Seharian ini Wuri merasa jenuh terus berada di rumah Sander. Bu Yati yang biasa menemaninya mengobrol pun seharian ini tidak terlihat. Wanita itu keluar rumah setelah menyiapkan sarapan untuknya. Sampai sekarang Bu Yati belum juga kembali.
Wuri merasa asing di rumah Sander. Rumah yang kosong dan sunyi. Dia ingin segera kembali ke rumahnya sendiri. Kepergiannya dari Welasti adalah untuk menyelamatkan diri seperti yang Sander katakan. Tapi, sekarang dia malah terjebak di rumah Sander.
Wuri sedang duduk menyaksikan acara televisi di ruang keluara ketika Sander turun dari kamarnya di lantai atas. Pria itu terlihat rapi dan tampan. Sepertinya dia sudah bersiap untuk berangkat ke kantor. Setelah setengah harian tidur. Wuri bergegas menyongsong Sander.
"Hey! Kau mau kemana?"
"Mau makan siang, lalu ke kantor," jawab Sander tenang.
"Ke kantor?! Apa-apaan kau ini? Kau kan sudah berjanji untuk mengantarku pulang hari ini!" Wuri mulai terlihat panik. Dia tidak ingin lebih lama lagi berada di rumah Sander.
"Apakah makan siangku sudah siap?" tanya Sander. Dia sama sekali mengabaikan komplain dari Wuri.
Sander melewati gadis itu begitu saja dan langsung menuju pantry. Keningnya berkerut ketika dia tidak menemukan apa pun di atas meja. Setelah tidur seharian, perutnya terasa lapar. Sander memang jarang makan di rumah. Bu Yati hanya akan memasak untuk Sander sesuai permintaan majikannya.
Hari ini Sander lupa untuk memesan makanan pada Bu Yati. Tadi pagi sebelum tidur, perhatiannya terlalu fokus pada Wuri.
"Aku lapar," ujar Sander. Dia duduk di meja makan sambil melihat ke arah Wuri.
"Lalu? Di mana Bu Yati? Seharian ini aku tidak melihatnya."
"Mungkin dia sedang mengunjungi anaknya yang tinggal tidak jauh dari sini. Hmm … apa kau bisa menyiapkan makanan untukku?"
"Aku? Kenapa harus aku? Aku kan bukan pembantumu, dan juga bukan istrimu."
Wajah Sander terlihat kecewa. "Baiklah, aku akan makan siang di luar saja."
Melihat wajah Sander yang kelaparan, tak urung Wuri pun merasa kasihan. Di dapur ruang makan itu selalu tersedia nasi dalam pemanas. Wuri hanya perlu menyiapkan lauk. Dia sangat yakin semua bahan pasti sudah tersedia lengkap di rumah Sander.
"Duduklah! Biar aku lihat apa yang ada di dapurmu!" ucap Wuri sambil memasang wajah kesal pada Sander.
Senyum tipis muncul di wajah Sander. Ekspresi Wuri sangat menggemaskan. Meski dia menolak, tapi ternyata tetap saja Wuri menuju ke dapur yang berada tidak jauh dari tempatnya duduk.
Ruang makan kecil itu memang di design untuk menyatu dengan dapur dan berbatasan dengan kolam renang. Berbeda dengan ruang makan besar yang ada di sisi lain rumah Sander. Di rumah itu, Sander tinggal sendiri. Dia biasa menghabiskan sarapan dan terkadang makan malam di meja kecil tempatnya berada sekarang. Ruang makan besar hanya di buka untuk acara tertentu.
Sander mengerutkan kening ketika melihat Wuri sejak tadi hanya mondar mandir di sekitar dapur dan belum mulai memasak.
"Hey! Kapan kau mulai memasak? Cacing-cacing di perutku ini sudah menggila."
Wuri bersungut-sungut, "Aku tidak bisa menemukan di mana kulkas tempat bahan makanan berada."
Sander diam terpaku. Ekspresinya sulit untuk diterjemahkan. Beberapa detik kemudia tawanya meledak. Dia bahkan harus membungkuk untuk menahan kelucuan yang Wuri timbulkan.
