Saat itu Wuri baru saja kehilangan Mira dan menyelesaikan kuliahnya. Dia berhasil mendapat gelar Bidan. Seperti kebanyakan idealis tenaga medis Wuri ingin bermanfaat bagi orang banyak tanpa imbalan. Terlebih, setelah janji yang dia ucapkan sebelum kepergian Mira.
Mudah saja bagi Wuri untuk menentukan pilihan dan pindah ke desa Welasti. Karena Wuri memang tidak butuh izin dari siapa pun untuk menentukan keputusannya. Orang pertama yang menyambut Wuri di desa itu adalah Ganda. Wuri datang ke rumah Ganda selaku kepala desa bersama ibu Mira.
Sejak mereka menginjakkan kaki di halaman rumah Ganda, pria itu tidak mempersilahkan masuk. Meski hanya ke teras rumahnya. Dia membiarkan Wuri dan Ibu Mira berdiri di halaman. Sambil matanya nakal menatap ke arah Wuri. Mengamati dari ujung kaki hingga ke ujung kepala.
"Jadi kau bidan yang akan bertugas di kampung ini?" tanyanya dengan nada sinis.
"Betul, Pak. Ini surat pengantar dari dinas kesehatan kabupaten Bogor." Wuri menyodorkan selembar amlop putih berisi surat.
Ganda menerima surat itu namun sama sekali tidak membukanya. Melainkan dia terus mengamati Wuri seolah ingin memakan hidup-hidup gadis itu.
"Pekerjaan sebagai bidan di kampung ini, mungkin tidak bsia menghasilkan banyak uang. Bukan hanya karena sebagian warga kami miskin, tapi juga sebetulnya mereka tidak membutuhkan bidan. Selama ini dukun beranak yang ada di kampung ini telah cukup memberi kami dukungan."
"Salah satu sebab kenapa tingkat kematian ibu dan bayi di desa ini begitu tinggi. Itulah sebabnya saya ada di sini untuk memberikan edukasi."
Ganda semkain tidak suka melihat sikap Wuri.
"Aku punya tawaran yang lebih menarik jika kau mau." Ganda mengedipkan sebelah mata pada Wuri.
"Tawaran?" tanya Wuri heran.
Dia datang ke desa ini bukan untuk sebuah bisnis atau tawaran yang menarik. Dia datang ke desa ini untuk memenuhi janjinya pada Mira. Juga memenuhi panggilan jiwanya sebagai seorang bidan.
"Apa kau tahu? Desa ini dikenal dengan desa wisata. Seperti layaknya sebuah tempat wisata, tentu menawarkan banyak hiburan. Daya tarik terbesar di desa ini adalah, para bunga desa."
Sebuah 'ledakan besar' seolah terjadi di kepala Wuri. Meski dia telah menebak sebelumnya, namun mendapati bahwa apa yang dia pikirkan menjadi nyata ternyata tidaklah mudah. Terlebih saat itu dirinya baru berusia dua puluh tahun. Ketika Ganda memberinya 'tawaran' yang mengerikan.
"Jadi apa tawaran anda, Pak Ganda? Menjadikan saya salah satu bunga desa yang ingin anda pajang untuk dibeli pengunjung? Saya datang ke desa ini dengan tujuan sebaliknya! Saya ingin semua bunga desa di sini kembali pada kehormatan mereka sebagai bunga. Bukan sekedar tissue satu kali pakai lalu dibuang!"
Wajah Ganda mendadak merah dan matanya yang semula menatap genit pada Wuri berubah melotot.
"Kalau begitu kau boleh meninggalkan desa ini! Welasti tidak membutuhkanmu!"
"Apa anda sedang mengusir saya, Pak Ganda? Saya datang dengan surat rekomendasi dari departemen kesehatan. Anda bisa mengatakan pada pemimpin departmen kesehatan jika anda tidak butuh bidan di desa ini."
"Kau sedang mengancamku Wuri?"
"Tidak, saya sedang memberi kesempatan pada warga desa ini untuk keluar dari lingkaran setan yang membelenggu."
"Ha … ha … ha …! Kita sedang bicara soal uang Wuri. Siapa orangnya yang tidak ingin uang. Jika mereka keluar dari lingkaran nyaman yang telah kuciptakan, kau pikir dengan cara apa mereka akan hidup? Bertani? Berkebun? Itu tidak cukup. Kau katakan ini lingkara setan? Justru ini adalah sumber penghasilan terbaik dan termudah bagi warga desa."
