"Ratn, katakan dengan jelas! Apa maksudmu?!" tanya Wuri yang mulai tersulut emosi.
"Kau mencoba mengambil Tuan Sander dariku! Kau bahkan bermalam dengannya! Kau sungguh licik, Wuri!" Ratna mulai berteriak emosi pada Wuri.
"Ratna! Semua tidak seperti yang kau pikirkan. Itu adalah jebakan Ganda. Sedikit pun aku tidak pernah menyukai Sander."
"Kau tidak menyukainya tapi kau bermalam dengannya dengan senang hati?!"
Wuri melihat ke arah Ratna yang sedang terbakar cemburu. Dia bahkan kehabisan kata untuk menjelaskan pada gadis belia yang berdiri di hadapannya.
"Aku dan Wuri tidak melakukan apa pun." Sebuah suara muncul dari belakang Ratna. Kedua gadis itu menoleh bersamaan ke arah asal suara.
Sander!
Pria tampan berwajah Eropa itu berdiri di sana dengan sebuah tas ransel yang dia sandang. Sebuah kaca mata hitam membingkai wajahnya. Pria itu berjalan dan berdiri di sebelah Wuri.
"Kalau kami melakukan sesuatu sekali pun, aku rasa itu bukan urusanmu," ujarnya dingin, sambil tangannya merangkul bahu Wuri.
Namun terlihat Wuri segera berusaha melepaskan diri dari rangkulan Sander.
"Tu-Tuan … apa maksud anda? Bu-bukankah … kita,…."
Sander dengan tegas menggeleng.
"Tidak! Tidak ada ikatan atau kesepakatan di antara kita."
Ratna menggeleng perlahan. Air mata mulai membasahi wajahnya.
"Saya pikir anda adalah orang yang berbeda dengan pria lain. Anda memperlakukan saya penuh rasa hormat. Bersama anda, saya merasa memiliki harapan."
Sander menatap Ratna tersenyum. Usia Ratna dan Sander terpaut begitu jauh. Sepuluh tahun. Entah apa yang dipikirkan oleh gadis kecil yang ada di hadapannya ini tentang seorang Sander.
"Dengar, Ratna. Kau adalah gadis baik. Katakan pada ibumu, kau dan kedua adikmu harus bersiap. Besok, aku akan mengirim sebuah mobil. Kalian akan pindah ke kota. Kau dan kedua adikmu akan memiliki pendidikan yang baik. Ibumu akan bekerja di rumahku."
"Kami akan tinggal bersama Tuan?" mata Ratne berbinar.
Sander menggeleng perlahan, "Tidak, aku akan mengatur kalian untuk tinggal di rumah kalian sendiri. Kau dan adik-adikmu akan kembali bersekolah."
Mendengar perkataan Sander, Ratna merasa kebahagiaan meledak di dalam dadanya. Selama ini Ratna melakukan semua pekerjaan yang Ganda minta hanya karena uang. Meski begitu, Ratna tidak bahagia melakukannya.
Namun pekerjaan itu adalah mata pencaharian utama bagi keluarganya. Ratna tidak punya pilihan. Di usianya yang ke lima belas tahun, dia harus belajar bagaimana caranya merayu seorang pria.
Ratna pun menghambur ke pelukan Sander. Menenggelamkan wajahnya di dada bidang Sander. Aroma maskulin Sander membuat Ratna betah berlama-lama. Namun Sander segera memegang kedua bahu gadis kecil itu. Membuatnya melepaskan diri dari pelukannya.
"Aku tidak bisa membantu semua orang. Namun aku berusaha untuk membantu, setidaknya dirimu."
"Ibuku akan sangat bahagia. Aku akan memberitahunya sekarang! Terima kasih, Tuan!" Ratna bergegas membalikkan badan untuk berlari menuju ke rumahnya.
"Tunggu Ratna!" Sander mencegah Ratna.
Sander kembali merangkulkan tangan di bahu Wuri. Gerakan yang membuat Wuri canggung dan Ratna merasa cemburu. Terlihat dari ekspresi ceria yang tiba-tiba saja menghilang dari wajah Ratna ketika melihat tangan Sander di bahu Wuri.
"Kau harus meminta maaf pada Wuri. Karena tuduhanmu dan karena tamparan yang kau berikan padanya."
