13/3/22
Happy Reading
***
Nut .. nut … nut!
Lampu hijau ....
"Hahaha, maaf, maaf," kata Rabu membungkukkan badannya dengan segan, karena sudah membuat keributan dan ketidaknyamanan sepagi ini.
"Maafkan aku." Rabu mengelus sayang pucuk kepala Selasa.
Selasa refleks mendongak, dahinya lagi-lagi mengernyit bingung.
"Oke, kau punya orang tua tidak?" tanya Rabu yang kemudian mendorong kursi roda wanita itu sedikit cepat karena waktunya tinggal 5 detik lagi menuju lampu merah.
Selasa menggeleng cepat.
"Ohh … artinya sudah meninggal?"
Selasa mengangguk mantap lalu mengangkat kedua jarinya.
"Dua-duanya?"
Selasa mengangguk lagi.
"Oh, yatim piatu?"
Hemm … Selasa jadi mencebikkan bibirnya dengan sebal.
"Aku tinggal satu."
Selasa mendongak, matanya berkedip penasaran.
"Tinggal Papa," cengirnya mengelus gemas dahi Selasa.
Selasa membulatkan bibirnya. "Tidak senasib ternyata," batinnya sebal.
"Oke, baiklah." Rabu mengedikan bahu. "Walau kau bisu ternyata kau bisa merespon semua ucapanku dengan baik," katanya. "Berarti kau tidak tuli," lanjutnya mengambil kesimpulan sendiri.
"Huhh, aku bisa bicara." Selasa mendengus dalam hati. "Hanya malas saja," lanjutnya lagi. "Apalagi aku belum mengenalmu."
Ehhh, tunggu … tunggu!
Selasa lagi-lagi mendongak.
"Tidakkah dia mengenal siapa aku?" tanyanya dalam hati dengan kedua alis tertaut bingung.
"Apa?" tanya Rabu menghentikan kursi roda itu depan loket pembelian tiket.
Selasa menggeleng, gerak bola matanya mengikuti gerak tangan pria itu saat terulur masuk ke sebuah lubang kaca dan tidak lama tangan itu keluar dengan dua tiket di tangannya.
Deg!
Eh?
Kok dua?
Aku mau dibawa kemana?
Refleks Selasa memegang tangan Rabu saat dia menerima dua tiket itu.
"Apa?"
Selasa menunjuk dua tiket itu.
"Kau ikut denganku dulu," kata Rabu, memberikan senyum terbaiknya.
"Hermm?!" Selasa mendongak. Ia ingin berteriak. Tidak mau ikut dengan pria asing ini.
"Aku bukan orang jahat," kata Rabu menjalankan kursi roda itu lagi.
Selasa memukul-mukul pegangan kursi roda dengan panik saat pria itu berhenti disalah satu peron kereta.
"Apa lagi, sih?" Rabu mendengus lelah. "Tenanglah. Lima menit lagi keretanya akan datang, ok."
Selasa lagi-lagi mendongak, matanya berkedip sayu. Ia ingin protes tapi tidak bisa mengeluarkan suaranya dengan baik. "Harm, harm, ti-ti-tidak ma-u-mauu," katanya terbata-bata.
"Tidak jelas," ucap Rabu. "Kau bisa tenang sedikit? Aku ini bukan orang jahat," katanya lagi, ia lalu mempuk-puk sayang kepala Selasa. "Percayalah padaku. Aku tidak akan berbuat macam-macam pada orang gila yang lumpuh seperti mu, oke?!"
"W-hat-what!!!" Selasa menggeram marah. "Hi-hish, a-ku-aku—"
Dari arah selatan terdengar suara kereta melaju dengan kecepatan pelan.
"Itu sudah datang," kata Rabu dengan semangat.
Selasa menahan laju kursi rodanya dengan sepenuh tenaga. Ia tidak mau ikut kemanapun laki-laki ini pergi. "Argh, jangan-jangan aku akan dijual kemucikari!" batinnya semakin panik.
