11/3/22
Happy Reading
***
Benarkan, kursi rodanya tidak mau jalan.
Mana berhentinya ditengah jalan lagi.
"Merepotkan saja." Rabu mendengus sebal.
Ia kesal sendiri melihat betapa repotnya wanita kursi roda itu yang sedang berusaha menjalankan kursi rodanya yang tidak mau jalan.
Hem!
Rabu membenarkan segala macam tas yang tergantung di bahunya, dan refleks ia melihat kedua tangannya yang tidak bebas— maksudnya kedua tangannya ini sudah penuh membawa barang bawaannya sendiri dan jika harus menolong wanita kursi roda itu …
Hahhh … sungguh pagi yang merepotkan, bukan?
Jika ia tidak memikirkan keadaan wanita itu, harusnya ia sudah mengantri tiket kereta sejak tadi.
Dan lagi, kalau dilihat-lihat, sepertinya … em, wanita kursi roda itu bukanlah korban pemerkosaan yang sempat dikhawatirkannya tadi.
Tapi tidak tahu juga sih? Belum jelas juga status keadaan wanita itu.
Ahh, mungkin saja ... kenapa penampilannya bisa selusuh itu karena dia baru saja jatuh ke lumpur atau … em, dia terjerembab ke parit … iya, bisa saja, kan?!
Entahlah!
"Untuk apa aku memikirkan wanita itu. Toh, dia bukan siapa-siapanya aku." Rabu mengedikkan bahu. "Lagian kalau mau bunuh diri juga bukan urusanku, kan? Aku sudah sangat lelah memikirkan banyak hal tentang ... mengapa orang-orang yang berputus asa senang sekali mengakhiri hidupnya."
Rabu membalik badannya, kembali meluruskan pikirannya, dan tidak mau memikirkan keadaan wanita itu lebih jauh lagi.
Ada peliharaan di dalam perutnya yang jauh lebih membutuhkan perhatiannya saat ini.
Oke!
Belum juga seluruh tubuhnya berbalik badan tiba-tiba saja ...
Tin … tin … tin!
Deg!
"Hehhh, awas!! Minggir, bodoh!!" Rabu refleks berteriak kaget pada wanita kursi roda itu saat melihat pengendara sepeda motor yang dari arah berlawanan tiba-tiba saja melaju di tengah-tengah jalan dengan kecepatan pelan.
Memang di jembatan ini peraturannya— siapa pun yang menggunakan kendaraan bermotor, kecepatannya harus dibawah 40 km/per jam karena jembatan ini memang dikhususkan untuk pejalan kaki dan orang-orang disabilitas.
"Dasar si bodoh yang ceroboh." Rabu mengumpat lirih, matanya berputar malas karena tadi sempat mencemaskan wanita itu.
Jujur, ia sedikit takut jika pengendara motor itu akan menabrak wanita kursi roda yang di matanya benar-benar ingin mati.
"Maafkan saya, nak," kata si pengendara motor yang tadi dengan sigap mengerem motornya. Pengendara motor itu tahu jika dia memang bersalah, maka dari itu dia yang meminta maaf duluan. "Kau tidak apa-apa?"
Walau samar, wanita itu terlihat menggelengkan kepalanya.
"Aku tidak melihatmu tadi. Hati-hati dijalan lain kali, nak."
Wanita itu hanya mengangguk dan iya … dia tetap diam ditempat.
Ayolah, siapa saja! Ku mohon tolonglah dia?!
Please, jangan mengharapkan laki-laki seperti dirinya untuk menolong wanita yang tak berdaya itu.
"Ayolah, aku akan sangat sibuk hari ini. Aku harus mengejar uang secepatnya!!" Rabu berteriak kesal didalam hati.
Ia melihat orang-orang yang dengan santainya tetap berjalan mengejar waktu masing-masing tanpa ada niatan membantu wanita kursi roda itu.
Astaga!!
