20/4/22
Happy Reading
***
"Kau pasti heran dengan kamarku, ya?"
Rabu meletakkan kursi roda Selasa yang sudah dilipat di balik pintu.
"Yaa," ucap Selasa sambil menoleh kekanan. "Tidak ada apa-apanya." Tunjuknya pada satu sisi kamar, "Kau tidur dimana?"
"Hahah." Rabu malah tertawa melihat raut wajah Selasa yang kebingungan.
"Kenapa tertawa, hem?" tanya Selasa mengerucutkan bibirnya.
"Tidak." Rabu menggeleng, lalu duduk di depan Selasa. "Kau mau mandi atau mau melakukan apa dulu?" tanyanya akan menarik kaki Selasa yang tertekuk supaya lurus.
"Eh ... eh!" Selasa dengan cepat menahan kakinya. "Mau apa, hah?" tanyanya, berkedip bingung dengan perlakuan Rabu yang secara tiba-tiba ini.
"Tidak mau apa-apa," kata Rabu yang jadi ikut-ikutan bingung. "Kakimu ... apa tidak sakit? Maksudku apa tidak lelah menekuk seperti ini dari tadi?"
Selasa menggeleng.
"Kakimu kan juga perlu kelegaan …."
"Heuh?"
"Ah, maksudku, diluruskan seperti ini supaya peredaran darah mu lancar, Sel."
"Ohh."
"Sel?"
"Hem?"
"Boleh aku tanya sesuatu?" tanya Rabu, menghela napas panjang.
Selasa mengangguk. "Silahkan."
"Kenapa kau tidak bisa jalan seperti ini?" Rabu menatap mata Selasa dengan penuh kelembutan. Tangannya dengan pelan, meraih kaki Selasa.
"Kecelakaan," kata Selasa, datar. Ia tidak sadar jika kakinya sedang diluruskan oleh Rabu.
"Ohh, aku kira bawaan dari bayi." Rabu tertawa samar saat melihat wajah Selasa yang mengeras menahan kesal. "Sudah berapa lama?"
"Dua atau tiga bulan lalu," jawab Selasa singkat.
"Heuh?" Rabu tersentak kaget. "Baru-baru ini? Pikirku sudah lama."
Selasa semakin yakin pada perasaannya jika Rabu sama sekali tidak mengenalnya.
"Apa penyebab kelumpuhannya?" tanya Rabu yang benar-benar penasaran.
"Maksudku, kedua kakimu utuh. Ku lihat tidak ada kecacatan serius disini." Ia sudah berhasil meluruskan kaki Selasa.
"Aku tidak tahu istilah medisnya, tapi saraf tulang belakangku ada yang rusak, jadi tidak berpengaruh pada kinerja gerak otot pinggul dan otot kaki. Iya ... jadi seperti ini," kata Selasa mengedikan bahu.
"Pantas."
"Apa?"
"Kau bilang tidak merasakan sakit sama sekali kecuali luka yang kau dapatkan dari ...?" Rabu jadi menunjuk lutut Selasa yang diperban.
"Ohh, ini ...." Selasa menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Ia sedang kebingungan dengan kakinya yang tiba-tiba saja sudah lurus seperti ini.
Dan, rasanya sangat nyaman. Apalagi dari semalam hingga sore, ia hanya duduk dan belum meluruskan kakinya sama sekali.
"Aku mau diperkosa saat—"
"Hah? Si-siapa yang berani melakukan hal itu padamu?" Entah kenapa dada Rabu jadi terbakar emosi. "Jangan bilang yang akan memperkosamu itu salah satu orang yang kau sebut 'mereka'?"
"Ehh, b-bukan, Rabu!" Selasa berseru panik saat melihat wajah Rabu yang dihiasi bara api. "Bu-bukan mereka, mereka orang baik," lanjutnya, sambil menepuk-nepuk tangan Rabu supaya tenang— yang sedang mengelus iba pahanya. "Di perjalanan tadi malam ...."
Selasa terpaksa menceritakan ulang kejadian semalam pada Rabu dan respon Rabu pun antara marah-marah tenang.
Mungkin tenangnya Rabu karena ia selamat dari ancaman para pemabuk itu.
"Aku sekarang sudah tidak apa-apa," kata Selasa, memberikan senyuman terbaiknya pada Rabu.
"Oke," ucap Rabu. Mencoba setenang mungkin.
"Sekarang kau mandi dulu, gih." Ia menscan penampilan Selasa dari ujung kepala hingga ujung jempol. "Jelek ... jelek," ucapnya menunjuk pakaian Selasa yang kotor dan berantakan. "Bau ... bau! Buluk ... buluk"
Belum juga Selasa membalas ejekkan Rabu ...
"Kamar mandinya ada disana," kata Rabu menunjuk sudut ruangan. "Disana sepertinya ada handuk yang masih kering dan belum kupakai ...o- iya?"
"Apa?"
