22/4/22
Happy Reading
***
Di dalam kamar mandi ....
Selasa berkedip-kedip bingung. Jujur, ia bingung dengan keadaan kamar mandinya Rabu yang tidak kumuh sama sekali.
Semuanya terlihat terkonsep, mulai dari keramik kamar mandi, bak mandi, closet duduk, gayung, handuk yang tergantung dan peralatan mandinya pun terlihat sangat rapi dan tidak jorok sama sekali.
Seperti yang diketahuinya secara tidak langsung— pikirnya kamar mandi seorang pria akan terlihat sangat berantakan dan tidak terawat, sama seperti bagian luaran flat ini yang terlihat kumuh dan jorok tapi ….
"Wahh, ini sih sangat bersih," gumamnya tersenyum girang.
Dan, entah kenapa, kamar mandi yang didominasi warna hijau tosca ini sangatlah nyaman digunakan untuk merefleksikan dan merelaksasikan diri. Apalagi ada cermin sebadan yang terpasang di salah satu muka dinding ...
"Wahhh." Selasa bisa melihat dirinya yang sangat berantakan di cermin itu. Pantas Rabu senang sekali meledek dan mengejeknya sejak tadi. Ini sih, bukan zombie lagi, tapi mirip seperti mayat yang baru saja keluar dari kuburan. "Mana bau banget lagi," gumamnya mengendus-ngendus badannya sendiri yang baunya seperti bunga bangkai.
Haha ...
"Ohh, jadi Rabu suka warna hijau tosca, ya?" Selasa mengambil gayung yang ditaruh di pinggiran bak mandi. Hem, tapi warna ini tidak pantas untuk Rabu, maksudnya Rabu begitu cerewet dan kalau bicara apa adanya sekali. "Mana kalau lagi ngancem seperti beneran lagi," gumamnya mencebik kesal jika ingat segala perintah Rabu yang menyebalkan. "Tapi kalau dilihat dari warna ini ... ohh, apa karena Rabu seorang pelukis, ya? Jadi suka dengan warna pastel seperti ini?"
Dan lagi seingatnya, seorang pelukis itu butuh waktu ketenangan untuk mencari inspirasi.
Ahh, iya ... kenapa kamar mandi ini dibuat setenang ini, mungkin ini tempat healingnya Rabu.
Haishh, entahlah, Selasa mengedikan bahunya, "Lebih baik aku tanyakan langsung saja padanya nanti."
Selasa melepas satu persatu pakaian yang digunakannya lalu dengan hati-hati menaruhnya di ember pakaian kotor yang sepertinya memang disediakan untuk pakaian kotor.
"Tas ini ...." Selasa menarik tas kecil yang isinya sangat berharga dari lehernya. "Hem, Sabtu dan Minggu mencariku tidak, ya?"
Untuk sejenak, ia memikirkan kehidupan lalunya yang selalu hidup mewah dan tercukupi segala kebutuhannya lalu beberapa jam lalu ia sempat lupa akan statusnya sebagai model internasional dan sekarang ....
"Aku tidak menyesal pergi dari rumah itu hanya saja ... kenapa rasa kecewaku pada mereka belum juga hilang, ya? Padahal semarah-marahnya aku pada Sabtu, aku tidak pernah sekecewa ini dan lagi Pak Minggu— orang yang sangat kupercaya, mau membawaku ke rumah sakit jiwa."
Hahhh!!
Sudah cukup, Sel! Jangan memikirkan itu, oke!
Selama dalam masa kepergianmu, gunakan waktu ini untuk menyembuhkan segala luka yang kau dapatkan dan, iya ... bila perlu kau harus bisa menemukan apa yang sudah terjadi dalam hidupmu ini.
"Oke, taruh dimana tapi," gumamnya yang bingung sendiri, sebab untuk berdiri saja tidak bisa. Padahal disana ada paku nganggur.
Oke, daripada pusing ... dengan susah payah ia menggantungkan tas itu di gagang pintu.
"Saatnya mandi ... kau pasti bisa, Sel!" Selasa menyemangati dirinya sendiri. Ini pertama kalinya ia mandi sendiri tanpa didampingi Sabtu.
.
.
.
Lima belas menit kemudian ...
Rabu tergesa-gesa kembali ke kamarnya karena ini sudah lebih dari 5 menit dari waktu yang ia janjikan pada Selasa. Pikirnya, pasti Selasa sedang kesusahan di dalam sana.
Tapi, bagaimana caranya membantu? Kan, Selasa wanita ... hem, dilema!
"Sel, kau belum selesai mandi, ya?" tanya Rabu, meletakkan paper bag yang berisi full makanan dan satu plastik kecil berisi obat-obatan— ini yang membuatnya telat selama lima menit.
"Rabu, ya?" tanya Selasa memastikan.
"Ya, ini aku."
"Ohh, aku sudah selesai mandi, Rabu. Ini lagi keringkan rambut," ucap Selasa, mau membuka pintu tapi ia lupa jika dirinya adalah seorang wanita.
