8/3/22
Happy Reading
***
Setelah dua hari …
Minggu datang kerumah Selasa seperti biasanya. Ia baru saja bertemu dengan Monthly didepan gerbang mansion Selasa untuk menyerahkan sebuah dokumen penting, setelahnya Monthly pergi lagi, entah kemana. Dan, dokumen yang diberikan Monthly ia simpan rapi di dashboard mobilnya.
Saat masuk ke dalam … wushh!
Hening!
Tidak ada teriakan, tidak ada makian dan tidak ada perdebatan gia yang terdengar.
Tumben sekali, padahal ini masih jam … em?
Minggu melihat jam yang melingkarkan di tangannya, "Jam 10 pagi."
Wah, ada apa nih?
Minggu menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal.
Dan juga, tidak ada tanda-tanda keberadaan Senin yang biasanya ada di dapur untuk memasak makan siang untuk Selasa.
Atau jangan-jangan Senin sedang memandikan Selasa.
Hah, syukurlah jika Selasa dalam keadaan tenang— padahal semalam kata Senin, waktu ia tanya apakah Selasa sudan tidur atau belum di jam dua malam, jawaban Senin, belum tidur.
Ia pikir akan ada keributan heboh seperti hari-hari sebelumnya.
Tapi, syukurlah.
Minggu meletakkan tas kerjanya di sofa. Baru saja ia akan duduk untuk melepas penat dan lelahnya, tiba-tiba saja pintu kamar Selasa terbuka.
Wajah Minggu dibuat seceria dan sesemangat mungkin, ia berharap jika yang keluar itu nantinya adalah Selasa yang sudah kembali normal.
"Haii!!" Minggu menyapa dengan penuh semangat saat melihat sebuah roda kecil keluar dari sudut pintu dan…
Harghh! Minggu berteriak kesal dalam hatinya, ternyata itu Senin yang keluar dengan membawa kursi roda tanpa ada Selasa yang duduk disana.
"Sssttt …." Senin menyuruh bosnya untuk diam saat mendengar geraman Minggu. "Selasa baru saja tidur," lirihnya, menutup pintu kamar itu dengan pelan, lalu melihat Minggu yang terlihat kesal akan sesuatu.
"Pak Minggu kenapa?!" tanya Senin mendorong kursi roda, dan menaruhnya di salah satu sudut ruangan.
"Kenapa kursi rodanya?" Minggu balik bertanya.
"Oh, ini. Tadi bannya tidak bisa digerakkan."
"Lalu?!" tanya Minggu sedikit khawatir, ia akan beranjak dari duduknya tapi Senin justru berjalan ke arahnya dan memintanya untuk duduk lagi.
"Aku sudah pesan kursi roda baru, Pak." Senin tertawa samar, sangat lucu saat melihat wajah bosnya yang terlihat pucat seperti itu. "Pak Minggu tidak perlu khawatir."
"O-oh, oke baiklah."
Senin mengambil segelas air seperti biasanya dan memberikannya pada Minggu.
Minggu menerima gelas itu. "Ada apa lagi, Sen?" tanyanya saat Senin sudah duduk dengan nyaman. Wajahnya terlihat lelah bercampur panik.
"Shampoo, Pak."
"Heuh?" Dahi Minggu berkerut heran. "Ada apa dengan sampho?"
"Tadi Selasa hampir saja menghabiskan isi sampho yang tinggal setengah, Pak." Senin mengibas-ngibaskan bajunya yang sangat wangi. "Bapak mencium bau wangi yang sangat menyengat tidak?"
"Astaga!!" Minggu bisa mencium bau harum yang sangat menyengat itu.
Hem, selama dua hari ini, minus pagi ini, ia selalu mendengar kabar dari Senin jika tingkah Selasa semakin menggila dan ada-ada saja.
"Tapi tidak terminum, kan?"
Senin mengedikan bahu, yang artinya tidak tahu. "Aku merogoh mulutnya tadi. Dia sempat muntah, Pak. Tapi … mulutnya jadi wangi. Lihat, Pak." Senin mengulurkan tangannya. "Ini digigit Selasa tadi."
"Ya, Tuhan!" Minggu melihat miris pinggiran telapak tangan Senin yang mengecap gigitan Selasa. "Ok, keputusanku sudah bulat."
"Heuh?"
