Wuri baru saja duduk di ranjang kamarnya ketika sebuah panggilan masuk membuat ponselnya berdering. Ponsel Wuri adalah jenis ponsel kuno dan bukan smart phone yang bisa melakukan banyak hal. Selama ini Wuri tidak memiliki pekerjaan dengan hasil yang besar. Dari hasilnya yang tidak seberapa itu pun dia masih harus membaginya untuk keperluan semua orang yang menjadi tanggung jawabnya.
"Mbak, Talita sakit. Demamnya nggak mau turun juga. Sudah dikasih obat. Mulai ada bintik-bintik dikulitnya. Bisakah kita membawa dia ke dokter? Tapi, tidak ada persediaan uang di rumah."
Seketika kecemasan menghantui dirinya setelah apa yang baru saja dia dengar. Talita aalah salah satu anak yang menghuni rumahnya. Seorang gadis kecil berusia lima tahun. Keadaan menjadi gawat! Dia harus pulang sekarang juga. Talita pasti perlu di bawa ke rumah sakit. Hal-hal seperti itu, tidak bisa dilakukan oleh Yuli.
"Yul, bisa kamu bawa Talita ke puskesmas terdekat untuk mendapat pertolongan? Sekarang puskesmas di dekat rumah kita sudah menyediakan pelayanan rawat inap. Aku rasa mereka bisa membantumu sampai aku datang. Sore ini aku akan pulang ke rumah ya."
"Tapi Mbak,…."
"Tolong Yul, sekarang juga. jangan menunggu lagi. Aku khawatir itu adalah gejala demam berdarah."
"I-iya Mbak. Karena tetangga rumah kita banyak yang sedang menderita penyakit itu."
"Baiklah, jangan menunggu lagi dan lekas sekarang juga ya, Yul!"
Bagaimana pun caranya dia harus kembali ke rumah sekarang. Keadaan Talita tidak bisa menunggu lagi. Dengan perginya Yuli untuk membawa Talita ke Puskesmas, pasti keadaan rumah menjadi sangat kekurangan tenaga untuk megatasi semuanya.
Bergegas Wuri menuju ke dapur. Bu Yati sudah selesai dengan semua kesibukannya. Makan siang untuk Wuri pun telah tersedia di atas meja. Sander sendiri yang berpesan pada Bu Yati agar selalu ada makanan di atas meja. Kapan pun Wuri lapar dia tidak perlu mencari Bu Yati untuk mendapatkan makanan.
Langkah cepat Wuri dengan wajah paniknya menuju ke arah Bu Yati yang sedang duduk di kursi pantry sambil memainkan ponsel. Pembantu Sander itu bahkan memiliki ponsel lebih canggih daripada Wuri.
"Bu! Bu Yati! Saya perlu nomor Sander! Saya harus pulang sekarang!" Wuri berkata dengan cemas. Wajahnya memerah, gadis itu mulai menahan tangis.
"Kenapa Non? Apa ada masalah?"
"Salah satu anak di rumah saya sakit. Sepertinya itu demam berdarah. Saya harus pulang sekarang."
"Anak? Kok Non Wuri punya anak?"
"Aduh! Gimana ya, saya susah menjelaskan pada Bu Yati. Sudahlah, nanti saja saya jelaskan. Sekarang saya perlu nomor Sander." Wuri terlihat jengkel. Bu Yati tidak segera memberinya nomor Sander tapi justru mengintrogasinya dengan pertanyaan yang bukan menjadi urusannya.
"Oh! Iya … iya … bentar Non! Tapi, Non Wuri kan sudah bersama Tuan Sander begitu lama, kok bisa sih nggak punya nomornya?"
"Hmm … sebelumnya saya punya Bu. Tapi, lalu saya hapus. Saya pikir, saya tidak akan berhubungan lagi dengan pria itu."
Bu Yati mengerutkan kening mendengar jawaban Wuri. Gadis di hadapannya ini sungguh keras kepala dalam banyak hal. Bu Yati tahu, banyak gadis yang berusaha mendapatkan Sander. Tuan muda yang kaya, tampan dan memiliki kekuasaan.
Segera Bu Yati menyodorkan ponselnya dengan nomor Sander yang tertera di sana. Melihat ponsel Bu Yati yang canggih, Wuri sedikit minder. Dia mengeluarkan ponselnya yang berlayar kecil. Ponsel yang populer dia awal tahun 2000-an.
