7/3/22
Happy Reading
***
Senin dan Minggu bertatapan penuh arti. Mereka berdua sama-sama menghela napas panjang sesaat setelah menutup pintu kamar Selasa dengan begitu pelan.
Mereka berdua berpencar dengan pikiran mereka masing-masing. Minggu menuju ruang tamu dan Senin menuju dapur.
"Semakin parah saja keadaannya, Sen." Minggu menghembuskan napas dengan berat. Ia benar-benar tidak tega melihat keadaan Selasa yang seperti itu. "Daripada bicara dengan lukisan, lebih baik bicara denganku, Sel … Sel," gumamnya sangat risau.
Hem, Senin mendengar semua gumaman bosnya itu tapi ia tidak mau menanggapinya lebih jauh.
"Hufhhh …." Minggu mendesah lelah.
Setiap kali datang berkunjung untuk memastikan keadaan Selasa pasti ada saja yang diperdebatkan gadis manisnya itu.
Sering kali yang ia dengar dari perdebatan itu adalah Selasa yang tidak mau makan, Selasa yang tidak mau minum obat, Selasa sangat membenci Minggu, Selasa sangat membenci dirinya sendiri, Selasa yang tidak mau disentuh-sentuh, Selasa yang tidak mau terapi, Selasa takut matahari, Selasa ini lah, Selasa itulah...
Hah, masih banyak lagi sikap keras kepala Selasa yang membuat Minggu menjadi lebih cepat tua dari umurnya.
Iyaa … sebelum memasuki umur 35 tahun, mungkin wajah tampannya ini akan mulai keriput dan kendur, rambut hitamnya yang tebal akan mulai rontok dan menguban sebelum waktunya.
Minggu memijat kepalanya yang mendadak pusing, napasnya pun berhembus tidak baik karena dadanya ini terlalu sesak untuk mengembang. Ia melirik sekilas kamar Selasa, dan iyaa… di dalam sana masih terdengar suara teriakan memilukan dari gadis manisnya itu.
"Pak, minum dulu." Senin menyodorkan segelas air pada Minggu yang sudah duduk disofa. Ia benar-benar tidak tega melihat keadaan Minggu yang berantakan dan banyak pikiran seperti ini.
"Terima kasih."Minggu menerima gelas itu. "Keadaanya semakin parah iya, Sen," ucap Minggu mengulangi gumamnya yang yang tadi, dan ia mendadak tidak selera untuk minum.
Senin mengangguk pasrah.
"Apa yang terjadi, Sen?" tanya Minggu yang ingin tahu duduk permasalahannya kali ini.
"Selasa ingin bunuh diri, Pak," kata Senin to the point.
Minggu antara kaget dan tidak kaget karena dalam hal ini, bunuh diri adalah suatu kewajaran yang nyata bagi seseorang yang telah kehilangan semua mimpinya.
Keinginan bunuh diri dalam diri Selasa pasti sudah ada sejak lama, hanya saja keinginannya itu sudah dalam tahap yang mengkhawatirkan atau belum.
"Sebesar apa keinginannya untuk bunuh diri, Sen?" tanya Minggu penasaran.
"Sepertinya sangat besar, Pak." Senin mendesah samar. "Sejak tadi Selasa hanya diam, tapi dari gerak gerik tubuhnya sudah bisa dipastikan jika Selasa punya rencananya sendiri, Pak."
"Apa penyebab awalnya?"
"Aku tidak tahu pasti, Pak," jawab Senin jujur. "Entah apa yang membuatnya jadi berpikiran seperti itu. Setahuku semua baik-baik saja terlepas dari dia yang tidak mau terapi, Pak. Dia sempat menyebut jika terapi sama saja buang-buang uang, tapi … sepertinya bukan itu masalah utamanya, Pak."
"Hem, uang bukan masalah," kata Minggu. "Itu hanya alasannya saja."
Senin mengangguk setuju untuk itu.
"Aku tahu..." Minggu melihat kamar Selasa. "Pasti yang dipikirkan Selasa adalah kebahagian kita, dan iya ... dia tidak mau membebani kita terus-menerus," lanjutnya. "Selasa selalu mengatakan itu, kan?
"Iya, Pak." Senin tidak tahu harus berkata apa lagi.
Minggu berpikir keras. "Apa yang harus kulakukan sekarang," batinnya mencari solusi. "Jika sudah sampai tahap ini …" Mata Minggu berkedip pilu. "Aku harus mengambil cara ekstrim untuk menyembuhkan Selasa dan lagi kasus kecelakaan Selasa bukanlah kasus kecelakaan biasa." Minggu mengusak-ngasik rambutnya karena frutrasi.
"Tapi apa? Apa?! Aku tidak akan bisa fokus mengurus kasus kecelakaan Selasa jika aku belum bisa menghilangkan fokus ku pada kesehatan Selasa. Hah, dua hal yang sangat susah dicari titik tengahnya."
