10/3/22
Happy Reading
***
Dari balkon berukuran 4×2 meter lantai tiga di flat sederhana yang Rabu tinggali, terlihat jelas jika pria tampan itu sedang berdiri malas-malasan dengan kedua tangan menyangga pada pembatas besi balkon.
Dari sini ia bisa melihat keindahan cahaya kemerahan yang baru saja muncul di ufuk timur dan tidak jauh dari matahari yang terbit itu, ada satu cahaya bintang yang berkedip-kedip penuh kilauan keperakan.
"Kejora Bintang Pagi."
Matanya berkedip sendu saat melihat betapa indahnya planet Venus itu, dan tidak lama, senyumnya jadi terukir masam saat mengingat indahnya bintang kejora di langit sana tidak seindah dunia realita yang ada.
Hah, padahal ini masih pagi.
Rabu mengurut dadanya yang terasa tak enak hati— untuk sejenak rasa gelisah merambat ke relung hati terdalamnya.
"Ada apa lagi ini?!" Rabu menepuk-nepuk dadanya dengan pelan untuk mengusir segala kegundahannya yang ia dapat dipagi hari ini.
Menyebalkan sekali!
Harusnya pagi yang indah ini diawali dengan rasa bahagia dan semangat, bukan diawali dengan rasa tak enak hati seperti ini.
Sialan!!
Rabu memutar kedua bola matanya yang sepet karena terlalu lama memandangi cahaya itu.
"Ah, sudah lah," gumam Rabu menyugar rambutnya yang baru saja disemir hitam kebelakang. "Jangan berpikiran macam-macam lagi," ucapnya. "Lebih baik nikmati saja apa yang ada di depanku saat ini."
Mata biru safirnya terlihat amat jantan jika sedang memandangi keindahan yang tersuguh secara gratis itu.
Sebenarnya melihat matahari terbit atau tenggelam seperti ini sudah menjadi rutinitas wajibnya setiap hari, tapi … tapi rutinitas ini ada syarat khususnya ....
Satu, jika Rabu tiba-tiba terbangun dari tidur panjangnya, ia baru bisa melihat matahari terbit.
Dua, jika Rabu belum tidur semalaman, biasanya untuk membuat matanya lelah ia akan melihat matahari pagi hingga puas.
Tiga, jika Rabu tidak tidur pada siang atau sore hari, pasti ia bisa melihat matahari terbenam.
Empat, jika Rabu belum pulang dari Art Place dan tidak ketiduran di sana, ia bisa melihat matahari terbenam.
Lima, em … intinya saat Rabu belum memejamkan mata, ia akan bisa melihat sunrise atau pun sunset sepuas hatinya.
Hoamm …
Rabu menguap, yang artinya … ritual paginya sudah cukup dan iya … pada akhirnya, ia memutuskan untuk kembali merebahkan tubuhnya yang sangat malas untuk digerakkan ini.
"Ini masih terlalu pagi untuk melakukan aktivitas fisik." Rabu mengangkat kedua tangannya tinggi-tinggi keatas, merenggangkan ototnya yang tegang.
"Aku masih ngantuk dan yeahhh!" teriaknya bersemangat, "Aku belum lapar dan cacing didalam sini belum menabuh genderang kelaparan," lanjutnya menepuk-nepuk perut ratanya yang sedikit otot.
"Kita lanjut tidur, ok?!"
Rabu berjalan menuju kasur lipatnya yang beralaskan tikar.
"Hah, akhirnya …"
Baru saja jempol kakinya menginjak ujung kasurnya tiba-tiba saja ....
"Rabuu …"
Deg!
Aghh!!
Itu suara Kak Langit, pria paling tampan seflat ini, katanya para gadis yang tinggal di flat sebelah, sih.
Huh, padahal dilihat dari sisi manapun, ia termasuk dalam jajaran pria paling tampan dan seksi di flat ini. Dan, lagi umur Kak Langit empat tahun lebih tua darinya.
Kak Langit, om-om dong, haha.
Oke, Om satu ini memang belum menikah dan menurut kabar burung yang beredar, Kak Langit juga masih single alias free boy— tidak punya pacar, crush atau apapun itu namanya.
Kak Langit ini tinggal di sebelah kamarnya persis, orangnya tidak kepo'an alias tidak pernah mau ikut campur urusan orang lain. Hanya saja, setiap hari sebelum berangkat kerja pasti Kak Langit selalu menyapanya terlebih dulu.
Entah, apa motivasi Kak Langit menyapanya setiap pagi seperti ini.
"Yaa, Kak?" Rabu dengan malas berjalan kearah pintu, membukanya dan hanya melongok. Matanya yang sayu-sayu ngantuk dan lelah langsung tertuju pada Langit yang sedang memakai sepatu di pucuk tangga atas.
"Ini hari sabtu," kata Langit, mendongak sebentar— menghentikan aktivitasnya memakai sepatu untuk melihat Rabu yang pasti … iya, seperti biasanya.