"Cepat keluar." Rabu berjalan ke arah kamar mandi. "Aku sudah membelikanmu makanan dan obat," ucapnya sambil mengetuk pintu satu kali. "Dan, aku pun ingin mandi. Gatal nih ...."
"I-iya ...."
"Ada apa?" tanya Rabu, yang mendengar suara gagap Selasa yang ada gugup-gugupnya.
"A-anu ... maaf, merepotkan ...." Selasa membungkus tubuhnya dengan handuk. "Pakaian bersihku?"
"Astgaaa!!" Rabu langsung berlari menuju ke lemari pakaiannya. "Kenapa tidak bilang dari tadi? Sudah berapa lama selesainya? Pasti kau kedinginan, ya?"
Selasa malah cekikikan di dalam sana. Ternyata dibalik kecerewetan dan kegalakan Rabu ... Rabu tipe pria yang panikkan.
Pantas saja ...
Selasa jadi melihat sekitaran kamar mandi.
Haha, sebenarnya Rabu seseorang yang berhati lembut dan memiliki tingkat empati tinggi. Kalau tidak, mana mungkin Rabu meninggalkannya begitu saja dijalanan dan dibawa oleh pria yang bernama Sabtu itu.
"Aku buka pintunya, ya?"
"Ya," kata Selasa mengeratkan handuknya. "Aku sudah pakai handuk."
Ceklak ....
Rabu hanya menyodorkan pakaian itu, badannya masih di balik pintu.
"Bisa diambil tidak?" tanyanya.
"Bisa ... bisa," kata Selasa, mengulurkan tangannya yang kurus untuk mengambil baju itu.
"Ahh, akhirnya," ucap Rabu. "Kalau sudah selesai pakai baju, panggil aku."
"Ya."
.
.
.
Rabu menggendong Selasa dengan hati-hati.
"Hah, pegangan yang kuat." Rabu bersiap menggendong Selasa. "Wangi juga ternyata," ucapnya terang-terangan. Mengendus-ngendus rambut Selasa yang sudah dikeramas.
"Yaa." Selasa jadi memegang rambutnya yang setengah basah. "Wanginya juga wanginya kamu ...."
"Hahah, iya sih." Rabu nyengir salah tingkah. "Kalau gini kan enak dilihat, mana wangi lagi." Ia memberikan cengiran kudanya saat melihat wajah Selasa yang sudah bersih, ternyata sangat manis dan, iya, cantik. "Wajahmu cantik juga," pujinya secara blak-blakan."
"Yeee, aku memang cantik dari orok kali." Selasa menepuk-nepuk pipinya yang tirus. "Hanya saja ...."
"Kurus ... kau sangat kurus, Sel. Pipimu itu hanya tulang berbalut kulit, kau mirip—"
"Hish, bisa tidak, sih!" Selasa dengan cepat memotong ucapan Rabu. "Kalau sudah memuji seperti itu jangan dijatuhkan," cebiknya.
"Hahaha, maaf." Rabu malah tertawa. "Akan kuusahakan, oke?!"
"Aku jamin usahamu tidak akan berhasil," ucap Selasa dengan kesal.
"Haha." Rabu dengan hati-hati mendudukan Selasa di atas karpet yang tidak. "Ini makannya, ini minumnya, ini obatnya." Ia menyodorkan semua itu di depan Selasa.
"Wah, terima kasih."
"Hem." Rabu beranjak dari duduknya.
"Mau kemana?"
"Mandilah."
"Ohh, Rabu, anu, tas kecilku masih didalam, bisa minta tolong ambilkan?"
"Ah, tas kecil yang tadi, kan?"
Selasa mengangguk.
"Diletakkan dimana?" tanya Rabu.
"Di pegangan pintu kamar mandi," kata Selasa.
"Oke ...." Rabu melenggang dengan santainya lalu mengambil tas itu dan langsung memberikannya pada Selasa tanpa menanyakan apa-apa.
"Silahkan, makan duluan saja," kata Rabu menyampirkan handuknya ke bahu. "Tidak perlu menungguku. Aku akan mandi dulu."
"Aku tidak mau makan sendirian," ucap Selasa. "Aku akan menunggumu," lanjutnya tanpa melihat Rabu, karena ia ingin sekali merebahkan tubuhnya yang pegal-pegal ini sebentar saja. "Aku rebahan dulu, tidak masalah, kan?"
"Ehh, sebentar!" seru Rabu, langsung berjalan menuju ke lemari. Ia menarik kasur tidur yang tidak empuk-empuk amat lalu membawanya untuk Selasa. "Pakai ini," katanya sambil menggelar kasur itu."
Selasa yang tidak melihat pergerakan cepat Rabu hanya bisa berkedip-kedip bingung dan mau tidak mau jadi menuruti perintah Rabu.
"Ada apa?" tanya Rabu, yang merasa terlalu diperhatikan secara berlebihan oleh Selasa.
"Tidak ada apa-apa." Selasa dengan cepat memalingkan wajahnya. "Terima kasih," ucapnya. Mendudukan diri di atas kasur.
"Hemm …."
***
Salam
Galuh