"Dia sudah bisa menyakiti orang—"
"Tidak sadar, Pak," ucap Senin dengan cepat. "Itu hanya bentuk pembelaan dirinya," lanjutnya tidak mau jika Selasa disalahkan dalam hal ini.
"Tidak sadarnya Selasa ... lama-lama akan jadi kebiasaan, Sen!" Minggu mengutarakan pendapatnya. "Rasa tidak sadar itu akan membawa dampak buruk pada kita semua. Bukan hanya kita tapi juga pada diri Selasa sendiri."
"Heuh?" Dahi Selasa mengernyit bingung.
"Yaa … dia sudah melihat dengan jelas jika giginya sendiri bisa juga membuat tubuh seseorang terluka."
"Maksud bapak?" Senin belum paham kemana arah pembicaraan ini.
"Maksudku, tidak bisa dipungkiri hal itu juga akan dia lakukan pada dirinya sendiri."
Selasa menelan ludahnya dengan susah payah.
"Awalnya dengan gigi jika tidak mempan lama-lama dia akan mencakar seluruh tubuhnya dengan jari-jarinya lalu dia akan menjambak rambutnya sendiri jika tidak berhasil bunuh diri dengan bantuan alat apapun," jelas Minggu panjang lebar, tidak ingin membuat takut. Ini adalah sebuah kenyataan yang nyata, bukan main-main lagi.
"Selasa tidak akan melakukan hal itu. Dia tidak akan bertindak sebodoh itu." Senin menyanggah ucapan Minggu.
"Memang dia tidak akan sebodoh itu tapi jika kita biarkan dan memaklumi itu semua, dengan alasan tidak sadar bisa-bisa dia benar-benar akan melukai tubuhnya dengan apa yang kukatakan barusan. Depresi tidak boleh kita anggap enteng, Sen. Kita sudah membicarakan masalah ini sebelumnya, kan?!"
"Iya, Pak. Aku mengerti."
"Ini." Senin meletakkan sebuah map berwarna merah di meja.
"A-apa?"
"Rumah sakit sudah menyetujuinya."
Deg!
Senin melihat Minggu lalu melihat map merah itu.
"Kita bisa membawanya besok ke rumah sakit jiwa yang sudah kusepakati dengan dokternya Selasa."
Mata Senin membulat sempurna.
"Ta-tapi, tidak bisa pelan-pelan saja, Pak? I-ini terlalu cepat. Kasihan Selasa. Aku belum mengatakan apapun padanya. Di-disana dia tidak punya siapa-siapa, dan … dan, bagaimana dengan lingkungan rumah sakitnya, ka-kalau ada yang menyakiti Selasa bagaimana, pak? A-aku—"
"Sen … Sen." Minggu memanggil nama Senin berulang kali, untuk meredakan kepanikannya.
"I-ya, Pak?" Senin menatap mata Minggu penuh ketakutan.
"Aku tahu kekhawatiranmu. Aku pun merasakan ketakutan yang sama denganmu," kata Minggu. "Jika tidak sekarang kapan lagi, hem? Jangan sampai penangan kesehatan jiwanya telat, Sen. Jika kita telat menanganinya …."
Minggu menghela napas berat, ia beralih melihat foto Selasa yang amat cantik dan begitu elegan disalah dinding rumah ini.
"Aku benar-benar takut kehilangannya, Sen." Minggu tersenyum getir. "Aku sangat merindukan senyumannya itu. Kau tahu, aku ingin sekali memeluknya dan mengobrol panjang lebar dengannya lagi."
"Pak Minggu?" Senin tidak bisa menahan tangisannya lagi.
Melihat Senin yang menangis seperti itu justru membuat Minggu tertawa haru.
"Hah! Sudahlah," ucap Minggu mencoba tegar "Besok kita bawa gadisku ke rumah sakit. Dia akan mendapat perawatan selama 6 bulan disana…"
"Hahhhh?!" Senin berteriak tidak percaya. "Terlalu lamaaa!!"
"Sstt, jangan protes dulu. Setiap hari kita masih diperbolehkan untuk menjenguknya tapi tidak boleh menginap."
"Hahhhhh?!" Senin lagi-lagi berteriak tidak setuju. "Tidak mau! Pokoknya seminggu dua kali atau tiga kali aku harus menginap disana."
