Chereads / RABU DAN SELASA / Chapter 11 - TUBUH SEMPURNA

Chapter 11 - TUBUH SEMPURNA

5/3/22

Happy Reading

***

Perdebatan kecil itu diakhiri dengan tangisan Senin yang meminta maaf padanya— setelahnya gadis itu meninggalkannya sendirian lagi dikamar.

Senin berulang kali mengatakan jika dia sangat menyesal karena telah membuat perdebatan yang tidak perlu.

Hem!

Aku maafkan.

Tadi pun sebelum meninggalkannya, Senin menyempatkan diri untuk memandikan sekaligus meredamnya di bathup dengan air hangat yang diberi aromaterapi bunga mawar.

"Kau boleh melakukan apapun yang kau mau, tapi jangan bertindak bodoh, hem," kata Senin sambil menggosok-gosok tubuh kurusnya yang hanya tinggal tulang berbalut kulit.

Masa mau bunuh diri saja tidak boleh, hem.

Selama proses memandikannya tadi ... Selasa sama sekali tidak menanggapi dan menjawab apapun yang dikatakan atau ditanyakan Senin padanya

"Setelah mandi mau melakukan apa? Jalan-jalan mau? Kau sudah lama tidak makan ice cream, bagaimana?"

Cih!

Selasa mendecih dalam hati. Jalan-jalan sama saja mati tidak terhormat, lebih baik mati bunuh diri daripada ditusuk dengan perkataan.

"Oke, baiklah."

Selasa bisa mendengar desah napas kecewa dari Senin yang berada di belakangnya— yang sedang menggosok-gosok kulit punggungnya.

"Kulitmu akan kembali bersinar lagi, Sel."

Huh, mengalihkan pembicaraan.

"Aku akan selalu merawatnya. Tenang saja. Percaya padaku. Ditanganku kulitmu akan kembali kenyal dan bersinar. Heheh."

Selasa samar-samar bisa mendengar tawa Senin yang begitu sumringah.

"Hilanglah daki … kembalikan kulit nonaku seperti semula. Wushhh … kulit bayi menempel lah pada kulit nonaku lagi."

Ha-ha-ha, kumat lagi ngelawaknya, huh!

Nggak lucu, Sen!

Senin mirip sekali dengan radio rusak. Kalau sudah bicara sama sekali tidak mau berhenti.

"Rambut indahmu juga akan kembali tebal seperti dulu. Wush … berkilau lah seperti bintang dilangit malam."

Ah, iya, rambut panjangnya ini memang mengalami kerontokan yang sangat parah, dan lagi luar biasa kusut dan kasar.

"Lihat ini …." Senin menekan-nekan tulang belikat Selasa. "Ini mulai ada dagingnya lagi, Sel. Tuh, kan … kan, hahah!

Hem, Senin … Senin.

Mana ada!

Tubuhnya sudah tidak ada dagingnya lagi, huh!

"Kalau kau banyak makan seperti tadi, bokongmu juga akan kembali montok dan sesintal Nicki Minaj, hahaha."

Garing, Sen, Sen!

"Lihat saja … aku yakin dadamu juga akan kembali seksi dan berisi lagi." Senin menangkup buah dadanya sendiri yang kecil lalu melihat dada Selasa yang kempes dari pantulan cermin. "Itu pasti bisa bulat lagi, dan, huh, padahal dulu dadamu banyak diirikan wanita, Sel. Ingat tidak sampai ada yang operasi payudara supaya bisa mirip denganmu, dan menurut berita yang kubaca payudara wanita itu besar satu. Gagal, haha!"

Astaga!

Frontal sekali!

"Hei, kau ingat tidak komentar entihen yang mengatakan jika payudaramu itu sangat sempurna? Tidak besar, tidak kecil. Bulat dan penuh. Tidak kendur dan montok. Hem?"

Hem, sangat ingat, tidak hanya payudaranya saja yang dikatakan indah. Bahkan semua orang sepakat dan banyak yang menyetujui jika tubuhnya ini adalah tubuh yang paling sempurna untuk ukuran model.