"Kenapa tidak bilang sejak tadi?" ujar Sander di sela tawanya.
"Aku bukan gadis manja yang senang meminta pertolongan orang. Aku masih mencoba menemukan kulkas itu. Aku pasti menemukannya, kau saja yang tidak sabar menunggu."
Sander berusaha menghentikan tawanya. Dia lalu menuju ke salah satu lemari yang ada di dinding. Sander membuka lemari yang ternyata adalah sebuah kulkas. Semua persediaan makanan tertata rapi di sana.
Lalu di melirik ke arah Wuri. Gadis itu terlihat kesal sekaligus kagum dengan design dapur Sander. Baru pertama kali Wuri menemukan kulkas yang tertanam di dinding. Ukurannya pun tidak seperti kulkas yang Wuri lihat pada umumnya.
Maklum saja, Wuri memang besar di panti asuhan dalam kesederhanaan. Selama dia kuliah pun, Wuri bukan mahasiswi yang bisa setiap hari bersenang-senang dengan keluar masuk mall. Wuri harus giat belajar untuk mendapatkan beasiswanya.
Jika Wuri kehilangan beasiswa itu, maka berarti Wuri tidak punya lagi kesempatan untuk menempuh pendidikan. Dengan keadaan seperti itu, tidak banyak yang mau menjadi teman Wuri. Satu-satunya teman baik Wuri adalah Mira. Gadis lugu yang berasal dari desa Welasti.
Rumah Sander adalah sebuah pemandangan baru bagi Wuri. Untuk pertama kalinya dia menempati ruma mewah dan menikmati fasilitas di dalamnya.
Wajah Wuri terlihat keruh. Lalu di mendekat ke arah Sander berdiri di depan kulkas.
"Kau mau makan apa?" tanyanya.
Sander melirik ke bagian dalam kulkas. Dia menghentikan tawa dan menghapus wajah lucunya. Dia tidak ingin membuat Wuri merasa semakin malu lagi.
"Kau bisa masak apa?" tanyanya balik.
"Ah, sudahlah! Kau ini, mau makan saja susah. Terlalu banyak pilihan. Di luar sana masih banyak orang lain yang tidk bisa makan. Kau di sini bahkan bingung makanan apa yang ingin kau nikmati!" Wuri berceloteh sembari mengambil dua butir telur yang ada di dalam kulkas.
"Aku bukan seorang pemilih makanan, Nona. Tapi kau yang menawarkan apa yang ingin aku makan. Kalau aku menyebutkan hal-hal sulit, tentu saja aku tidak yakin kau bisa melakukan."
Sander kembali ke tempatnya duduk. Dalam beberapa menit, Wuri datang dengan sepiring nasi putih hangat dan dua buah telur mata sapi. Sander terkesiap melihat ke piringnya. Makanan paling sederhana yang pernah ada di rumah Sander.
"Kau tidak makan?" tanya Sander.
"Aku masih kenyang."
Sander mengangkat bahu dan mulai menikmati makan siang buatan Wuri. Gadis itu duduk di salah satu kursi yang ada di sekitar meja makan.
"Hari ini kau harus mengantarku pulang." Pinta Wuri.
"Aku usahakan ya. Berita Welasti ini akan kami tayangkan secara besar-besaran selama tiga hari. Ini adalah hari pertama. Aku harus memastikan berita itu bisa membidik sasaran."
"Tapi aku harus pulang. Aku tidak suka berada di rumahmu yang sunyi. Rumah ini sama sekali tidak memiliki aura kebahagiaan. Aku bahkan takut berada di sini lebih lama lagi."
Kata-kata Wuri membuat Sander terdiam. Ada sebuah kesedihan yang menelusup di dalam hati Sander. Sebelumnya dia tinggal di sebuah apartemen. Dengan pertimbangan berada tidak jauh dari kantornya.
Dia membeli rumah ini untuk sebuah masa depan. Masa depan yang dia impikan untuk di miliki bersama Arinda. Tapi, ternyata Arinda bahkan hanya satu kali menjejakkan kaki di rumah ini. Sander tertinggal bersama luka dan kesakitan yang Arinda berikan.