"Ssstt!" Minggu mendesah kesal. "Katanya bayi itu lagi tidur, kalau bangun pasti dia bikin keributan lagi."
"O-oh, iyaaa .…" Senin menutup bibirnya. "Pokoknya aku harus menginap disana?"
Minggu menggeleng.
"Pak?"
Minggu tetap menggeleng.
Di dalam kamar …
Senin dan Minggu tidak tahu jika Selasa bisa mendengar semua pembicaraan mereka dengan jelas.
"Aku tidak gila! Aku bukan orang gila! Aku bukan orang gilaa!" Selasa menggeram kesal. Ia ngesot-ngesot, berusaha menuju keranjangnya lagi. Matanya menyalak benci saat mendengar rencana jahat kedua orang itu.
"Daripada mereka membuangku ke rumah sakit jiwa lebih baik menghilang! Aku harus pergi dari rumah ini. Harus!!"
Selasa mengusap keringat di dahinya, ia sedikit lelah karena untuk pertama kalinya ia ngesot-ngesot seperti ini.
"Hiks!" Selasa menangis pilu. Ia benar-benar terluka dan tidak menyangka dengan apa yang mereka rencanakan untuknya itu.
"Bukankah aku sudah mengatakannya berulang kali …." Selasa tercekat. "Kalau aku sudah tidak butuh mereka dan tidak mau merepotkan mereka lagi. Bukankah aku sudah membebaskan mereka berdua. Ta-tapi kenapa mereka malah membuangku ke rumah sakit jiwa!"
Argghhh!
Dasar penjahat kalian berdua!!
Sok-sokan baik padaku!
Tapi, nyatanya kalian, hahaha!!
Pembohong!!
Selasa berusaha menaikan tubuhnya keranjang. Diluar sana ia bisa mendengar suara Minggu dan Senin sedang menuju ke kamarnya.
Deg!
Ceklak!
"Masih tidur, kan, Sen?"
Selasa bisa mendengar suara bosnya itu.
"Iya pak masih. Kemarilah. Lihat dia, cantikkan?"
Itu suara Senin yang terdengar begitu ringan. Haha, kau pasti senang, kan? Sudah berhasil membuangku ke rumah sakit.
Sial! Jadi selama ini kau pura-pura baik padaku, Sen!!
"Haha iya sangat cantik."
Selasa bisa merasakan usapan lembut jari Minggu di pipinya.
"Boleh, kucium iya?"
Deg!
Tidak boleh! Jangan sentuh aku bajingan tengik!
"Boleh, tapi pelan-pelan, Pak. Takut bangun."
Cup!
Selasa bisa merasakan bibir Minggu yang mengecup dahinya. Agak lama. Tapi ini ciuman ini benar-benar sangat hangat.
Cup!
Cup!
Ciuman kedua jatuh di kedua pipi kanan kirinya, kali ini ia bisa merasakan jika ciuman ini jenis ciuman yang romantis.
Dan, Selasa bisa merasakan usapan lembut di bibir bawahnya.
"Kembalilah, sayang."
Selasa bisa mendengar bisikkan dari Minggu yang penuh arti.
"Kau harus kembali padaku secepatnya, hem. Ada banyak hal yang mau kutunjukan padamu."
Deg!
"Dan, aku berhutang banyak hal padamu."
Hu-hutang?!
"Jadi kembalilah secepatnya supaya aku bisa membalas semua hutangku padamu."
Cup!
Selasa bisa merasakan kecupan yang sangat hangat dan begitu dalam di kedua mata dan hidungnya.
"Aku pergi."
Selasa bisa mendengar suara itu.
"Aku akan menjemputnya besok."
Minggu berpamitan untuk pergi.
"Jaga dia baik-baik."
Ceklak!
Pintu kamar tertutup kembali.
Selasa membuka matanya. Kedua matanya bergerak kaget.
Apa-apaan tadi?!
Apa yang mau Pak Minggu tunjukkan padaku?!
Pak Minggu punya hutang apa padaku?!
Jangan pikirkan hal itu, Sel!
Yang dikatakan Pak Minggu barusan pasti hanya untuk membuatmu tetap tinggal, dan dengan sesuka hati dia akan membuangmu ke rumah sakit jiwa.
Kau harus pergi dari rumah ini!
Pergilah, Sel!
***
Salam
Galuh