"Ehem." Senin berdehem lirih, tidak mau mengganggu apa yang dipikirkan bosnya itu. Tapi ia pun ingin menyampaikan sesuatu apa yang dipikirkannya. "Aku jadi mengkhawatir sesuatu, Pak."
Minggu melihat Senin yang sedang menautkan jari-jarinya dengan gelisah.
"Apa yang kau khawatirkan?"
"Depresi yang sudah akut, Pak," ucap Senin melihat beberapa kardus yang berisi semua benda berbahaya dari kamar Selasa. "Aku takut depresinya itu berubah menjadi Skizofrenia, Pak."
"Hem." Minggu menghela napas sangat berat. "Skizofrenia … skizofrenia," ucapnya berulang kali, ia tidak bisa membayangkan jika dokter memvonis Selasa mengidap penyakit mental yang sangat mengerikan itu.
Tapi...
"Jangan berpikir sejauh itu dulu, Sen." Minggu melihat Senin dengan tatapan penuh arti. "Dokter saja belum pasti memberi diagnosisnya. Kita hanya orang awam yang tidak tahu apa-apa, dan lagi kita tidak boleh mendahului diagnosis dokter, ok?!"
"Maaf, Pak." Senin sungguh menyesal mengatakan itu.
"Hem … jangan sampai penyakit itu benar-benar bersarang di dalam pikiran dan hati Selasa, Sen. Aku yakin gadisku tidak mengidap penyakit apapun kecuali dia memang sedang mengalami depresi parah," kata Minggu penuh kelembutan memberi penjelasan.
"Maafkan aku, Pak." Senin menunduk malu. Ia memukul bibirnya sendiri.
Bicara apa sih dirinya! Kenapa sampai memikirkan hal sejauh itu, argh, ini gara-gara ia sering membaca artikel mengenai kesehatan mental pasca kecelakaan, dan lagi ciri-ciri yang di bacanya hampir sama persis dengan apa yang dialami Selasa sekarang. Selasa menganggap jika lukisan itu adalah ancaman untuk menjatuhkannya.
"Hah, jika keadaan Selasa semakin memburuk bisa saja depresinya akan sangat sulit disembuhkan, Sen." Minggu menghela napas panjang, dahinya mulai berkerut lelah, sebab urat lehernya diam-diam menegang frutrasi di belakang sana.
Ia masih bisa mendengar suara makian Selasa pada lukisan yang tidak bisa bicara itu.
"Aghhh!" Minggu menepuk tangannya sekali, ia jadi teringat akan sesuatu. Dan, hal itu sukses membuat Senin agak terkejut.
"Kau ingat apa yang dikatakan psikiater waktu itu?"
"Psikiater yang dilempar gelas itu, kan?" tanya Senin, dengan wajah bingung karena masih mendapat efek kejut tadi.
"Iyaa yang itu …" Minggu tersenyum penuh arti. "Jika kita mendiamkannya terlalu lama bisa saja apa yang kau khawatirkan dan takutkan barusan akan terjadi."
"Tidak … tidak!" Senin menggeleng cepat. "Aku hanya asal bicara saja tadi. Pak Minggu jangan menganggapnya serius," ucapnya yang panik sendiri.
"No!!" Minggu menggeleng penuh makna. "Depresinya pun akan semakin menjadi-jadi, benar tidak?!"
Senin akan mengangguk, namun dengan cepat menggeleng ragu. "Tapi … aku yakin Selasa akan baik-baik saja, Pak. Jangan dengarkan apa yang kukatakan barusan." Senin masih berusaha optimis namun hatinya tetap merasa khawatir. "Aku yakin itu. Dia gadis yang amat tangguh dan—"
"Sen?" Minggu memotong ucapan Senin dengan cepat. Ia meremas bahu Senin dengan pasti.
"A-apa, Pak?" Senin menggigit bibirnya, was-was dengan apa yang akan dikatakan bosnya ini.
"Aku punya solusi terbaik untuk gadisku."
"I-iya, a-apa, Pak?"
"Bagaimana kalau kita bawa Selasa ke rumah sakit jiwa?"
Deg!
Senin menatap mata Minggu. Ia tidak percaya dengan apa yang dikatakan bosnya itu.
"Rumah sakit jiwa, Sen."
"APA?!"
"Astaga!" Minggu mengorek telinganya yang mendengung. "Rumah sakit jiwa disana Selasa—"
"Tidak!!" Senin berteriak lebih lantang. "Selasa tidak gila, Pak!!" sergahnya tidak terima. "Dia tidak gila," katanya lagi. "Pak Minggu tahu itu," ucapnya menepis kasar tangan Minggu. "Dia hanya tertekan— depresi dan sakitnya tidak lebih dari itu, oke! Selasa sama sekali tidak gilaaa!!"
