Chereads / RABU DAN SELASA / Chapter 33 - SEDIKIT BERDEBAT

Chapter 33 - SEDIKIT BERDEBAT

6/5/22

Happy Reading

***

"Kenapa aku membawa wanita itu kemari?" Rabu menggosok-gosok tubuhnya yang penuh daki dengan sabun.

"Bukankah aku sudah tidak mau lagi berurusan dengan yang namanya wanita lagi? Tapi ...." Rabu memutar matanya dengan malas. Sedikit banyak menyesali keputusannya yang tadi begitu nekat membawa Selasa bersamanya.

Dan, lagi tadi ia sempat melihat tumpukkan pakian kotor Selasa yang diletakkan diember pakaian kotornya ... matanya berkedip bingung melihat gaun dan pakaian dalam Selasa, bukan apa-apa— jujur ia masih tidak menyangka jika ia membawa seorang wanita lumpuh ke dalam flatnya.

"Tidak mungkin kan aku merawat Selasa sama seperti aku merawatnya dulu." Rabu mengguyur tubuhnya yang penuh sabun dengan air. "Aku tidak mau kejadian mengerikan itu terulang lagi. Aku sangat mencintainya dan lagi aku tidak mau dituduh macam-macam seperti dulu lagi. Hem, biar nanti kutanyai asal-usulnya lebih detail lagi setelah ini." 

Rabu buru-buru menyelesaikan mandinya— ada hal lain yang lebih penting dari rasa penasarannya tentang identitas Selasa, yaitu ....

"Tidak ... aku lapar!!" teriaknya dalam hati.

Hari ini tenaganya terkuras habis dan ia amat sangat frustasi memikirkan segala keadaannya yang sangat membingungkan ini. 

Oke, jangan pikirkan apapun dulu, bersikaplah seperti biasanya. "Dia Selasa ...."

Rabu mengelus-ngelus dadanya sendiri, berusaha untuk menenangkan hatinya yang tiba-tiba jadi seperti ini.

"Ayo, ayo, ayo cepat! Kita harus makan," kata Rabu mengelus perutnya yang sudah kruyuk-kruyuk. "Aku baru saja membeli makananan enak," lanjutnya amat semangat membebat handuk, menutupi setengah tubuhnya. 

.

.

.

"Sel, bangun ...." Rabu menggoyang pelan bahu Selasa yang sedang tertidur amat pulas. "Kau harus makan dulu," katanya sembari mengamati kaki Selasa yang diperban. 

Selasa hanya mengulet dan hanya suara desahan lelahnya saja yang terdengar berat.

"Bangun tidak!" Rabu mendengus lirih. Ia menarik paper bag berisi makanan dan obat-obatan supaya lebih dekat dengannya. "Kalau tidak ... aku akan mengobati lukamu dengan tanpa izinmu ...."

Deg!

Kedua mata Selasa langsung terbuka, dengan susah payah ia berusaha untuk mendudukan dirinya. Sedikit oleng, tapi ...

"Kau ini!!" Selasa berteriak gemas. Ia mengucek matanya yang terasa pedas, bibirnya mengerucut sebal. "Bisa tidak sih, jangan pakai ancaman seperti itu!"

"Habisnya susah sekali dibangunkan." Rabu mengedikan bahu dengan malas. "Kemarikan kakimu," katanya, meraih kaki Selasa. "Dan, kau makan lah dulu," lanjutnya sambil memberikan satu kotak makanan pada Selasa. 

"Kenapa tidak makan bersama saja?" tanya Selasa. Ia diam-diam saja saat Rabu mulai membuka perban di kakinya itu.

"Biar cepat saja." Rabu dengan telaten membersihkan luka Selasa.

"Maksudnya?"

"Katanya kau lelah, kan?"

"Iyaa, sih tapi ...."

"Sssttt ...." Rabu dengan gemas menyuruh Selasa untuk diam. "Jangan banyak bertanya, jangan banyak bicara dan ... diamlah. Daripada membantah terus, apa susahnya sih menuruti semua kata-kataku. Lagi pula ini demi kebaikanmu ...."

Bla ... bla ... bla ....

"Oke, ternyata Rabu benar-benar lebih cerewet daripada Senin," batin Selasa, mengerucutkan bibirnya. 

