Mobil Sander keluar dari jalan tol menuju ke kawasan Jakarta selatan.
"Eh, kok kita keluar tol? Bukankah harusnya masuk arah Bintaro untuk mengantarku pulang?" Wuri terlihat panik dan memprotes pria di sampingnya.
"Aku lelah dan mengantuk. Malam ini, aku harus bekerja sampai pagi untuk menayangkan berita tentang desa Welasti. Jadi aku mau pulang dan beristirahat." Sander mengatakan dengan nada datar. Seolah komplain dari Wuri tidak berarti baginya.
"Apa? Jadi aku?" Wuri menoleh ke sisi kanan dan kiri jalan yang mereka lalui. Semua terdiri dari rumah mewah. Tidak ada akses kendaraan umum di sini. Sementara dia tidak punya uang untuk memanggil taksi.
Kawasan pondok indah tempat Sander tinggal, masih sangat jauh menuju ke rumah Wuri di tangerang. Pasti perlu biaya ratusan ribu untuk sampai di sana. Wuri ingat, dia tidak punya banyak uang di dompetnya. Gaji honor dari Depkes baru akan masuk seminggu lagi.
Belum lagi tiga tas troley besar. Bagaimana dia akan membawa semua itu?
Sial! Sander kelihatannya sengaja.
Sander tersenyum melihat Wuri memonyongkan bibir. Pasti gadis itu sedang merasa kesal sekarang.
"Kau akan tinggal di rumahku, sampai aku punya waktu untuk mengantarmu pulang."
"Hah?! Kau gila ya? Baru saja kau katakan padaku untuk berhati-hati denganmu soal urusan wanita. Kau makhluk yang berbahaya. Lalu sekarang kau memintaku singgah di rumahmu? Apa menurutmu aku sebodoh itu masuk ke kandang singa?"
Tak ayal Sander pun tergelak. Gadis yang sangat cerdas. Dia bahkan langsung menarik kesimpulan atas perkataan dan tindakan Sander yang tidak senada. Namun pria berwajah Eropa itu memilih diam. Dia terus melajukan kendaraannya.
Tidak lama, mereka pun tiba di depan sebuah rumah besar yang terlihat jauh lebih mewah dari rumah lain di sekitarnya. Bangunan rumah itu berwarna dominan cream dan emas.
Sander menyalakan klakson. Pintu gerbang otomatis berwarna hitam pun terbuka. Seorang pria dengan seragam security berlari-lari kecil dari arah dalam untuk menyambut kedatangan Sander.
Mobil jeep yang mereka kendarai berjalan melingkar, memutari sebuah taman dengan kolam besar di bagian tengah taman. Sampai mobil itu berhenti di depan pintu utama rumah.
Kemewahan rumah itu tidak perlu diragukan. Tiang-tiang besar menjulang. Pintunya yang berwarna coklat gelap, memiliki dua gagang berwarna emas. Taman halaman rumahnya pun luas. Wuri yakin di kolam tengah taman pasti berisi ikan koi yang mahal.
Satpam lain muncul dari bagian samping rumah dan membuka pintu untuk Sander. Dia menyerahkan kunci mobilnya pada pria itu untuk diparkir ditempat yang tepat.
"Turunkan barang-barang dari bagasi belakang. Letakkan di kamar bawah!" perintah Sander.
"Baik, Tuan."
"Eh …! Tunggu! Apa maksudmu barang-barangku? Untuk apa kau menurunkan barang-barangku. Aku tidak mau tinggal di rumahmu!" Wuri terihat panik mendengar perintah Sander pada satpam.
"Aku juga tidak mau kau tinggal di rumahku! Kalau begitu silahkan saja kau cari cara agar bisa sampai ke rumahmu!"
Seolah tidak peduli, Sander meninggalkan Wuri yang masuk duduk di dalam mobil.
"Hey! Pria gila! Dasar! Apa sih maunya dia?!"
Satpam rumah Sander menggeleng dan membuka pintu untuk Wuri.
"Silahkan turun, Non. Mobilnya mau dibersihkan dan dibawa ke garasi bawah tanah. Barang-barangnya nanti di antar ke kamar ya."