"Dengarkan aku!!" Minggu kali ini berteriak. "Aku tidak mengatakan kalau Selasa gila, hanya saja—"
"Aku tidak setuju!!" Senin tidak kalah berteriak. "Selasa tidak boleh dibawa kemana-mana! Dia akan tetap disini. Aku akan merawatnya sampai sembuh!" tegasnya menatap Minggu dengan tajam dan penuh kebencian. "Dia tidak gila! Dia hanya butuh dukungan—"
"Dukungan yang seperti apa lagi yang mau kau berikan pada Selasa, Sen?!" Minggu memotong ucapan Senin dengan pasti.
Deg!
"Dengar!!" Minggu meraih kedua bahu Senin, menghadapkan padanya. "Apapun yang kau lakukan untuknya, Selasa sama sekali tidak mau mendengarmu, tidak mau menurutimu, dan kau lihat sendiri, kan?!" Minggu sedikit menaikkan nada suaranya lebih tinggi lagi. "Keadaannya bukannya semakin membaik tapi semakin memburuk saja, dan lagi dia punya rencana bunuh diri. Kita tidak tahu rencana Selasa kedepannya apa, Sen. Sebelum semua terlambat—"
"Iya aku tahu! Aku tahu itu! Aku akan mengawasi Selasa selama 24 jam penuh. Bila perlu kemana pun aku pergi aku akan membawanya, dan rencana bunuh dirinya tidak akan terlaksana. Aku janji akan mengawasinya, Pak." Selasa menyela ucapan Minggu dengan penuh keyakinan. "Tapi kumohon jangan bawa Selasa ke rumah sakit jiwa. Selasa tidak gila, Pak! Tidak, ok!!"
"Senin!!" Minggu berteriak jengah. "Tidak ada yang mengatakan jika Selasa itu gila!!" tegasnya berulang kali. "Selasa hanya butuh orang yang lebih ahli dari kita untuk merawatnya. Dia butuh penangan yang lebih profesional untuk menyembuhkannya, Sen."
"Tapi, Pak—"
"Kau lebih tahu dari siapapun, Sen." Minggu melirihkan suaranya. "Ini bukan masalah kaki yang lumpuh lagi. Dan, ini jauh lebih serius untuk ditangani, Sen. Luka fisik lebih cepat sembuh daripada luka batin. Aku yakin kau pasti sudah tahu di balik vonis dokter akan kelumpuhan Selasa, pasti dia merasa jika hidupnya sudah 'mati'. Dan, yang kita lihat sekarang hanya raganya yang setengah sehat, tapi hatinya tidak. Kau paham sampai sini?"
Senin terdiam, saat mendengar semua penjelasan Minggu.
Iyaa … ada yang lebih parah dadi kaki yang lumpuh. Itu benar … iya, itu benar sekali.
Selasa sudah 'mati' di hari pertama dia divonis lumpuh.
Senin menutup wajahnya yang memanas, air matanya menetes deras membasahi pipinya. Ia menangis sesenggukan. "Kenapa Selasa jadi seperti ini, Pak?" tanyanya dengan suara bergetar pilu. "Tidak bisakah, ia disembuhkan dengan cara yang normal-normal saja," lanjutnya mengusap pipinya yang basah, menatap mata bosnya. Berharap ada cara lain yang bisa dilakukan selain membawa Selasa ke rumah sakit jiwa, ia takut jika membawa Selasa kesana justru semakin memperburuk keadaannya.
"Sen …." Minggu dengan sabar dan penuh perhatian mengusap pipi Senin. "Jika orang tua Selasa masih ada …," helaan napas Minggu terdengar amat berat. "Aku yakin mereka akan memutuskan hal yang sama untuk kebaikan Selasa."
Senin menangis lagi. "Benarkah? Benarkah Paman dan Bibi akan membawa Selasa ke rumah sakit jiwa?"
Minggu mengangguk, mengelus sayang kepala Senin. "Ingat bukan kita tidak sanggup lagi merawat Selasa tapi Selasa memang harus mendapat perawatan dan penanganan yang lebih serius dari ini, Sen. Hem?"
Senin mengangguk ragu, ia sudah mengerti maksud Minggu.
"Bagaimana?"
"Selasa tidak akan 'hilang' kan, Pak?"
Minggu menggeleng. "Tidak akan. Selasa kita pasti akan kembali pada kita dalam keadaan sehat dan ceria, ok. Semua demi kebaikan dan kesembuhannya."
Senin dengan setengah hati menerima keputusan bosnya itu.
"Aku akan mengurus semua dokumennya." Minggu mempuk-puk bahu Senin untuk membuatnya tenang. "Dan, kau jagalah dia baik-baik. Jangan sampai dia melukai dirinya sendiri."
Senin mengangguk lagi.
"Aku akan mencarikan rumah sakit yang terbaik untuk pengobatan Selasa. Kau tak perlu khawatir, ok?!" Minggu mengatakan itu sebelum meninggalkan rumah Selasa
"Iya, Pak. Aku percaya sepenuhnya pada, pak Minggu."
Minggu mengangguk. "Dua hari lagi aku akan kembali."
"Yaa, Pak," ucap Senin mengantar kepergian bosnya hingga depan rumah.
***
Salam
Galuh