"Kau bisa tenang sedikit tidak!!" sentak Rabu, menghentikan kursi rodanya yang sudah berjarak satu meter dengan pintu masuk mereka.
Selasa langsung terdiam.
Semua orang melihat Rabu dengan tatapan tidak suka. Mereka pikir, Rabu adalah pria paling jahat, yang dengan teganya membentak wanita lumpuh yang selusuh itu.
"Aku tidak akan berbuat jahat padamu." Rabu menghembuskan napasnya. "Kalau kau tidak mau ku tolong, aku akan meninggalkanmu sendirian ditempat ini. Terserah kau! Aku tidak peduli kau mau mati bunuh diri atau mati diperkosa oleh pria diluar sana." Rabu melangkahkan kakinya ke depan wanita itu. "Lihat!!" sergahnya menunjuk luka itu. "Kalau itu tidak diobati segera, kakimu bisa diamputasi dan kesempatanmu untuk bisa jalan semakin kecil. Kau mau satu kakimu dipotong, hah!! Dan kau tidak bisa berjalan lagi selamanya?! Itu yang kau mau?!"
Dimarahi sebegitu emosionalnya oleh pria yang tidak dikenalnya ini membuat Selasa kebingungan sendiri, tapi entah mengapa ia bisa merasakan kepeduliannya yang amat besar untuknya yang lumpuh ini.
"Kau jangan keras kepala seperti ini, bisa?!"
Suara peringatan kereta akan berangkat berbunyi.
Selasa bingung, mau mempercayai pria ini atau tidak? Tapi kalau benar semua yang dikatakan pria itu terjadi bagaimana? Bukannya mati dengan tenang justru ia akan mati dengan arwah yang penasaran ingin balas dendam karena diperkosa dan yang bikin mirisnya lagi …
Sudah lumpuh, diamputasi lagi!
Ya Tuhan, ia akan jadi hantu yang gentayangan model apa nanti?!
Tiba-tiba saja ia merinding, memikirkan segala kemungkinan yang terjadi pada tubuhnya ini!
Tidak, ia tidak boleh mati sia-sia dan jangan sampai mati ditangan para preman gila itu!!
"Walau kau orang gila dan bukan orang yang kukenal, niatku hanya ingin menolongmu. Tidak lebih. Dan, apapun masalah yang kau punya, aku mau kau harus tetap hidup, ok?!"
Rabu melihat pramugari yang memberi isyarat jika pintu kereta akan ditutup.
"Aku pergi," kata Rabu, menatap mata gadis itu. "Dan, untuk alasan apapun, aku tidak mau mendengar berita bunuh diri. Apalagi itu berita kematianmu karena aku tidak mau sedikitpun terlibat dengan pihak kepolisian lagi, mengerti?!"
Sebelum Rabu membalik badannya, ia menyempatkan diri mengelus-ngelus perhatian kepala gadis itu. "Jaga dirimu baik-baik," ucapnya.
"Ermm …." Selasa meraih tangan pria itu. Entah mengapa, matanya berkedip penuh penyesalan. Ia jadi tidak mau tinggal oleh pria asing ini.
Rabu membuang muka, ia melepas tangan wanita itu dengan perlahan kemudian membalik badannya.
"Tunggu!"
Deg?!"
Rabu membalik badannya. "Kau?!" Dahinya mengernyit tidak percaya. "Tidak bisu?!"
Selasa menggelang. "Hermm … m-ma-ma-maaf," ucapnya dengan susah payah, minta maaf duluan. Ia menekan-nekan lehernya, perasaan tadi mudah sekali untuk berteriak.
"Tuan …." Pramugari yang memang hafal dengan wajah Rabu, segera memanggilnya. "Anda ikut kereta ini tidak?"
"I-iyaaa, ikut," kata Rabu, "Ikut denganku?"
Selasa mengangguk pasrah.
"Oke." Rabu menarik kursi roda wanita ini lagi. "Kau ikut denganku, ok?!"
