Mata Sander melihat tajam ke arah Wuri yang belum menyadari kedatangannya. Gadis itu tampak masih asik menikmati segelas teh yang dia racik. Tentu saja, gadis sederhana yang biasa tinggal di desa seperti Wuri belum pernah menikmati teh seenak yang terhidang di hadapannya. Wuri ingin mencicipi semua rasa teh itu nanti.
Bu Yati yang ada di depan Wuri melihat Sander mendekat. Kini pria itu tepat berada di belakang Wuri yang sedang duduk di sebuah kursi tinggi. Jika Wuri menoleh pasti hidungnya langsung bersentuhan dengan dada bidang Sander.
"Kalau aku sombong dan angkuh memangnya kenapa?"
Mendengar suara Sander, Wuri merasa jantungnya berdetak kencang. Pasti pria itu mendengar semua yang dia katakan. Nafas hangat yang keluar dari hidung Sander terasa hangat di atas ubun-ubunnya. Pasti pria itu berdiri sangat dekat.
Wuri perlahan turun dari kursinya. Lalu dia menggeser dirinya satu langkah sebelum menoleh. Benar saja! Sander tepat berada di belakang tubuhnya tadi.
'Untuk aku cerdas, dan menghindar cepat. Dasar pria cabul!' begitu pikir Wuri.
"Kalau kau sombong, itu aneh. Apa yang mau kau sombongkan? Tapi kalau aku sombong, itu wajar saja. Aku punya kekayaan, kekuasaan dan kau harus mengakui bahwa aku tampan."
Semua yang Sander katakan itu benar. Tapi sikap arogan pria itu justru membuat Wuri merasa lebih kesal.
"Ya memang, tapi bukan berarti aku akan tertarik padamu seperti yang Bu Yati katakan."
"Aku juga tidak berharap kau jatuh cinta padaku."
"Kok kamu jadi sewot? Kan aku hanya menjawab pertanyaan Bu Yati."
"Kalau pun kamu suka padaku, pastilah tidak akan kau akui. Gadis sombong!"
"Aku sombong? Memangnya untuk apa aku sombong di depanmu?"
Wuri dan Sander berdiri berhadapan dan saling beradu argumentasi. Mata mereka saling menatap satu sama lain. Seperti dua orang yang siap untuk masuk ke medan perang.
"Ehh … Non Wuri, Tuan Sander, sudah! Sudah! Kok malah jadi ribut di sini. Bibi mau masak dulu nih. Non Wuri istirahat saja dulu ke kamar. Tehnya boleh dibawa. Tuan Sander perlu sesuatu?"
Sander dan Wuri yang saling memelototkan mata itu tidak bergeming dengan katakata Bu Yati. Keduanya tetap berpandangan seperti patung. Bu Yati mendekat dan memegang bahu Wuri.
"Non,"
Wuri menurunkan pandangan, wajahnya mulai melunak. Dia melihat ke arah Bu Yati. Wanita itu mengangguk perlahan. Segera Wuri menyambar gelas tehnya yang ada di atas meja. Dengan sengit dia memalingkan wajah dari Sander dan kembali menuju ke kamarnya.
Tatapan sinis Sander mengiring langkah Wuri yang menghilang di balik pintu kamar tamu. Dari tempat Sander berdiri, dia bisa melihat kolam renang juga dua kamar tamu yang berada di sisi tepi kolam.
Setelah Wuri tidak lagi terlihat, Sander pun tersenyum. Bu Yati melihat Sander sambil menggelengkan kepala. Bu Yati sudah bertahun-tahun menjadi pelayan rumah Sander. Dia mengenal baik majikannya itu.
Sander adalah orang yang baik hati. Dalam dirinya begitu lembut. Hanya saja, Sander pernah mengalami kekecewaan yang dahsyat akibat hubungannya dengan Arinda. Tidak ingin memperlihatkan kehancurannya, Sander membungkus semua dengan sikap sombong dan arogan.
Terutama pada wanita dan orang-orang yang baru dikenalnya. Namun jauh di dalam dirinya, Sander adalah pria yang sangat rapuh. Sander menutup diri dari semua wanita karena tidak ingin mengalami kecewa yang sama.
"Tuan perlu sesuatu?"