Tinggi badan dan proporsi bentuk tubuhnya sangat seimbang dan begitu sinkron.

Pun ia memiliki berat badan yang tidak gemuk dan tidak kurus. Jadi sangat sedap dipandang mata— pokoknya 'Pas" dilihat dari sisi manapun, makanya ia memiliki julukan khusus yang diberikan penggemar padanya.

Queen Of Runway.

Dan saat sesi pemotretannya terlihat bagus ada saja yang menyebutnya bunglon dan posenya sama sekali tidak membosankan.

Hem, itu dulu. Tidak dengan sekarang.

Sekarang ia lebih mirip Queen Of Zombie …

Hahaha!

"Aku yakin tulang-tulang ini akan hilang tertutup daging lagi, ok?!"

Gosokan Senin mengikuti garis tulang belakangnya yang menonjol.

"Eh, Sel?"

Hem?

"Sepertinya Pak Minggu menyukaimu, deh?"

Mulai … mulai!

Dasar tukang gosip!

Dibanding dirinya, sebenarnya Senin adalah gadis yang paling senang bergosip.

Ia tahu Pak Minggu adalah pria homo saja dari Senin, huh! Dan, informasi itu didapat dari bencis-bencis yang biasanya menjadi asisten artis atau make up artis.

"Kalau Pak Minggu menyatakan cinta dan mengajakmu menikah, kau terima iya?"

Selasa menghembuskan napas dengan berat. Ia memutar bola matanya dengan berat.

Senin selalu ada-ada saja.

Lagipula mana mau Pak Minggu bersanding dengan wanita cacat seperti dirinya.

Bukannya menyenangkan bos tampannya itu justru ia akan merepotkan dan menyengsarakannya seumur hidupnya.

Huh!

Itu tidak boleh terjadi, kasihan Pak Minggu nantinya.

Senin dari dulu memang seperti ini— selalu bersemangat menjodoh-jodohkannya dengan Pak Minggu, bosnya itu— padahal, jujur, terlepas dari gosip murahan itu sebenarnya ia sama sekali tidak memiliki perasaan atau menyukai Pak Minggu.

Sudah pernah ia katakan jika hubungan ini hanya sebatas bos dan anak buah. Tidak lebih!

Rasa suka tidak bisa dipaksakan.

Apalagi ia banyak kurangnya sekarang, sudahlah!

"Kalau misalkan Pak Minggu menikah denganmu gosip hombreng itu akan terbantahkan begitu saja. Amin …."

Hem, gosip murahan itu! Kasihan Pak Minggu selalu dikatakan seperti itu.

Ah, iya … jangan-jangan yang membuat Pak Minggu sampai sekarang belum juga menikah gara-gara gosip murahan itu?

Hish, jahat sekali yang membuat gosip itu.

"Tapi umur Pak Minggu sudah cukup untuk menikah, kan?" Senin duduk didepan Selasa dengan semangat. Sudah lama sekali rasanya tidak bergosip seperti ini.

Selasa mengangguk lirih, sudah lebih cukup malah. Mana orang kaya lagi.

"Kenapa dia belum menikah juga, iya?" Senin mulai menggosok bagian dada Selasa yang sudah mengendur dan kempes itu. Tuh kan seperti tidak ada isinya, huh!

Selasa mengedikkan bahu.

"Aku khawatir gosip itu benar adanya."

Selasa tidak menanggapi.

"Ahh, atau jangan-jangan dia memang menunggu respon cintamu?"

Selasa memutar bola matanya dengan malas.

Sudahlah, jangan bahas Pak Minggu lagi!

"Pasti Pak Minggu menunggu waktu yang tepat untuk melamarmu."

Ya Tuhan!

Mendengar Senin berbicara tanpa henti seperti itu, membuatnya sedikit melupakan acara bunuh dirinya.

Padahal waktu masuk ke kamar mandi, ia sempat mencari keberadaan karbol atau apapun itu tapi … ah, sudahlah!