"Dengan menjadikan para gadis sebagai salah satu hiburan?! Desa yang gila! Ini harus dihentikan! Ayo bu!" Wuri berbalik dan mengajak ibu Mira untuk kembali ke rumahnya.
"Kami tidak menjamin keselamatanmu kalau begitu!" teriak Ganda dari kejauhan setelah Wuri dan Ibu Mira melewati pagar.
Mendengar ancaman Ganda, Wuri sontak berbalik.
"Aku perlu melapor ke dinas kesehatan setiap dua minggu. Jika mereka tidak menerima laporanku, mereka akan segera mencari keberadaanku ke desa ini. Anda tahu betul akibatnya jika orang luar dan polisi sampai ke desa ini." Wuri melemparkan senyum penuh kemenangan setelah menyelesaikan kalimatnya.
Wuri dan Ibu Mira terus berjalan melewati jalan beraspal yang berpagarkan sawah-sawah warga. Mereka pun berbincang tentang kondisi di desa ini.
"Sejak kapan desa ini begitu rusak, Bu? Seolah tidak ada lagi moral yang tersisa."
"Satu tahun terakhir, saat itu seorang pengusaha besar datang ke desa kami. Dia bilang, dia memiliki perkebunan kelapa sawit yang sangat besar di luar pulau jawa dan berbatsan dengan malaysia. Dia menawarkan para pria untuk bekerja di kebunnya dengan upah besar"
"Termasuk ayah Mira?"
"Hidup di desa kecil kaki gunung seperti ini tidaklah mudah Wuri. Namun kami lahir dan besar di sini. Tidak banyak pilihan selain tinggal dengan kondisi yang ada. Tawaran uang tentu hal yang paling cepat kami terima."
"Hmm ... ya, saya mengerti, Bu. Lalu?"
"Ayah Mira dan beberapa pria pun pergi. Awalnya semua berjalan baik. Kami menerima kiriman uang yang lumayan banyak sampai beberapa bulan setelah kepergian mereka. Namun, kemudian kabar tentang mereka hilang begitu saja. Jangankan uang, kabar pun tidak bisa kami dapatkan."
"Tidak ada yang berusaha mencari mereka?" tanya Wuri menyelidik.
"Beberapa pria masih saja tertarik untuk pergi dan bekerja di perkebunan itu. Beberapa lagi pergi untuk mencari keberadaan yang lebih dulu ke sana. Namun semua tidak pernah kembali. Kami sungguh tidak tahu apa yang terjadi."
"Aneh,…." Desis Wuri.
"Kami pun mulai sibuk dengan kehidupan yang semakin sulit. Lebih sulit dari sebelumnya. Tanpa para pria yang bekerja di sawah dan ladang. Untuk mencari pekerjaan lain atau pergi ke kota bukanlah urusan gampang. Kami terbiasa hidup di desa terpencil seperti ini. Lagi pula siapa yang akan membawa kami ke kota."
Suara Ibu Mira jelas menyiratkan kesedihan. Tahun-tahun sulit ketika dia kehilangan suami dan harus berjuang dengan ketiga putrinya.
"Lalu seorang turis asing yang baru saja selesai mendaki gunung tersesat ke desa kami. Dia tinggal satu malam. Itu adalah malam pertama kali salah satu dari gadis desa kami menerima uang dalam jumlah banyak untuk menjadi temannya selama satu malam."
"Oh … Ganda?"
"Ganda yang menjadi perantara karena dia adalah pemimpin di desa ini. Lalu setelahnya kau bisa menduga. Bisnis di desa ini pun dimulai. Secara sembunyi-sembunyi, dengan berbagai tameng dan nyaris tidak terdengar. Jika kalian belum pernah tinggal di desa ini, kalian tidak akan percaya apa yang terjadi."
"Apakah kalia tidak diajarkan untuk memakai pengaman? Karena aku dengar banyak gadis di desa ini hamil dan meninggal di usia muda."
Mata Ibu Wuri yang sejak tadi basah, semakin menjadi. Ingatan akan Mira seolah kembali menari di benaknya.