalamnya.

Setelahnya ....

"Ahhhhh!" Pekik Selasa. Refleks ia menepiskan tangan Rabu dengan kasar. Argh, kok perih? Kok linu? Kok sakit? Ia meringis kesakitan. 

Dan, teriakan kesakitan Selasa di siang bolong ini sukses membuat semua orang melihat ke arah mereka.

Rabu tidak peduli dengan tatapan puluhan sepasang mata itu, apalagi Selasa, ia sedang fokus mengipasi lukanya yang sangat-sangat perih.

***

Salam

Galuh