Sepertinya harus cari cara lain untuk bunuh diri! Yang langsung mati!

"Aku ada diluar …," ucap Senin setelah menyelesaikan ritual memandikannya yang memakan waktu hampir 20 menit lamanya. "Bersama Pak Minggu. Kalau ada apa-apa jangan sungkan memanggilku."

Selasa mengangguk.

Setelah pintu kamarnya ditutup …

Tak!

Hening kembali, iya … seperti tadi!

Bedanya apa iya dengan yang tadi?

Ah, iya … saat ini ia ada diranjang— duduk bersandar di sandaran ranjang, tidak duduk di kursi rodanya.

Senin memberikan buku bacaan padanya tadi. Katanya biar tidak bosan.

Tapi, malas sekali kalau membaca dalam keadaan seperti ini. Apalagi buku ini bukan bacaan novel tapi buku motivasi untuk kembali hidup.

Selasa meletakan buku itu diatas nakas.

Hem … sial!!

Memangnya aku sudah 'mati' apa?

Yang benar, sebentar lagi aku akan mati sungguhan!

Selasa memutar bola matanya, mencari-cari sesuatu apa saja yang bisa digunakannya untuk melakukan bunuh diri.

Apa iya?

Gunting? Pisau cukur ketek? Kemaluan? Bulu kaki? Tusuk konde? Hair dryer? Sisir besi? Atau apa?

Huh, semua benda tajam di kamarnya ini sudah diambil Senin barusan dan lagi semua peralatan make-up dan semua make upnya pun sudah dibawa pergi dan … astaga!

Selasa melupakan sesuatu ...

Pewangi ruangan, pewangi kamar mandi, karbol, sabun, sampo, dan teman-temannya juga sudah diambil.

Obat-obatannya pun sudah diamankan Senin— padahal biasanya obet itu ditaruh laci nakasnya, huh.

Piring buah, gelas kaca, sendok, garpu, toples kaca dan semuanya yang berhubungan dengan bahan kaca dan logam diganti dengan bahan plastik.

Ya Tuhan … berikan aku petunjuk untuk melakukan bunuh diri dengan tenang?!

Huh! Kenapa feeling Senin tajam sekali sih?!

Tidak ada benda yang bisa menunjangnya untuk bunuh diri lagi.

Disaat Selasa sangat bersemangat dan termotivasi memikirkan cara untuk bunuh diri yang baik dan cepat matinya, disaat itulah ia melihat sesuatu hal yang sudah ia lupakan keberadaanya.

Sejak kecelakaan itu, ia mulai melupakan banyak hal dan tidak mau mengingat-ingat kejadian atau kenangan buruk apapun.

Dan, yang 'terlupakan' itu dulunya adalah motivasi berharga untuknya. Motivasi supaya ia selalu bersemangat mengejar cita-citanya.

Motivasi untuk memantapkan karirnya di dunia modeling. Motivasi supaya ia terus berusaha untuk menjadi model profesional yang dikenal khalayak luas dan prestasi yang didapatkannya bisa berbalik memotivasi orang-orang yang ingin berkarir di dunia modeling.

Itu dulu, sekarang tidak!

Haha, saat ini dan selamanya, justru dirinya lah yang menjadi momok menakutkan bagi sebagian orang! Justru dirinyalah yang membuat dunia modeling menjadi jelek! Ia tidak akan bisa memotivasi siapapun mulai dari sekarang! Karirnya hancur, mimpinya musnah dan impiannya mati!

Miris!

Arghh, sialan!!

Selasa menertawakan ketidakberdayaannya lagi saat melihat motivasinya yang tergantung indah di salah satu dinding kamarnya itu.

Lukisan itu….

Kedua mata Selasa meneduh malu saat melihat lukisan yang begitu indah.

Ia bingung, bagaimana cara menyapa motivasinya itu?

Biasanya tidak secanggung ini.

"Haha, aku malu menyapamu." Selasa tertawa canggung.

***

Salam

Galuh