"Tenggorokanku terasa kering. Badanku juga agak panas. Bisa tolong buatkan aku jahe lemon seperti biasa?"
"Baik Tuan, apa perlu saya panggilkan dokter?"
Sander memicingkan mata pada Bu Yati, "Bibi kan tahu, aku tidak suka dokter dan obat-obatan."
"Iya Tuan, kadang kalau Tuan sakit saya jadi khawatir."
Sander tersenyum pada pembantunya itu. Dia adalah pembantu yang paling dekat dan tahu semua kebiasaan Sander.
"Bawa ke kamar ya. Pintunya tidak aku kunci. Langsung saja taruh di meja. Kalau aku sudah tertidur tidak perlu membangunkanku."
"Baik Tuan."
Sebelum kembali ke kamarnya, sekilas Sander melihat ke arah pintu kamar Wuri yang tertutup rapat. Mengherankan, gadis itu tidak tertarik padanya. Bahkan setelah emlihat sendiri kemegahan rumah Sander.
'Ah, kenapa aku jadi memikirkan dia.' Sander menggosok bagian belakang kepalanya dan segera beranjak menuju ke tangga untuk kembali ke kamarnya di lantai dua.
Sementara Wuri duduk di dalam kamarnya dengan rasa kesal. Dia menyesal telah menurutikata Sander untuk singgah di rumahnya. Jika tahu Sander mengajaknya hanya untuk menunjukkan kesombongan, lebih baik Wuri pulang dengan taksi.
Tapi dia tidak punya ongkos. Dari rumah Sander di Pondok Indah menuju ke Tangerang pasti ongkos taksi sangat mahal. Dia tidak punya uang banyak sekarang. Wuri merasa jengkel dengan keadaannya.
Sander seperti menemukan kelamahan Wuri. Untuk memaksa dirinya mengikuti apa yang Sander inginkan.
'Tapi aku tidak akan mengijinkan dia menyentuhku sedikit pun. Kalau perlu aku tidak perlu keluar kamar ini sampai besok. Toh besok dia berjanji akan mengantarku pulang.'
Sebenarnya Wuri harus segera tiba di rumah. Tini dan Yuli pasti sudah kehabisan stok makanan sekarang. Wuri mengeluarkan ponselnya dari dalam sebuah tas. Dia menekan beberapa nomor.
"Yul, bagaimana keadaan anak-anak?"
"Semua baik Mbak. Anak-anak sehat. Hanya saja, hutang di warung Bu Mimin sudah banyak. Kata Bu Mimin harus dibayar seminggu lagi."
"Oh, baiklah. Katakan pada Bu Mimin, setelah aku tiba di rumah, akan kubayar semua."
"Baik Mbak. Sekarang Mbak Wuri di mana?"
"Aku sudah keluar dari Welasti. Kali ini aku tidak akan kembali lagi ke desa itu. Semoga mimpiku tentang desa itu akan segera terwujud. Tapi aku belum bisa kembali ke rumah. Sedang ada masalah yang harus kuselesaikam terlebih dahulu."
"Baik Mbak, jaga diri baik-baik ya Mbak Wuri."
"Iya Yul, tolong titip anak-anak ya. Sampaikan pada Bu Mimin, agar bisa memberi hutang sembako lagi. Semoga besok aku sudah bisa tiba di rumah."
Setelah memutuskan sambungan telepon dengan Yuli, hati Wuri merasa sedih. Dia menjanjikan untuk membayar semua hutang di warung Bu Mimin. Sementara dirinya sekarang hanya memiliki sedikit uang. Untuk membayar ongkos taksi pun dia tidak mampu.
Wuri menutup wajahnya dengan kedua telapak tangan. Berharap sebuah ide muncul sebagai jalan keluar keuangan yang sedang dia butuhkan. Kadang kala Wuri ingin menyerah dengan keadaan.
Namun senyum-senyum mungil yang selalu menyambutnya membuat semangat Wuri tidak pernah padam. Wuri percaya bahwa semua nyawa yang sedang berada di rumahnya memiliki bagian rejeki sendiri.
Wuri hanya perlu mencari cara untuk mendapatkannya. Besok dia akan kembali ke rumah tanpa uang. Entah alasan apa yang akan dia berikan pada Bu Mimin nanti.