Kalau aku tidak membantu kemungkinannya hanya ada dua." Rabu mendengus kesal untuk segala hal dipikirkannya ini.
"Pertama, aku akan mendengar berita kasus bunuh diri, dan setidaknya aku akan menjadi saksi mata atas kematian wanita itu." Rabu menghela napas, "Tidak! Itu sungguh sangat merepotkan aku nantinya!"
Rabu menggelengkan kepalanya, tidak mau terlibat lagi dengan pihak kepolisian untuk urusan kriminal. Cukup saat itu saja, tidak dengan saat ini. Apalagi harus menjadi saksi orang yang mati karena bunuh diri.
Tidak mau!
"Kedua, jika tidak ada yang membantu wanita itu, pasti seharian ini dia akan ada disitu terus dan masih berkutat dengan kursi rodanya yang tidak mau jalan."
Hish, Rabu mendesahkan napas lelahnya.
Kenapa ia harus bimbang seperti ini sih?
Bantu iya bantu! Tidak iya tidak! Yuk, tinggalkan saja!
"Hahhh, tapi … tapi …."
Kedua mata Rabu melihat iba pada wanita itu, dia masih berusaha keras menjalankan kursi rodanya. Mana tangannya kecil banget lagi!
"Argh … kalau aku yang membantunya …."
Rabu memutar kedua matanya dengan kekesalan yang sesungguhnya, ia melihat jam yang melingkar di tangan kanannya.
"Oke, masih jam 5.45, masih ada waktu untuk membawanya ke kantor polisi tapi nanti akan keluar biaya lagi untuk naik kereta, mana aku tidak ada uang lebih lagi." Ia semakin bimbang. "Dan lagi, kalau aku sekarang membawanya ke kantor polisi, waktuku akan habis percuma menolong gadis itu dan aku tidak akan mendapatkan uang banyak hari ini … terus kalau misalkan ini … itu …."
Arghhh!!
Tanpa sadar Rabu berteriak jengah pada dirinya sendiri yang tidak bisa mengacuhkan wanita kursi roda itu …
Sialan!!
Jangan sampai kejadian gila itu terulang lagi!
Jika aku tidak bisa menyelamatkan 'dia' yang kusayangi, setidaknya, sekali dalam hidup aku harus bisa menyelamatkan nyawa orang lain
Oke?!
Atas dasar kemanusiaan!
Rabu melangkah kaki dengan amat berat. Ia mencoba secuek mungkin berjalan mendekati wanita kursi roda itu.
Tanpa aba-aba, tanpa permisi dan tanpa mengatakan apa-apa, ia langsung meletakkan beberapa peralatan lukisnya di pangkuan wanita itu lalu memegang pegangan kursi roda yang otomatis membuatnya mendongak panik.
Gadis itu meronta dalam diamnya namun...
Rabu tidak peduli dengan gerakkan panik wanita itu.
Niatnya hanya menolong tidak lebih.
"Bisa diam?" Rabu mendengus.
Tapi ... wajar, sih! Siapapun orangnya pasti akan ketakutan dengan gerakannya yang tiba-tiba seperti ini.
Rabu dengan sigap menarik kursi roda itu untuk menepi. "Ahhh, susah sekali," katanya mengeluh sebal. "Ini kursi rodanya, terlihat masih baru, lho … dan ini, aihh, ayolah .. jangan rewel, ok. Jalan ayo … ayo, malu dilihat orang …"
Wanita itu hanya bisa mendengar gerutuan dari pria yang tidak dikenalnya ini tanpa bisa membalas keluhannya sedikit pun.
Suara pria ini benar-benar terdengar sangat khas. Seperti ada bassnya namun sangat lembut. Apalagi kalau bicara seperti seorang rapper, cepat namun sangat tegas.
Jadi setiap kata yang keluar dari mulutnya terdengar dengan jelas aiueo-nya.
Keren!!
Apa dia seorang rapper jalanan?!
Wanita itu tanpa sadar sampai menggerakkan bibirnya— mengikuti celotehan pria asing yang belum dikenalnya ini.