Tapi sekesal-kesalnya Selasa, tetap saja ia menuruti apa yang dikatakan Rabu. Sedikit demi sedikit ia menyuapkan makanan itu ke mulutnya, sesekali bibirnya meringis keperihan saat Rabu mengoleskan obat merah dan yaa ... selama proses itu, Selasa diam-diam saja. Ia tidak berani memprotes segala sesuatu tindakan kebaikan yang dilakukan Rabu padanya. 

"Sudah selesai," kata Rabu tersenyum senang, bergegas membereskan segala obat-obatan ini. Ia ingin segera makan malam dan istirahat … ah, tidak mungkin bisa istirahat. Ia harus menyelesaikan beberapa lukisannya terlebih dulu.

"Yaaa, terima kasih," ucap Selasa dengan ketulusan yang sesungguhnya.

"Hemm." 

"Kau makanlah." Selasa yang kali ini memberikan kotak makan itu pada Rabu.

"Yaa." Rabu menerima itu dengan canggung.

Beberapa menit ....

Terasa kecanggungan diantara mereka berdua. 

Bukan apa-apa … hanya saja, Rabu dan Selasa tenggelam dalam berbagai pikiran, spekulasi dan pertanyaan-pertanyaan yang ingin ditanyakan. 

Tapi jika terus diam-diaman seperti ini ….

"Sel?"

"Hem?"

"Boleh aku tanya sesuatu padamu?" tanya Rabu sambil mengaduk acak makanannya di dalam kotak.

"Silahkan," kata Selasa, yang sampai menghentikan suapan ke dalam mulutnya.

"Kau ini siapa sebenarnya, hem?" Rabu bertanya dengan suara penuh kelembutan. Tidak ada intimidasi disana.

"Maksudnya?"

"Aku yakin kau bukan orang gila yang kabur dari rumah sakit jiwa—"

Selasa mendengus, "Harus berapa kali kukatakan padamu, Rabu?" tanyanya merasa jengah sendiri. 

"Maksudku ... jika kau bukan orang gila lantas kau ini siapa?" Rabu berhenti mengaduk-ngaduk makananya. "Tidak mungkin 'kan kau ini bidadari yang turun dari langit?"

"Ha ha ha." Selasa tertawa samar. "Mana ada bidadari selusuh itu ...."

"Ya, itu maksudku. Jika kulihat kau yang seperti ini … sepertinya kau ini adalah orang yang cukup berada dan berstrata sosial tinggi. Walau kau kurus, jika diperhatikan lebih, kau itu punya kulit yang bersinar, wajahmu sangat bersih, rambutmu juga sangat indah dan ya ... kalau kau tak sekurus ini mungkin kau akan jauh terlihat lebih cantik dan bersinar dari ini."

"Oke, lantas kenapa kau tidak berpikir ada seorang gelandangan yang seperti ku?"

Rabu terkekeh, kemudian kepalanya menggeleng samar. "Gelandangan mana ada pakai gaun merk Gunci, tas kecil dan sepatu yang kau kenakan pun merk yang sama lantas dalaman yang kau kenakan juga merk yang sangat terkenal dan terakhir ...." Rabu menunjuk ke salah satu sudut ruangan. "Kursi roda itu dari merk Roxy, perusahaan material terbesar di dunia dan itu terkenal sangat mahal karena kualitasnya yang sangat baik dan super eksklusif."

Selasa menelan ludahnya dengan kasar. Sedikit panik tapi ia tidak mau terlihat seperti itu didepan Rabu. Pun ia tidak menyangka jika Rabu tahu semua tentang itu. 

"Aku mencurinya …."

"Ha ha ha." Rabu tertawa. Tawa ini adalah tawa mengejek yang benar-benar terdengar jelas jika ia sedang mengolok-ngolok Selasa secara nyata. "Penipu!" 

"Tidak! Aku sungguhan. Aku mencuri dari—"

"Dalam waktu semalam?" Rabu memotong ucapan Selasa dengan cepat. Ia berusaha menahan tawanya. "Dalam keadaan seperti ini? Memangnya rumah orang kaya mana yang kau curi, hem? Ohhh, atau ini adalah sedekah untuk orang cacat?"

Selasa semakin terpojok. Hidungnya mengkerut sebal. Secepatnya inikah identitasnya akan terbuka. "Jika Rabu tahu aku adalah model yang sedang jadi pembicaraan hangat, apa yang akan dia lakukan padaku?" tanyanya dalam hati.

"Lalu?"

"Hemm." Selasa menghela napas panjang. "Kau tahu semua itu?"