.
.
.
Sesampainya di dalam kereta, Rabu mendudukan diri di kursi panjang khas kereta jarak pendek. Tidak ramai, karena ini memang kereta yang berangkat paling pagi.
Rabu mengarahkan kursi roda wanita itu untuk berhadapan dengannya. Ia tersenyum dan refleks membenarkan rambut yang menutupi wajah wanita itu.
"Oiya, siapa namamu?" tanya Rabu.
Selasa hanya diam saja.
"Ah, iya tidak bisa bicara lancar iya?" Rabu meraih tas selempang yang ia taruh di pangkuan wanita itu. Mencari buku dan pulpen. "Pasti kau tadi refleks berteriak karena takut ku tinggal sendirian, kan?" Rabu tertawa samar. "Dasar keras kepala," katanya lagi sambil menyerahkan buku sketsa dan pulpen miliknya.
"Ingat namamu tidak?"
Selasa mendengus sebal saat melihat wajah pria yang menyebalkan ini.
"Ahh, aku lupa," kata Rabu. "Tapi kau bisa menulis, kan? Ingat huruf abjad tidak? Ohh … jangan bilang kalau kau—"
Srak!
Selasa meraih buku dan pulpen itu dengan sebal.
SELASA!!!
Ia menulis namanya dengan huruf kapital besar, di belakangnya selain tanda seru ia juga menambahkan emoticon orang yang bertanduk marah, ada asap-asapnya disana.
"Selasa …," ucap Rabu, mengangguk ringan. Senyum gemes terbit di sana saat melihat emoticon yang terlihat imut itu. "Hem, nama yang bagus," lanjutnya yang tidak pelit pujian, lalu melihat wanita yang bernama Selasa itu.
Selasa mencebikan bibirnya, ia pun ingin tahu nama pria di hadapannya.
"Apa?" tanya Rabu yang bingung sendiri melihat isyarat mata Selasa yang ingin menanyakan sesuatu padanya.
Selasa menunjuk dada pria itu.
"Ohh, namaku?!" Rabu baru mengerti maksud isyarat itu.
Selasa mengangguk dengan cepat.
"Rabu ...." Rabu tersenyum ramah. "Rabu Sore hari, kau?!"
"Se-selasa La-lang-langit … hakhh…" Selasa menekan-nekan lehernya.
Argh, kalau tidak sering bicara bisa dikira bisu sungguhan dirinya nanti.
"Tenang-tenang," kata Rabu, meraih tangan Selasa yang memberi tekanan kuat pada lehernya sendiri. "Selasa Langit Malam, benar?"
Selasa mengangguk, matanya berkedip kaget, "Kok bisa tahu?" tanyanya dalam hati.
"Feeling saja," jawab Rabu yang paham akan kedipan mata Selasa.
"M-m-mau memb—"
"Aku akan membawamu ke tempat kerjaku dulu." Rabu dengan cepat memotong ucapan Selasa karena tidak tega mendengar kegagapannya.
"Ke-kerja—"
"Aku seorang pelukis jalanan." Rabu menunjuk ke arah pangkuan Selasa.
Selasa mengikuti arah jari Rabu, matanya berkedip kaget.
Pelukis jalanan?!
Astaga!! Jangan-jangan Rabu adalah pelukis porno lagi?!
Ya Tuhan, baru saja ia percaya pada kebaikan Rabu, eh … malah sudah dibuat berpikiran negatif lagi.
Kalau benar Rabu pelukis porno, lalu bagaimana caranya kabur dari pria yang sudah berhasil membuatnya merasa bersalah tadi?
"Kau tahu dimana tempatnya?"
Selasa hanya diam saja.
Jujur, hatinya jadi ketar-ketir saat ini. Ia jadi merasa menyesal kabur dari rumah.
Hah, lebih baik ke rumah sakit jiwa daripada jadi model lukisan porno pria yang tidak dikenalnya ini.
"Di Art Place distrik A."
Deg!
***
Salam
Galuh