Melihat ponsel Wuri, Bu Yati menyipitkan mata. Bukan hanya heran tapi juga mengagumi gadis yang ada di hadapannya. Wuri adalah generasi masa kini. Tapi, gadis itu masih menggunakan ponsel jenis kuno.
Dia lalu menekan tombol-tombol untuk menghubungi Sander. Tapi yang terdengar justru suara operator mesin jaringan telepon selular. Menandakan bahwa tidak ada pulsa yang tersisa di ponsel Wuri.
Bu Yati mendengar suara notifikasi itu. Dia tidak ingin membuat Wuri merasa malu. Segera Bu Yati mengambil alih situasi.
"Non, langsung aja telepon dari hp saya ya. Biar praktis gitu Non."
"Oh iya Bu. Terima kasih ya," Wuri sangat malu saat itu. Dia yakin Bu Yati mendengar bahwa ponsel jadulnya bahkan tidak memiliki pulsa.
Setelah beberapa kali memanggil, tidak ada jawaban dari Sander. Bu Yati kembali mencoba dan hasilnya tetap nihil.
"Non, kayanya Tuan sedang sibuk banget. Saya kirim pesan ke Tuan ya, nanti kalau dia buka pesan saya pasti dia menghubungi Non Wuri."
Dalam hati Wuri memaki Sander. Talita dan Yuli sedang dalam keadaan genting sekarang. Mereka perlu pertolongannya. Dia justru tertahan di sini karena Sander yang konyol. Seharusnya sejak kedatangannya di rumah ini, dia memaksa Sander untuk mengijinkannya pulang.
"Duh! Gimana ya Bi. Kondisi rumah saya sudah sangat darurat."
Sedih dan panik terlihat di wajah Wuri. Anak-anak yang ada di rumahnya memang bukan anak-anaknya tapi, mereka adalah tanggung jawab Wuri. Sejak dia setuju untuk menyelamatkan nyawa anak-anak yang tertolak dan tidak diinginkan.
Dering ponsel Bu Yati membuat Wuri terlonjak lega.
"Tuan Sander nih, Non." Dengan wajah gembira Bu Yati menunjukkan ponselnya.
"Akhirnya! Orang yang menyebalkan itu menelpon juga."
Wuri mengambil ponsel dari tangan Bu Yati. Kata-katanya langsung menghambur deras seperti air bah.
"Sander! Aku harus pulang sekarang. Salah satu anggota keluargaku sedang sakit parah. Kami perlu membawanya ke dokter. Kemungkinan itu adalah demam berdarah. Wilayah kami sedang terkena wabah itu." Wuri mengucapkan semuanya dengan nada cepat. Seolah tidak ada waktu lagi untuk mengucapkannya nanti.
Kening Sander langsung berkerut di seberang sambungan telepon. Jelas suara Wuri menandakan kepanikan. Tapi, Sander tidak bisa membiarkannya pulang sekarang. Bisa saja dia memberikan uang dan melepaskan Wuri untuk pulang ke rumahnya. Tapi, Sander masih sangat membutuhkan Wuri untuk pengembangan penyelesaikan kasus desa Welasti.
Sejauh ini, Sander merasa bahwa Wuri adalah saksi kunci dari kasus tersebut. Tujuan Sander hanya dua tentang berita desa Welasti, membuatnya menjadi headline besar dan mengangkat saham Media Terkini. Serta menyelamatkan desa itu seperti keinginan Wuri.
Dia tidak bisa kehilangan Wuri begitu saja. Sander perlu tahu di mana gadis itu tinggal dan latar belakangnya. Memastikan bahwa Wuri bukan hanya sedang membual tentang keadaan desa yang sebenarnya sudah Sander lihat sendiri.
"Aku tidak bisa mengantarkanmu pulang sekarang. Berikan aku rekening dan akan kukirimkan sejumlah uang untuk keluargamu. Apakah itu membantu?"
Sejenak Wuri terdiam. Jika dia pulang ke rumah tanpa uang, dia tidak akan bisa menolong Talita. Tapi, meski pun dirinya tidak pulang kalau ada uang, Yuli bisa melakukan banyak hal untuk menolong Talita.
Dengan putus asa Wuri menyebutkan nomor rekening Yuli. Rasanya sekarang Wuri seperti sedang menggadaikan dirinya sendiri kepada Sander.