Tidak memakai baju dan hanya memakai celana bokser pendek dan hem … rambut blonde …? Lho, sudah dihitamkan, iya? Baguslah, lumayan rapi dan terlihat seperti pria pekerja keras pada umumnya.
"Kau tidak melupakan sesuatu, kan?" tanya Langit, sambil mengikat tali sepatunya.
"Heuh?" Dahi Rabu mengernyit, matanya memutar bingung. Memang apa yang sudah dilupakannya hari ini? "Kak Langit ulang tahun?" Lanjutnya bertanya dengan wajah super polosnya.
Langit menggeleng lalu tertawa amat pelan, karena ia tidak mau mengganggu waktu istirahat orang-orang yang tinggal diflat ini.
"Hari apa sekarang, Rabuu?" tanyanya dengan gemas.
Rabu semakin bingung dengan pertanyaan Langit. "Kenapa tidak to the point aja, sih. Kak Langit ini bukan wanita, lhoo! Ya kali, aku disuruh menebak-nebak sesuatu yang tidak kutahu," ucapnya dalam hati, ingin menendang Kak Langit hingga terjungkal.
Heran!
"Sabtu, Rabuu ...."
Deg?!
Langit tertawa gemas saat melihat Rabu yang memukul dahinya sendiri, bibirnya terlihat menggerutu kesal akan sesuatu yang tidak dengarnya.
"Haha, mau dapat uang tidak?"
Aishhh!
Rabu nyengir salah tingkah. Hampir saja kelupaan, untung diingatkan.
Maaf, Kak Langit?
"Dasar pemalas." Langit menggelengkan kepalanya.
Wajah Rabu mengerut kesal saat dikatain seperti itu oleh Kak Langit— padahal selama ia mengenalnya, Kak Langit adalah salah satu orang yang tidak pernah meledeknya dengan sebutan itu.
"Pasti kau lupa, kan?" Langit sudah selesai memasang kedua sepatunta lalu ia berdiri dan sedikit merapikan outfit yang dikenakannya hari ini.
"Tidak," jawab Rabu bohong, bibirnya mengerucut malas.
"Ya, cepatlah bergegas," kata Langit memberi semangat seperti biasanya pada Fabu. "Pasti setiap sudut Distrik A akan ramai pengunjung hari ini."
"Ya," cengir Rabu mendadak hilang rasa percaya dirinya saat melihat penampilan Langit yang selalu terlihat rapi dengan setelan kemeja ala pekerja kantoran. "Tanpa diberitahu, aku pun sedang bersiap-siap, kak," dengusnya tidak suka.
Rabu jamin jika ia punya uang yang sangat banyak seperti dulu, pasti ia bisa berpenampilan layaknya pria-pria parlente seperti Kak Langit, huh!
"Baguslah. Aku berangkat kerja duluan. Semoga hari ini kau beruntung dan dapat uang untuk memberi peliharaanmu makan, ok," ucap Langit menunjuk perut rata Rabu yang terlihat samar-samar garis otot perutnya.
"Yaaaaa." Rabu memanjangkan nada suaranya, tidak suka. Lagi-lagi ia mengelus perutnya yang 'tidak lapar'. "Hati-hati dijalan, Kak."
Rabu bergegas masuk kedalam, merapikan peralatan lukisnya yang dipakainya semalam untuk melukis apa saja yang sedang ada di imajinasinya semalam.
Setelahnya ia mandi seadanya, menggunakan pakaian yang, iya … cukup tampan untuk ukuran pelukis jalanan yang memiliki tingkat kepercayaan diri setinggi langit malam.
Kaos polos abu-abu kedodoran, kemeja coklat yang warnanya sudah luntur, celana jeans yang robek dibagian lututnya dan, sepatu putih yang sudah berubah warna menjadi cream.
Oke, tampan dan seksi, seperti biasanya.
Dengan rasa semangat yang tinggi, ia bergegas keluar dan…
Ah, hampir ketinggalan!
Rabu masuk kembali kedalam, "Botol air … botol air. Dimana kau? Kalau kau tidak ada, aku tidak akan bisa memberi peliharaanku minum." Ia mencari keberadaan botol air berupa termos kecil berwarna coklat luntur yang selalu dibawanya kemanapun ia pergi. "Ahh, ketemu," katanya girang meraih botol itu yang terselip di sela-sela kasur lipatnya yang tak sempat dirapikannya.
Botolnya tidak ada isinya alias kosong, dan isinya, iya … minta saja pada Paman Burjo di bawah sana.
Lagian gratis, hehe.
"Paman, aku minta air hangatnya." Rabu meminta izin dulu pada Paman Burjo, dan saat melihat Paman Burjo mengangguk, ia dengan suka hati mengisi botol termos itu.
Paman Burjo hanya manggut-manggut saja saat melihat Rabu yang sedang mengisi botol termosnya dengan air dari galon dispenser.
"Terima kasih." Rabu mengangkat botol termos yang sudah terisi air hangat.
