Pukul dua pagi semua berita tentang desa Welasti telah siap di atas meja Sander untuk menunggu persetujuan. Sander mengamati semua draft berita dengan teliti. Dia memastikan semua berita aman untuk tayang tanpa ada sedikit pun celah yang menimbulkan keraguan. Sander adalah orang terakhir yang memeriksa semua berita sebelum ditayangkan.
Calista dan Dalu duduk di hadapannya untuk menerima kembali berkas yang Sander setujui. Sudah hampir dua jam Sander memeriksa semua draft berita tentang desa Welasti. Kali ini Sander jauh lebih berhati-hati dibanding berita lain sebelumnya. Dia sadar betul bahwa berita ini bisa memancing amarah dari beberapa orang di pemerintahan.
Bahkan sedikit saja kesalahan dalam menayangkan berita tentang Welasti bisa membuat rakyat desa tersebut menjadi korban. Keadaan yang sulit, ditambah cibiran dari masyarakat. Tentu saja bukan itu yang Sander harapkan.
Akhirnya berkas terakhir selesai Sander tanda tangani.
"Sempurna! Semua siap tayang di berita pagi dan juga koran. Kalian berdua tidak boleh pulang sebelum berita tayang. Pastikan semua urusan teknis berjalan dengan baik. Aku tidak ingin ada celah sedikit pun yang bisa ditembus oleh orang yang memiliki kepentingan."
Calista dan Danu hanya mencibir dan mengangkat bahu.
"Siap Bos!" ujar keduanya bersamaan sambil keluar dari ruangan Sander.
Sander merasa lebih lega karena akhirnya dia bisa menayangkan berita tentang desa Welasti. Senyum menghias wajahnya. Membayangkan bagaimana wajah Wuri ketika mengetahui berita tentang desa yang selama ini dia perjuangkan.
Pukul lima pagi ketika jalanan Jakarta masih lenggang dan udara terasa sejuk, Sander mengendarai mobilnya kembali ke rumah. Perjalanan yang ditempuh hanya dalam waktu setengah jam.
Sander masuk ke dalam rumah. Dia lelah dan ingin segera merebahkan tubuhnya di ranjang. Malam yang sangat panjang. Biasanya Sander akan mempercayakan semua pada pemimpin redaksi dan memeriksa ulang keesokan hari. Khusus untuk berita tentang desa Welasti, Sander ingin semua berada di bawah pengawasannya.
Sebelum menapaki tangga untuk menuju ke lantai atas, sekilas Sander menoleh ke sofa di depan televisi besar di ruang keluarga. Sesosok mungil sedang tertidur di sana. Sander melangkah perlahan dan mendekat. Keningnya berkerut ketika dia menyadari bahwa itu adalah Wuri.
Sander masuk ke salah satu kamar dan keluar lagi dengan sebuah selimut di tangannya. Dia menutupi tubuh mungil Wuri yang meringkuk di salah satu sofa. Wajah gadis itu terlihat seperti bayi yang polos dan kelelahan.
Wajah yang begitu mudah masuk ke dalam ingatan Sander. Sekilas Sander hampir terbawa perasaan ketika kemudian sebuah kalimat terulang di benaknya.
'Dia wanita! semua wanita sama saja!'
Sander lalu mengalihkan pandangan dari wajah Wuri dan segera menjauhinya. Dari arah dapur terdengar denting sendok dan piring. Artinya Bu Yati sudah bangun sejak tadi dan mulai berbenah.
Meski gontai, Sander melangkah ke arah dapur. Berharap segelas susu hangat bisa membuatnya tertidur lebih cepat. Sander butuh segera beristirahat karena sebelum jam makan siang dia harus kembali ke kantor untuk mempersiapkan berita sore.
"Tuan, kapan datang?" sapa Bu Yati dengan ramah.
"Aku ingin segelas susu hangat," ucap Sander dingin tanpa menjawab pertanyaan pembantunya.
Segera Bu Yati mengambil susu dari kulkas dan mulai memanaskan. Sambil menunggu, Sander duduk di salah satu kursi pantry. Kursi ala bar yang menghadap ke bagian dapur.
"Kenapa Wuri tidur di ruang tamu?" tanya Sander.
"Semalaman Non Wuri gelisah. Mungkin tidak terbiasa dengan rumah ini, Tuan. Beberapa kali dia keluar masuk kamar. Seperti pesan Tuan, saya tidak meninggalkan Non Wuri sampai dia tidur."
"Bukankah saya sudah bilang, Bu Yati bisa tidur di kamar Wuri dan menemani dia jika memang Wuri merasa takut."