Ratna menatap Sander dan Wuri bergantian. Seolah dia menolak apa yang Sander perintahkan. Wajahnya tampak ragu sekaligus tidak bisa menolak.
Perlahan dia mendekat hingga berdiri di hadapan Wuri. Ratna pun mengulurkan tangan dengan terpaksa.
"Maafin aku ya, Wuri."
"No, Ratna! Kamu harus panggil dia kakak, atau mbak atau apalah. Dia itu usianya jauh lebih dewasa dari kamu. Di masa depan nanti, kamu akan belajar banyak darinya."
Wajah Ratna semakin memerah mendengar perkataan Sander. Jelas pria ini berdiri di sisi Wuri. Namun Ratna tidak bisa membantah. Semua yang Sander katakan itu memang benar. Sejak awal pun, Rat sangat menghormati Wuri.
Namun sejak dia mendengar bahwa tadi malam Wuri dan Sander bersama, cemburu membuat Ratna tidak lagi bersikap baik pada Wuri.
Dengan senyum tulus mengembang, Wuri tidak menyambut tangan Ratna. Melainkan langsung memeluk gadis itu. Dengan canggung, Ratna membalas pelukan Wuri.
"Baiklah, aku kembali dulu dan mempersiapkan segalanya. Hidup baru segera dimulai. Terima kasih, Tuan. Saya tidak sabar menunggu esok tiba. Semoga, inilah jawaban dari doa yang selama ini ibu saya panjatkan."
Kali ini tanpa tergesa, Ratna berbalik badan dan melangkah meninggalkan Wuri juga Sander yang menatapnya dari belakang. Sesudah Ratna menghilang di ujung jalan, Sander melihat ke arah bagian dalam rumah Wuri.
"Jadi, kau tinggal sendiri di sini?"
Gadis itu beranjak menuju salah satu kursi yang ada di teras rumahnya. Sander melakukan hal yang sama.
"Begitulah. Tidak akan ada orang yang bersedia tinggal di desa seperti ini," jawab Wuri.
"Tapi kau mau. Bahkan kau menjadi salah satu penyelamat banyak nyawa di desa ini."
"Jangan berlebihan, Sander. Awalnya aku melakukan semua ini karena janjiku pada Mira. Kau tidak tahu betapa sulitnya aku melewati semua ini."
"Tinggalkan desa ini. Hari ini aku akan kembali ke Jakarta. Aku pastikan berita lengkap tentang Welasti akan tayang di media besok. Aku bahkan telah meminta team kreatif untuk membuat beberapa ilustrasi. Pemerintah akan segera turun tangan. Akan banyak perubahan di desa ini."
Mata hitam Wuri menatap Sander. Terlihat dua bola matanya mulai berkaca-kaca.
"Apa yang akan terjadi dengan warga desa ini dan para gadis itu, Sander?"
"Mereka akan punya pilihan Wuri. Kau tidak perlu khawatir."
"Pilihan?"
Sander menarik nafas berat, lalu menghembuskan dengan cara yang sama.
"Kasus seperti ini bukan yang pertama di dunia. Ada banyak sekali kasus seperti ini dengan latar belakang yang berbeda-beda. Kita bisa saja melakukan sesuatu, namun hal seperti ini selalu akan ada di dunia. Ini adalah sebuah cerita tentang insting dan keinginan manusia. Namun, setelah pembukaan akses jalan bebas ke desa ini, semua orang akan punya pilihan. Apakah mereka akan melanjutkan hidup dengan cara yang sama, atau mereka akan memilih jalan lain yang lebih baik."
Dua butir air mata jatuh di wajah Wuri.
"Aku akan meninggalkan desa ini dan semua kenangannya. Aku harap Mira tersenyum di surga karena aku telah memenuhi janjiku padanya. Meski aku tidak bisa melakukan sebanyak yang kau lakukan," ujar Wuri perlahan.
"Kau telah melakukan sangat banyak Wuri. Namun perlu kekuatan yang sangat besar untuk mengubah semua ini. Amankan dirimu. Aku akan berangkat ke Jakarta sekarang. Kalau kau mau, ikutlah bersamaku sampai ke batas desa. Setidaknya demi keamananmu."
Wuri menatap Sander ragu. Entah kenapa, sulit bagi Wuri untuk mempercayai Sander. Sebetulnya untuk mempercayai semua pria.