Rabu mengangguk samar. "Jadi siapa kau?"

"Kau sendiri siapa?" Selasa balik bertanya, matanya menatap Rabu dengan curiga. Ia tidak mau dipojokkan seorang diri seperti ini. "Semua merk yang kukenakan adalah barang eksklusif yang belum pernah diperjual belikan di negara ini. Semua itu akan keluar musim depan."

Rabu hampir tertawa mendengar itu.

"Tidak ada merk yang tercantum di gaun yang kukenakan, terus di pakaian dalamku pun tidak ada, di tas kecilku, sepatu dan kursi roda ku. Hanya orang-orang tertentu yang tahu merk itu ...."

"Jadi?" Rabu mengangkat satu alisnya. Senyum smirk penuh arti ia lontarkan pada Selasa.

"Si-siapa kau?" tanya Selasa dengan gugup.

"Aku hanya pelukis jalanan—"

"Bohong!"

"Terserah." Rabu mengedikan bahu. Tidak mau menanggapinya lebih lanjut. "Sekarang giliranku. Dari semua yang kau katakan tadi ... siapa kau?"

Selasa mendecih. "Sesuai dengan apa yang kau sangkakan. Aku orang gila yang kabur dari rumah sakit jiwa. Puas?!"

Rabu tertawa dengan geli. "Oke, baiklah. Mulai sekarang aku akan menganggapmu seperti itu ...."

"Tidak dengan ku," kata Selasa. 

Satu alis Rabu terangkat.

"Kau bukan wartawan yang sedang menyamar sebagai pelukis jalanan, kan?" 

"Heuh, wartawan?" Rabu mengedipkan matanya satu kali. Ia sedang berpikir mengenai … "Ahhh, iyaaa …."

Selasa memukul bibirnya dengan panik. Sialan!! Ini sama saja dengan membongkar identitasnya secara cuma-cuma. Apalagi Rabu adalah tipe yang sangat kritis.

"Jangan-jangn kau ini artis yang lagi terkena scandal, ya? Politikus yang sedang lari dari kejaran polisi karena korupsi? Makanya kau tidak mau kubawa ke kantor polisi atau kau ini penyanyi, yang tiba-tiba saja suaranya jadi gagap seperti ini karena trauma kecelakaan? Atau kau ini ...." 

Rabu secara refleks jadi memperhatikan ujung kepala hingga ujung kaki Selasa lebih detail lagi ...

"Ohh, kau ini pasti mo—"

Plak!!

"Awwww!!" Rabu berteriak kesakitan saat merasakan tamplekan penuh emosi di lengan kirinya. "Apa-apaan sih?" tanyanya sambil mengusap-ngusap kesal bekas tamplekan tangan Selasa yang membekas cantik di kulitnya itu.

"Aku capek!!" Selasa mendengus. Menyerahkan kotak makanan yang sudah habis isinya. "Mau tidur," katanya lagi. Bersiap akan merebahkan tubuhnya. "Aku tidur disini, kan?"

Rabu hanya menganggukan kepalanya, matanya berkedip-kedip kebingungan. 

"Kau tidur dimana?"

"A-aku masih ada kasur lagi," kata Rabu menunjuk ke arah lemarinya.

"Yaaaaa ...." Selasa merebahkan tubuhnya. Ia tidur miring, membelangkangi Rabu.

"Lho? Sudah mau tidur, Sel?!" tanya Rabu dengan polosnya.

"Hemmm ...."

"Kita belum selesai bicaranya?"

Selasa hanya diam saja.

"Oke, oke," kata Rabu. "Kalau butuh sesuatu aku ada di balkon."

Selasa mengangguk.

"Aku akan meneruskan pekerjaanku disana."

Selasa mengangguk lagi.

"Baiklah ...."

"Katakan pada Rabu, jangan tidur terlalu malam," kata Selasa, yang berusaha tetap menitipkan pesan itu pada Rabu.

"Yaaa, aku akan tidur tepat waktu. Itu kata Rabu," ucap Rabu menghela napas dengan berat. Baru juga ada teman ngobrol, eh, malah ditinggal tidur. 

Huh!

Selasa mengangguk.

"Biasa tidur dengan lampu dimatikan atau dihidupkan?"

"Dimatikan "

"Oke."

Rabu mematikan satu lampu kamarnya dan menyalakan lampu yang di balkon. Ia bersiap akan bekerja lagi.

****

Salam 

Galuh