"Sabun, sampo, pasta gigi ... pakai punyaku dulu—"
"Sikat gigi?" tanya Selasa. Tidak mungkin kan ia berbagi sikat gigi dengan pria yang baru dikenalnya ini.
"Aku masih punya yang baru," kata Rabu menunjuk pada salah satu lemari kecil. "Semua peralatan mandiku yang baru kubeli ada disana."
Selasa mengangguk mengerti.
"Oke." Rabu berdiri. "Aku akan membeli makan malam di warung yang ada di bawah sana," ucapnya berbalik badan. "Kuharap sebelum aku kembali kau sudah selesai mandi, oke?"
"I-iya."
Selasa mengedipkan matanya dengan bingung melihat Rabu yang melenggang begitu saja meninggalkannya tanpa membantunya ke kamar mandi.
"Ra-rabu ...," panggil Selasa dengan begitu canggung.
"Yaa ...."
"A-anu ... a-aku ...."
Rabu menoleh, memperhatikan gerak gerik Selasa yang terasa sangat kikuk dan ....
"Ohhh." Rabu menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Lagi-lagi, ia melupakan sesuatu dan anehnya Ia tahu apa maksud dari kedipan mata dan kecanggungan yang Selasa berikan. "Kemari ....," ucapnya berjalan mendekati Selasa, dan duduk di depannya. "Aku akan membawamu ke kamar mandi."
"Maaf, merepotkanmu," kata Selasa.
"Ya, tidak masalah." Rabu bersiap menggendong Selasa. "Kau bisa berdiri tidak?"
Selasa menggeleng pasrah, melingkarkan tangannya dileher Rabu.
"Lalu?"
"Apanya yang lalu?"
"Caramu mandi?" tanya Rabu kebingungan, memantapkan gendongannya.
"Ya ... mandi," jawab Selasa berdehem malu.
"Ahh, aku tahu ...." Rabu tersenyum, "Pakai kursi, bagaimana?"
"Heuh?" Selasa berkedip bingung. "Ta-tapi ...."
"Aku akan pinjam ke kamar sebelah, seingatku di depan kamar Kak Langit ada kursi plastik nganggur." Rabu jadi membawa Selasa keluar kamar. Ia berjalan ke arah kamar Langit dengan tetap menggendong Selasa.
Sesampainya di depan kamar Langit ....
"Nah, akan ada," kata Rabu menunduk sedikit. "Ambil, gih. Hati-hati," ucapnya saat Selasa mengulurkan tangannya untuk mengambil kursi itu.
"Ini tidak apa-apa?"
Rabu menggeleng. "Aku kenal dengan yang punya kamar."
.
.
.
"Oke ...." Rabu mendudukan Selasa di kursi plastik tadi. Menghadapkannya ke bak mandi. "Bisa mandi sendiri tidak? Kalau tidak bisa, kumandikan sekalian?" tanyanya, bermaksud bercanda.
"Terima kasih," jawab Selasa dengan sewot. "Tanganku masih berfungsi dengan baik."
Rabu mengangguk mengerti. "Bisa lepas baju sendiri tidak?"
"Walau kakiku lumpuh, sepertinya tangan ini masih bisa menampar pipi seseorang," kata Selasa yang mulai geregetan sendiri pada Rabu.
"Ohh, oke." Rabu nyengir-nyengir tanpa dosa. "Aku harus menunggu mu selesai mandi atau kau bisa ku tinggal sendiri untuk membeli makan dibawah. Paling lama aku pergi sekitar 10 menit, bagaimana?"
"Kau pergilah." Selasa mengerucutkan bibir. "Tapi jangan terlalu lama ..."
"Hem."
"Lalu ...."
"Apa lagi?" Rabu berbalik lagi. "Airnya sudah penuh, tuh! Jangan terlalu banyak berpikir, bisa? Dinginkan kepalamu dengan air itu," ucapnya yang mulai gemas sendiri. "Handuk sudah ku dekatkan dan peralatan mandiku sudah ada didepanmu. Apalagi yang kurang, Selasa?"
Selasa lalu menggeleng, ia jadi tidak enak meminta pakaian bersih pada Rabu.
"Setelah mandi, kau pakai saja pakaianku dulu," kata Rabu. "Besok sekalian kita beli pakaian yang sesuai ukuranmu. Bagaimana? Puas?"
Selasa dengan mengangguk sangat cepat
"Ada lagi?"
"Terima kasih."
"Ya, aku tinggal?"
Selasa mengangguk lagi.
"Aku tidak akan lama ...."
"Sepuluh menit." Selasa tersenyum. "Kau akan kdm balk dalam waktu 10 menit, kan?."
Eh?
Ini?
Rabu mengedipkan matanya sekali. Ia terkejut dengan apa yang dikatakan Selasa barusan dan entah kenapa senyum Selasa yang begitu manis itu mirip dengan seseorang yang selama ini ia rindukan.
"Ya, dalam 10 menit aku akan kembali. Hati-hati saat mandi ...."
***
Salam
Galuh