Wuri pun bingung. Kelihatannya tidak ada cara lain selain mengikuti keinginan Sander. Dia melihat Sander yang melangkah terus ke dalam rumah sambil memijat bagian tengkuk dang menggelengkan kepalanya miring ke kanan dan ke kiri. Tampaknya pria itu tidak bohong mengatakan bahwa dia lelah.
'Kalau dia harus mengantarku, kemungkinan dia baru akan kembali malam hari. Lalu ke kantor untuk persiapan penayangan berita. Pasti sangat melelahkan.' Wuri mulai melunak memikirkan pekerjaan Sander
"Eh, kenapa aku jadi mikirin dia. Urusan dialah mau bagaimana. Tapi dia nggak bisa donk memutuskan apa pun secara sepihak." Wuri bergumam pada dirinya sendiri.
Dia pun berlari kecil mengejar Sander yang baru saja akan menaiki tangga.
"Hey! Kau ini sok berkuasa sekali. Bahkan hidupku pun sekarang seolah kau yang putuskan!" Wuri berteriak untuk membuat Sander berhenti melangkah.
Dan, berhasil! Sander berhenti lalu menoleh ke arah Wuri.
"Apa maksudmu? Aku membebaskanmu jika kau memang ingin pergi. Tapi aku menawarkanmu kemudahan. Tinggal di rumahku sampai semua pekerjaanku selesai dan aku akan mengantarmu pulang."
"Kenapa tidak dari awal kau katakan?!" Wuri masih berteriak dengan nada kesal.
"Dengar, Wuri! Jika kau masih di desa itu sampai besok, keselamatanmu dalam bahaya. Besok pagi berita ini tayang. Aku pastikan sebelum sore akan banyak orang yang datang ke desa itu. Ganda dan para pengawalnya akan menjadikanmu pelampiasan. Apa kau mengerti?"
Meski dengan wajah kesal tapi Wuri mulai mengerti maksud Sander. Dia pun mulai merasa lelah dan ingin segera mandi juga beristirahat.
"Yati!" Sander memanggil salah satu pelayan di rumahnya.
Seorang wanita paruh baya datang bergegas.
"Ya, Tuan."
"Beri tahu gadis ini di mana kamar tamu. Tolong layani apa yang dia butuhkan. Aku akan beristirahat. Tidak boleh ada yang mengganggu sampai aku bangun. Malam ini aku akan ke kantor untuk sebuah berita penting."
"Baik, Tuan. Mari Nona, kamar anda ada di belakang."
Sekali lagi Sander melihat ke arah Wuri. Tampaknya gadis itu sudah mulai tenang. Dia tidak lagi berteriak dan mengikuti perkataan Sander.
Wuri melihat Sander yang melangkah cepat menuju lantai atas. Meski merasa kesal, tapi Wuri berhenti memprotes pria itu.
"Mari Nona," Yati meminta Wuri untuk mengikutinya.
"Eh, iya Bu."
Saat mengikuti Bu Yati barulah Wuri melihat betapa mewah isi dalam rumah Sander. Namun semuanya kelihatan sangat maskulin. Sofa dan lemari-lemari besar, sebagian besar berwarna hitam. Bahkan lampu yang ada di bagian atas pun berwarna hitam dengan cahaya terang di bagian tengah. Rumah itu menggunakan AC central yang selalu menyala 24 jam.
Jendela-jendela kaca menjulang dengan tirai panjang berwarna keemasan. Rumah itu terlihat polos meski perabotannya sangat mewah.
Wuri berjalan sambil melihat penuh kekaguman. Dia belum pernah masuk ke rumah sebagus itu. Bagunan paling bagus yang pernah dia masuki adalah gedung departemen kesehatan. Rumah Sander sangat besar dan luas. Untuk mencapai bagian belakang di mana kamar tamu berada, dia dan Yati berjalan cukup jauh.
Beberapa kali Yati terlihat melirik Wuri. Sambil tersenyum, dia mengamati gadis itu dari atas ke bawah. Penampilan Wuri memang sangat sederhana. Namun di mata Yati, Wuri terlihat seperti gadis yang baik.
"Nona adalah wanita pertama yang memasuki rumah ini setelah lima tahun terakhir."
"Hah?! Lima tahun? Memangnya Sander tidak punya teman ya?"
"Teman pria Tuan Sander banyak. Sering menginap di sini. Tapi teman wanita, terakhir lima tahun lalu."