"Hish, rodanya pasti slip nih." Rabu sudah berhasil menepikan wanita kursi roda ini.
Heuh?!
Memang slip!
Wanita itu mencebikkan bibirnya.
"Kau ini bisa tidak sih jangan menyusahkan orang lain." Rabu berjongkok di depan wanita itu untuk melihat salah satu rodanya.
Siapa juga yang menyusahkanmu?
Kenal saja tidak, tahu-tahu kau sudah membawaku ketepian.
Dasar orang aneh!
Wanita itu yang giliran menggerutu dalam hatinya.
"Ahh, benarkan," ucap Rabu yang antara lega dan tidak lega saat mengambil potongan kayu panjang pipih di sela-sela jerujinya. "Tuhh .. lihat ini? Kau itu harusnya lebih berhati-hati lagi … bla … bla … bla."
Dahi wanita itu berkerut-kerut bingung mendengar semua celotehan pria asing yang tidak ada hentinya ini.
Mana dirinya dikatakan 'wanita bodoh yang ceroboh lagi!
Sialan!!
Kenal saja tidak! Sudah berani menyebut nama Selasa Langit Malam dengan sebutan wanita bodoh yang ceroboh!
Heh, siapa kau, hah!
Berani-beraninya, kau!
Selasa ingin mengatakan itu namun ia tidak mau mendebat siapapun, karena ini tempat yang asing untuknya dan lagi sekujur tubuh bagian atasnya sangat pegal karena ia baru saja mengalami insiden mengerikan tadi malam saat baru saja melarikan diri dari rumahnya sendiri.
"Kau tidak apa-apa?" tanya Rabu yang pada akhirnya berpuh lelah. Lelah karena dari tadi ia bicara terus namun wanita ceroboh nan kucel ini sama sekali tidak bicara sedikitpun.
Selasa mengedipkan matanya, menatap penasaran mata kebiruan laki-laki di depannya ini.
Hem … laki-laki asing yang datang dari antah berantah! Cerewet dan bawel!
Huh, mana seenaknya meletakkan semua barang-barang lusuh ini di pangkuannya lagi!
Memang dirinya troli barang apa?!
Dasar orang gila aneh!
Selasa mendesah samar. Matanya berputar melihat langit luas yang mulai terang.
Hem …
Lagi-lagi usaha bunuh dirinya selalu gagal.
Harusnya ... tadi saat ia melewati gedung kosong yang ada di pinggir jalan, ia masuk saja ke dalam sana dan melompat dari lantai mana saja, yang penting dirinya bisa mati dengan tenang.
Atau, paling tidak harapannya bisa terkabul jika pengendara sepeda motor tadi menabraknya hingga terpental jatuh ke bawah sana dan tubuhnya ditabrak kereta yang baru saja lewat.
Dan, lagi … jika pria asing yang cerewet ini tidak menarik kursi rodanya ketepian, ah, bisa saja ia loncat sendiri kesana.
Huh, anehnya lagi … kenapa sih pria ini harus peduli pada orang lumpuh seperti dirinya?
Bisa tidak sih, jangan mempedulikannya sedikitpun.
Kalau jalan iya jalan saja! Jangan tolah-toleh, jadi pria ini tidak perlu menolongnya seperti ini.
"Aku melihatmu barusan," dengus Selasa dalam hati, matanya mengerjap pegal saat melihat langit pagi yang mulai cerah.
Ia menurunkan pandangannya dan langsung dihadapkan dengan mata biru pria yang sejak tadi terus mengawasinya seperti ini.
"Harusnya kalau mau pergi, iya … pergi saja tadi, tidak perlu sok jadi pahlawan! Aku tidak membutuhkanmu. Gara-gara kau, aku tidak jadi mati lagi, huh," ucap Selasa semakin menggila dalam hati, matanya menatap sinis pada pria asing itu.
"Kau mau kemana?"
***
Salam
Galuh