"Sudah Tuan, saya sudah tawarkan. Tapi, Non Wuri menolak. Akhirnya saya menjaga Non Wuri sambil menonton televisi. Eh Non Wuri malah ikut nonton. Tapi sebentar saja lalu dia tertidur. Saya nggak berani membangunkan. Sepertinya dia tidur sangat lelap. Kaya capek gitu, Tuan."
Bu Yati meletakkan segelas susu hangat pesanan Sander. Wajah Sander kelihatan memikirkan sesuatu sambil melirik ke arah Wuri tidur. Dia mengangkat gelas dan menyecap susu yang masih sedikit panas.
"Lain kali katakan pada Wuri, dia tidak boleh tidur di luar kamar! Tempat terbuka berbahaya bagi seorang gadis untuk tidur."
"Baik, Tuan."
Sander menghabiskan sisa susu di dalam gelas dan segera menuju tangga untuk menuju ke lantai atas. Sekali lagi dia melihat ke arah Wuri yang terbaring di sofa. Entah apa yang dipikirkan gadis ini. Tidakkan dia tahu bahwa di rumah ini ada security, tukang kebun dan supir yang bisa kapan saja melintas di dekatnya tertidur.
Wuri tidur meringkuk dengan nyaman sepertinya gadis itu benar-benar kelelahan. Sander pun merasakan lelah yang berlipat ganda. Sepanjang malam dia bekerja keras mengedit seluruh berita sampai semuanya siap untuk ditayangkan pagi ini.
Dia masuk ke dalam kamar, membersihkan tubuh dengan air hangat dan mulai membaringkan diri di ranjang. Berita pagi pertama tayang pukul enam. Sekarang pasti berita itu sudah masuk ke telinga orang-orang yang Sander tuju.
Dia melihat ke ponselnya, banyak pesan masuk dan panggilan tidak terjawab. Sander mengangkat ponselnya, mengaktifkan mode hening dan menyembunyikan diri di dalam selimut. Dia akan menghadapi semua nanti setelah cukup beristrahat.
'Ini baru permulaan!' bisik Sander sebelum tidur.
Sementara di lantai bawah, Wuri mulai menggeliat. Tidurnya terlalu nyenyak. Dia baru menyadari ada selimut di atas tubuhnya.
'Ah, pastilah Bu Yati yang memberikan.'
Wuri beranjak menuju ke dapur. Rumah Sander terlalu luas namun tanpa penghuni. Semua yang ada di rumah ini hanyalah para pekerja. Terasa sangat sunyi dan hening. Bahkan suara satu sendok yang terjatuh di dapur pun terasa menggema ke seluruh ruangan.
"Selamat pagi, Bu Yati." Sapa Wuri dengan ceria.
"Pagi Non Wuri … tidurnya nyenyak sekali Non. Mimpi apa?" Bu Yati melemparkan canda pada Wuri.
Sikap polos dan bersahabat gadis itu membuat Bu Yati merasa dekat dengannya meski mereka baru bertemu satu hari saja. Mereka tidak canggung untuk berbincang satu sama lain.
"Mimpi apa ya? Nggak Mimpi. Pengen cepet-cepet pulang nih Bu."
"Lho kenapa? Kan di sini enak rumah Tuan Sander. Sudah ditunggu sama orang tuanya ya, Non?"
"Nggak kok Bu. Saya … saya nggak punya orang tua. Tapi saya lebih nyaman di rumah sendiri. "
"Oh, maaf ya Non. Iya sih memang lebih enak di rumah sendiri."
"Hmm … Sander sudah pulang Bu?"
"Sudah Non, tadi jam setengah enam. Lha itu yang kasih selimut Non Wuri kan Tuan Sander."
"Sander yang kasih aku selimut?"
"Iya … Tuan Sander tuh aslinya orangnya baik lho Non."
"Iya, baik tapi play boy!" Wuri bersungut sambil berjalan cepat menuju ke tangga.
"Non, mau kemana?"
"Kan saya sudah bilang, saya mau pulang. Saya mau minta Sander mengantar saya pulang."
"Jangan Non, Tuan baru pulang. Setelah semalaman bekerja dia pasti lelah. Bahaya juga menyetir saat mengantuk kan Non?"
Wuri menghentikan langkah dan menoleh ke arah Bu Yati. Meski hatiya tidak senang tapi benar juga apa yang Bu Yati bilang. Wuri merasa terjebak di rumah Sander. Kapan pria itu akan bangun dan segera mengantarnya.
Rumah Sander memang luas dan indah. Semua peralatan lengkap juga modern, tapi Wuri merasa rumah ini sangat hampa dan tidak nyaman.