"Yaaa … Semoga kau dapat uang hari ini, Rabuu," ucap Paman Burjo, ia tahu kalau setiap hari sabtu pasti Rabu akan berangkat sepagi buta ini. Dengan catatan jika dibangunkan oleh Langit teman sebelah kamar Rabu. "Supaya kau bisa makan enak hari ini," lanjut Paman Burjo memberi semangat membara.
"Yaa, Paman terima kasih," kata Rabu, da da pada Paman Burjo yang sudah dikenalnya selama satu tahun belakangan ini juga.
Diiringi dengan senyum secerah matahari dan semangat juang yang menggebu-gebu untuk memberi peliharaannya makanan enak, ia berlari-lari ringan melewati gang-ganh kecil— mencari jalan pintas supaya lekas sampai ke stasiun kereta terdekat.
Hah, kenapa aku jadi sangat semangat pagi ini!!
Rabu berkali-kali memberikan sapaan hangat pada sesama pejalan kaki. Pun sesekali, ia membungkukkan setengah tubuhnya pada sopir-sopir pengangkut barang yang tidak sengaja berpapasan dengannya.
Huh hah!
Rabu menarik napasnya dalam-dalam untuk menormalkan kembali hembusan napasnya yang terengah-engah, dan menormalkan detak jantungnya supaya lebih stabil lagi.
Ia pun memelankan langkah kakinya saat sudah sampai di ujung jembatan layang yang dibawahnya ada rel kereta api— jembatan ini memang jalan pintas terdekat menuju stasiun.
Jadi wajar saja jika jembatan yang diperuntukan untuk pejalan kaki dan disabilitas ini terlihat selalu ramai pada pagi hari.
Kring … kring!
Rabu melambaikan tangannya menyapa balik pengayuh sepeda itu.
Dari ujung jembatan di depan sana— yang hanya ada beberapa pejalan kaki dan pengayuh sepeda, ia bisa melihat seorang wanita kursi roda yang terlihat panik, dan jelas sekali terlihat kegelisahannya akan sesuatu.
"Ah, dia terlihat panik pasti gara-gara ketinggalan kereta. Pasti dia mau pulang lagi kerumah, cuma bingung arah jalannya," batin Rabu mengambil kesimpulan sendiri karena tidak mau ambil pusing tentang keadaan orang lain.
Toh, yang cacat fisik bukan hanya wanita kursi roda itu. Di sekitaran ini juga ada wanita yang sedang berjalan menggunakan tongkat dan tidak ditemani siapa-siapa.
Eh, tunggu dulu?!
Ada yang aneh dengan penampilan gadis yang terlihat panik, takut, gelisah, sedih dan … iya, jelas sekali terlihat jika aura yang memancar dari wanita kursi roda itu, adalah aura kesedihan karena dikhianati. Dan, em ... ada rasa kekecewaan yang amat dalam disana.
Astaga, kasihan sekali dia!
Rabu melirik sekilas kearah wanita kursi roda itu saat mereka berpapasan. Tapi ... Ia tetap cuek saja berjalan berlawanan arah dengan wanita itu.
Ia mencoba tidak peduli dengan kehidupan orang lain.
Toh, bukan tanggung jawabnya untuk peduli sayang pada orang-orang seperti itu, mereka punya kehidupan sendiri.
Tapi … sekali lagi, kenapa penampilanya terlihat lusuh dan kotor seperti itu? Pakaiannya seperti tersiram lumpur, dan lihatlah rambut hitamnya yang panjang namun sangat kusut dan tidak terawat.
Ah, sudahlah. Pasti wanita itu adalah orang gila yang kabur dari rumah sakit jiwa.
Iya, rumah sakit jiwa! Wanita itu kabur dari sana, ok!
Rabu mencoba tetap acuh. Jaraknya sudah ada dua meter di belakang wanita kursi roda itu.
Deg!
Arghh!
Tapi ... tapi?!
Tunggu … tunggu!
Jangan-jangan wanita itu baru saja diperkosa?
Makanya dia terlihat berantakan seperti itu, dan lihatlah tadi … gerak-geriknya terlihat panik dan ketakutan.
Astaga!
Dan, jangan-jangan, dia mau melakukan bunuh diri karena depresi habis diperkosa?
Wushhh!
Tiba-tiba saja ada kereta api yang baru saja lewat— yang getarannya sampai kemana-mana.
Rabu sedikit oleng akan hal itu saat ia sadar akan sesuatu, refleks ia menepuk dahinya ...
Ah, iya, ini kan rel kereta api.
Banyak sekali yang sudah melakukan bunuh diri disini. Banyak sekali ditemukan mayat dalam keadaan utuh ataupun tidak. Dan, beberapa kasus di rel kereta api ini digunakan untuk membuang mayat juga.
Astagaa?!
Jangan-jangan wanita itu akan ....
Seacuh-acuhnya Rabu dan setidakmaunya Rabu peduli pada wanita kursi roda itu, karena untuk alasan tertentu ia sudah mati rasa untuk hal seperti ini, pada akhirnya ia tetap membalik badannya— memastikan keadaan wanita itu.
Argh?!
***
Salam
Galuh